Wisata Sejarah Banten: Upaya Mengais
Kearifan Masa Lalu
Di Jawa Tengah,
tepatnya di Demak ada pencanangan wisata ziarah oleh Presiden seusai Lebaran
2006. Pada kesempatan tersebut diluncurkan pula buku Jejak Para Wali dan Ziarah
Spiritual terbitan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BPPP) bersama
Yayasan Cermin Kudus. Di Jakarta, beberapa waktu yang lalu, Komunitas Peduli
Sejarah dan Budaya Indonesia-Historia bersama-sama para pelancong menyusuri
jejak sejarah VOC dari abad ke-17 di Kepulauan Seribu.
Namun,
kendala-kendala sepertinya masih menghantui upaya-upaya napak tilas tersebut.
Lawatan Sejarah Nasional (Lasenas), sebagai sebuah proyek nasional, tidak
melibatkan para pengambil keputusan di tingkat elit, sehingga seolah proyek ini
hanya sebuah bentuk romantisme belaka. Seandainya para stakeholders ini
dilibatkan, mungkin akan terlintas sedikit pikiran untuk membuka cakrawala
sejarah mereka, sehingga dalam pengambilan keputusan di berbagai bidang, mereka
bisa sedikit menggunakan orientasi sejarah untuk mengais kearifan dalam
berbagai kebijakan yang mereka buat. Walaupun begitu, sedikitnya kita bisa
menaruh harapan, karena ternyata masih ada masyarakat umum yang masih
menyisakan kepeduliannya terhadap sejarah. Kita patut menghargai upaya
Komunitas Historia yang mengajarkan sejarah dengan cara yang menyenangkan
tersebut, bahkan walau harus bersusah payah mengajak masyarakat menoleh ke masa
lalu.
Seperti kita
ketahui, banyak peninggalan bersejarah yang nasibnya lebih buruk dari masa lalu
itu sendiri. Di Situs Trowulan, situs permukiman yang sering dikaitkan dengan
ibukota Majapahit, sering terjadi perusakan terhadap peninggalan sisa-sisa
bangunan yang masih berada di dalam tanah. Masalahnya, usaha pelestarian
dipastikan kalah cepat dengan usaha penduduk mencari nafkah dengan membuat
bata-bata baru dari tanah yang di dalamnya terdapat sisa-sisa peninggalan
permukiman. Cepat atau lambat, peninggalan Majapahit di Situs Trowulan akan
terus tergerus.
Nasib serupa
dialami situs-situs sejarah zaman VOC di Kepulauan Seribu. Sebagian situs
kadang dijadikan lokasi pesta rave (pesta disko di lokasi terbuka), videoklip,
dan pemotretan foto-foto sensual. Bahkan, Pulau Onrust juga pernah dijadikan
objek acara reality show berbau mistis. Pemerintah daerah biasanya ikut
menyayangkan juga kondisi-kondisi tersebut. Keterbatasan dana menjadi penyebab
utamanya. Apapun jadinya, seharusnya bukan hanya pemerintah yang memperhatikan
masalah ini. Seharusnya, kitalah sebagai pewaris masa lalu tersebut yang harus
lebih peduli terhadap peninggalan masa lalu. Kitalah yang akan menentukan nasib
bangsa ini ke depan.
Bagaimana
dengan Banten? Peninggalan sejarah berupa bangunan-bangunan besar dapat dengan
mudah ditemui dan dikenal dengan baik oleh orang Banten. Situs Banten Lama atau
bahkan Banten Girang tidaklah asing bagi orang Banten. Orang dari luar Banten
pun banyak yang mengenalnya. Keraton, masjid, benda pusaka, tradisi, dan juga
kepercayaan yang ada pada orang Banten adalah bukti bahwa Banten tidak bisa
lepas dari sejarahnya dan menjadi bagian yang integral dari sejarah nasional
Indonesia.
Orang Banten
biasa hidup dengan tradisi dan tradisi merasa bersyukur karena di Banten, hal
itu dipelihara dengan baik, bahkan bagi sebagian orang, dijadikan pedoman
hidup. Terlepas dari sinkretisme atau mungkin hal-hal yang berada di luar
jangkauan manusia, tradisi telah menemukan tempatnya di Banten dan dapat hidup
hingga kini. Apakah itu bukan suatu bagian dari kesadaran sejarah?
Namun, upaya
untuk menghadirkan kearifan masa lalu tampaknya belum bergeser dari wacana
romantisme. Pemerintah daerah belum mampu menguak masa lalu itu sendiri menjadi
sebuah pembelajaran bagi masyarakat.
Banten Lama
masih disibukkan dengan konflik berbagai kepentingan untuk masalah pengelolaan.
Belum lagi permasalahan pengemis, sarana parkir, dan hal-hal yang berkaitan
dengan kenyamanan pengunjung. Sebagian besar masyarakat hanya melihat Banten
Lama sebagai tempat berziarah saja. Seharusnya ini menjadi pekerjaan rumah bagi
pemerintah daerah untuk memfasilitasi sarana belajar masa lalu ini. Seharusnya
wisata sejarah pun menjadi bagian penting di Banten ini untuk mengais kearifan
masa lalu. Belum lagi kalau kita berbicara Desa Kanekes, Masyarakat Kasepuhan
Banten Kidul, dan masih banyak lagi kearifan lokal Banten.
Sebab, kapan
lagi Banten bisa menjadi besar kembali, kalau upaya-upaya ke arah tersebut
tidak diperhatikan dengan serius, justru hanya berusaha tetap menghadirkan
romantisme sejarah yang meninabobokan masyarakat. Di ulang tahun Propinsi
Banten yang memasuki usia matang ini, pemerintah daerah seharusnya bisa lebih
dewasa memperhatikan kebesaran masa lalu Banten. Bukankah upaya mengenang itu
pernah dilakukan ketika Banten dalam proses melepaskan diri dari Jawa Barat,
dengan menghadirkan sejarawan-sejarawan untuk melegitimasi berdirinya Propinsi
Banten? Mengapa hal itu tidak dilakukan lagi sekarang, ketika Banten sudah
berdiri sendiri?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar