ABSTRAK
Baduy,
adalah nama dari sebuah suku yang berada di provinsi banten, baduy adalah salah
satu suku yang masih menjaga erat nilai dan norma serta tradisi atau adat
istiadat masyarakatnya. Suku baduy termasuk salah satu suku yang terisolir yang
ada di Indonesia, masyarakat baduy sengaja mengasingkan diri, mereka hidup
mandiri dengan tidak mengharapkan bantuan dari orang luar, mereka mengasingkan
diri dan menutup diri dengan tujuan menghindar dari pengaruh budaya luar yang
akan masuk.
Suku
baduy sangat menjaga kelestarian alam yang mereka huni, mereka selalu menjaga
dan merawat alam supaya dapat terus dikelola dengan baik, sehingga dapat
memberikan hasil panen yang cukup dan melimpah untuk menghidupi kebutuhan hidup
mereka, mereka tidak ingin merusak kelestarian alam yang ada.
Ditengah-tengah
gempuran modernitas dan globalisasi saat ini, suku baduy berusaha untuk menjaga
nilai-nilai budaya dasar yang dimiliki dan diyakininya. Kearifan lokal yang
diterapkan dimasyarakat baduy memberikan banyak pelajaran berharga untuk
masyarakat kita yang sudah banyak sekali termakan oleh modernitas, oleh karena
itu banyak sekali baik individu atau kelompok yang datang dan berkunjung ke
suku baduy baik untuk melihat keindahan alam, maupun belajar akan nilai-nilai
kearifan lokal yang ada dimasyarakat suku baduy. Hebatnya lagi adalah kemampuan
suku baduy untuk bisa mempertahankan kebudayaanya dari kebudayaan-kebudayaan
luar yang masuk melalui para pengunjung yang datang.
Kata
kunci: Suku Baduy, Kearifan Lokal, Modernitas.
1. Latar
Belakang
Suku
baduy, terletak di desa Kanekes terletak di gunung Kendeng yang sebagian
wilayahnya adalah hutan. Wilayah ini termasuk kedalam Propinsi Banten, tepatnya
di Kabupaten Lebak Kecamatan Leuidamar. Kelompok masyarakat Adat Sunda tersebut
terdiri dari Suku Baduy Luar dan Suku Baduy Dalam, keduanya sama-sama tinggal
di desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Provinsi Banten. Suku Baduy sudah sekian
lama mendiami desa tersebut.
Sebutan kata Baduy untuk masyarakat desa Kanekes
sebenarnya bukan dari mereka sendiri tetapi masyarakat luar yang menyebutnya
sehingga lama kelamaan menjadi sebutan bagi mereka, orang Belanda menyebut
mereka dengan sebutan Badoe’i, Badoej, Badoewi, Urang Kanekes, dan
Rawayan, (Garna 1992; 2)
Kondisi
alam suku baduy terdiri dari bukit-bukit yang tersusun berjajar, sehingga untuk
berjalan dari satu desa ke desa lainya membutuhkan waktu dan tenaga yang cukup
banyak, apalagi jarak antara
desa satu dan desa yang lain jaraknya cukup jauh. Masyarakat suku Baduy sangat mematuhi
aturan adat mereka, mereka dilarang menggunakan kendaraan dan menggunakan
listrik, serta berbagai aturan-aturan adat lainya, oleh karena itu, masyarakat
baduy sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kearifan lokal masyarakatnya.
Kearifan lokal masyarakat baduy menjadi sangat menarik
untuk dibahas mengingat masih adanya eksistensi sebuah suku pedalaman di tengah
gempuran arus modernisasi dan globalisasi, bagaimana upaya yang mereka lakukan
untuk menjaga agar nilai-nilai kearifan lokal tersebut dapat dipertahankan dan
terus dilestarikan, Tentunya akan ada banyak hambatan dalam melaksanakan nilai-nilai
kearifan lokal tersebut, kearifan lokal masyarakat Baduy menjadi sebuah kajian
yang akan kami bahas lebih jauh, mengingat pentingnya menerapkan nilai-nilai
kearifan lokal yang saat ini sudah banyak dilupakan oleh banyak orang. Melalui
suku Baduy ini diharapkan kita dapat mengetahui nilai-nilai kearifan lokal
masyarakatnya yang nantinya dapat kita jadikan contoh yang baik untuk
keberlangsungan hidup bermasyarakat.
2. Analisis
a. Kearifan Lokal
Suku Baduy Dalam
Sistem perekonomian Baduy lebih mengutamakan sistem
tertutup, artinya aktivitas ekonomi dilakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari dan diproduksi serta dikonsumsi dilingkungan Baduy sendiri. Mata
pencaharian mereka pada umumnya adalah bertani atau bercocok tanam.Seluruh masyarakat
di Baduy belajar untuk bekerja di pertanian sesuai dengan aturan yang telah
ditentukan. Di Baduy terdapat aturan dalam pertanian yang diikuti oleh
masyarakatnya. Ada waktu dimana mereka harus mengolah tanah, menanam, maupun
memanen hasil pertaniannya. Sistem pertanian disana adalah dengan sistem
berladang dan berkebun. Pada masa dimana mereka tidak sedang bekerja di ladang,
Baduy laki-laki bekerja di hutan untuk berburu dan memanen madu, sementara
Baduy wanita bekerja menenun dirumah untuk membuat baju, selendang, sarung,
serta kerajinan tangan seperti tas.
Sebagaimana
yang telah terjadi selama ratusan tahun, maka mata pencaharian utama masyarakat
Kanekes adalah bertani padi huma. Selain itu mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari
menjual buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan seperti durian dan asam
keranji,
serta madu hutan. Masyarakat Kanekes yang
sampai sekarang ini ketat mengikuti adat istiadat bukan merupakan masyarakat
terasing, terpencil, ataupun masyarakat yang terisolasi dari perkembangan dunia
luar. Berdirinya Kesultanan Banten yang secara otomatis memasukkan Kanekes
ke dalam wilayah kekuasaannya pun tidak lepas dari kesadaran mereka. Sebagai
tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin
melaksanakan seba ke Kesultanan Banten (Garna, 1993). Sampai sekarang,
upacara seba tersebut terus dilangsungkan setahun sekali, berupa menghantar
hasil bumi (padi, palawija, buah-buahan) kepada Gubernur Banten (sebelumnya ke
Gubernur Jawa Barat), melalui bupati Kabupaten Lebak. Di bidang pertanian, penduduk Baduy Luar
berinteraksi erat dengan masyarakat luar, misalnya dalam sewa menyewa tanah,
dan tenaga buruh.
Nilai-nilai kearifan masyarakat baduy yang sederhana
dengan tidak mementingkan materi dalam kehidupannya
menjadi sebuah contoh dimana mereka hidup hanya untuk memenuhi kebutuhan
primernya, bahkan dalam bertani mereka mengikuti aturan-aturan yang ada
dimasyarakat, diantaranya tidak menggunakan pupuk kimia, masyarakat baduy
memupuk tanamanya dengan pupuk buatan mereka sendiri dari bahan-bahan organik,
sebuah nilai kearifan lokal masyarakat baduy yang tidak mau merusak alam dengan
menggunakan bahan kimia, berbeda dengan kebanyakan masyarakat lain yang menggunakan
pupuk kimia dengan tujuan hasil panen yang melimpah dan cepat, tetapi tidak
memperdulikan lingkungan alam yang akan rusak karena bahan kimia dalam pupuk
yang digunakan. Selain itu Penanggulangan hama padi pada masyarakat Baduy
bersifat mengusir daripada membunuh. Dalam bertani, mereka selalu menjaga
keselarasan dengan alam, bukannya melawan alam. Maka dari itu, dalam
penanggulangan hama padi huma, masyarakat Baduy lebih memilih racikan
biopestisida dan rawun pare daripada pestisida pabrikan yang dianggap dapat
meracuni dan merusak lingkungan. Upaya mengusir hama padi huma tersebut
tampaknya cukup berhasil. Buktinya, kejadian puso panen padi huma akibat
gangguan hama sangat jarang terjadi di Baduy. Mengapa demikian? Pasalnya,
berbagai tumbuhan untuk biopestisida atau rawun pare orang Baduy dikenal secara
ilmiah (etik) termasuk kategori tumbuhan pengusir hama (repellent).
Hasil panenan suku baduy yang berupa padi pun tidak boleh
dijual, padi hanya untuk kebutuhan mereka saja, tidak diperjual belikan, mereka
hanya menjual hasil panenan lainnya seperti pisang, durian, dll, aturan
ini juga dilaksanakan oleh semua masyarakat baduy. Untuk memenuhi
kebutuhan tambahan mereka seperti biaya untuk upacara-upacara adat mereka
menjual madu, kain songket, kerajinan-kerajinan tangan, tas, dll, uang yang
didapatkan dari hasil itu digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka,
kebutuhan yang tidak mereka hasilkan seperti garam, minyak, serta bumbu-bumbu.
Madu Baduy sangat terkenal di daerah Banten karena tidak dicampur dengan bahan
lainnya, sehingga sering disebut madu asli. Mereka menjual madu dan hasil
kerajinan lainnya sampai ke kota.
. Kehidupan mereka yang sederhana membuat mereka tidak
terlalu mementingkan harta, yang penting uang yang mereka miliki cukup untuk
makan dan kebutuhuan penting lainya. Sebuah nilai kearifan lokal yang sekarang
ini jarang bisa ditemui lagi mengingat sekarang ini banyak masyarakat yang
menganggap bahwa uang adalah segalanya dan uang adalah raja yang harus mereka
cari dan kumpulkan sebanyak-banyaknya untuk keberlangsungan hidup mereka.
Ada dua sistem pemerintahan yang digunakan oleh
masyarakat Baduy, yaitu struktur pemerintahan nasional yang mengikuti aturan
negara Indonesia dan struktur pemerintahan adat yang mengikuti adat istiadat
yang dipercayai oleh masyarakat. Kedua sistem pemerintahan tersebut digabungkan
dan dibagi perannya sedemikian rupa sehingga tidak ada benturan dalam
menjalankan tugasnya. Seluruh masyarakat Baduy paham dan saling menghargai
terhadap kedua sistem tersebut, sehingga mereka tahu harus kemana jika ada
urusan atau permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.
Pemimpin adat tertinggi dalam masyarakat Kanekes adalah
"Pu'un" yang ada di tiga kampung tangtu. Jabatan tersebut berlangsung
turun-temurun, namun tidak otomatis dari bapak ke anak, melainkan dapat juga
kerabat lainnya. Jangka waktu jabatan Pu'un tidak ditentukan, hanya berdasarkan
pada kemampuan seseorang memegang jabatan tersebut.
Pelaksana sehari-hari pemerintahan adat kapu'unan
(kepu'unan) dilaksanakan oleh jaro, yang dibagi ke dalam empat jabatan, yaitu
jaro tangtu, jaro dangka, jaro tanggungan, dan jaro pamarentah. Jaro tangtu
bertanggung jawab pada pelaksanaan hukum adat pada warga tangtu dan berbagai
macam urusan lainnya. Jaro dangka bertugas menjaga, mengurus, dan memelihara
tanah titipan leluhur yang ada di dalam dan di luar Kanekes. Jaro dangka
berjumlah 9 orang, yang apabila ditambah dengan 3 orang jaro tangtu disebut
sebagai jaro duabelas. Pimpinan dari jaro duabelas ini disebut sebagai jaro tanggungan.
Adapun jaro pamarentah secara adat bertugas sebagai penghubung antara
masyarakat adat Kanekes dengan pemerintah nasional, yang dalam tugasnya dibantu
oleh pangiwa, carik, dan kokolot lembur atau tetua kampung.
Kemampuan masyarakat baduy yang bisa menjalankan dua
sistem pemerintah baik itu sistem adat dan sistem pemerintahan nasional,
merupakan bukti kemampuan hebat yang didasari oleh nilai-nilai kearifan lokal
masyarakat untuk tetap melestarikan adat istiadat tetapi juga tetap menggunakan
sistem pemerintahan nasional sebagai rasa nasionalisme warga masyarakat baduy.
Menggunakan dua sistem kepemerintahan sekaligus tentunya jelas akan banyak
hambatan yang ada dalam pelaksanaanya karena bisa saja aturan yang ada
saling tumpang tindih atau bahkan berbenturan, tetapi kemampuan masyarakat
Baduy untuk memposisikan dirinya menjadi salah satu kunci keberhasilan dua
sistem ini digunakan secara bersamaan.
Suku
Baduy sangat memegang teguh pikukuh karuhun, yakni suatu doktrin
yang mewajibkan mereka melakukan berbagai hal sebagai amanat leluhurnya
(Kurnia, 2010: 28)Pikukuh karuhun tersebut antara lain mewajibkan
mereka untuk:
1. Bertapa Bagi Kesejahtraan dan Keselamatan
Pusat Dunia dan Alam Semesta.
2. Memelihara Sasaka Pusaka Buana.
3. Mengasuh Ratu Memelihara Menak.
4. Menghormati Guriang dan Melaksanakan Muja.
5. Mempertahankan dan Menjaga Adat Bulan Kawalu
6. Menyelenggarakan dan Menghormati Upacara Adat
Ngalaksa
7. Melakukan Upacara Seba Setahun
sekali.
Upacara Seba sudah menjadi tradisi yang
sifatnya wajib dilaksanakan setahun sekali pada bulan Safar awal tahun baru
sesuai dengan penanggalan adat Baduy (berkisar bulan April-Mei pada tahun
Masehi). Tujuan dari kegiatan ini adalah ekspresi rasa syukur dan penghormatan
Suku Baduy kepada Pemerintah. Bentuk rasa syukur dan penghormatan ini dengan
mempersembahkan sesuatu yang dianggap berharga (sesaji, dalam konteks ini
adalah hasil panen) bagi Suku Baduy untuk diberikan kepada Pemerintah (dalam
hal ini Bupati Kabupaten Lebak).
Adapun mitos dibalik Upacara Seba yaitu
Bhatara Tunggal dipercaya oleh Suku Baduy sebagai pemegang kekuasaan tertinggi.
Tempat kediamannya terletak di hulu sungai Ciujung dan Cisimeut. Tempat keramat
tersebut oleh Suku Baduy dinamakan Arca Domas, yang tertutup bagi siapapun
kecuali pemimpin Suku Baduy atau Puun(Rafiudin, 1995: 21).
Sungguh sebuah nilai kearifan lokal dimana tujuan
upacara seba adalah sebagai rasa ucap syukur kepada
pemerintah, masyarakat baduy memberikan hasil panenanya kepada pemerintah
dengan tulus dan tanpa mengharapkan imbalan tertentu. Begitu arif masyarakat
Baduy, padahal masyarakat baduy sendiri hampir dipastikan jarang mendapat
perhatian dari pemerintah, karena memang masyarakat baduy menutup diri dari
lingkungan luar, tetapi mereka tetap mengadakan upacara sebagai bentuk rasa
syukur mereka kepada pemerintah, bayangkan pada kebanyakan masayarakat
indonesia saat ini, mereka mendapat perhatian yang banyak dari pemerintah,
mereka banyak menikmati fasilitas publik, rumah sakit, sekolah, jalan raya, dll
tetapi apa mereka pernah mengadakan sebuah acara sebagai rasa syukur mereka
kepada pemerintah? Jarang, bahkan sulit ditemukan, mereka banyak yang hanya
mengkritik pemerintah, tetapi suku Baduy, yang jarang diperhatikan, tidak
banyak memanfaatkan dan menerima fasilitas publik, mereka tetap bersyukur,
begitu jelas terlihat bagaimana nilai-nilai kearifan lokal yang mereka junjung.
b. Kearifan Lokal
Suku Baduy Luar
Masyarakat
Baduy Luar merupakan masyarakat yang telah diasingkan dari Baduy Dalam. Ada
beberapa alasan mengapa mereka diasingkan antara lain adalah hal tersebut
merupakan keinginan mereka sendiri untuk meninggalkan wilayah Baduy Dalam,
mereka telah melanggar adat istiadat yang berlaku di masyarakat Baduy Dalam,
ataupun kerena mereka menikah dengan orang Baduy Luar. Ciri-ciri khas
masyarakat:
Mereka
telah mengenal teknologi, seperti peralatan elektronik, meskipun penggunaannya
tetap merupakan larangan untuk setiap warga Baduy, termasuk warga Baduy Luar.
Proses
Pembangunan Rumah penduduk Baduy Luar telah menggunakan alat-alat bantu,
seperti gergaji, palu, paku, dll, yang sebelumnya dilarang oleh adat Baduy
Dalam. (BL)
Menggunakan
pakaian adat dengan warna hitam atau biru tua (untuk laki-laki), yang
menandakan bahwa mereka tidak suci. Kadang menggunakan pakaian modern seperti
kaos oblong dan celana jeans. (BL)
Kelompok
masyarakat panamping (Baduy Luar), tinggal
di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi (di luar) wilayah Baduy Dalam,
seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain
sebagainya. (BL)
Kebiasaan dan adat istiadat yang berlaku
dalam masyarakat Baduy Luar pada dasarnya masih memiliki kesamaan dengan
kebiasaan dan adat istiadat masyarakat Badut Dalam akan tetapi masyarakat Baduy
Luar telah mengenal dan menggunakan teknologi, dapat menggunakan kendaraan
sebagai alat transportasi, diperbolehkan menggunakan alas kaki, alat untuk
membuat rumah pun sudah menggunakan gergaji, paku, palu dan lain sebagainya
yang dalam masyarakat Baduy Dalam itu tidak diperbolehkan. Untuk membedakan
masyarakat suku Baduy Dalam dan suku Baduy Luar itu dapat dilihat dari pakaian
mereka, jika masyarakat suku Baduy Dalam menggunakan pakain sampai ikat kepala
berwarna putih, suku Baduy Luar menggunakan pakaian serba hitam hal itu karena
mereka dianggap sudah tidak suci lagi bahkan masyarakay suku Baduy Luar
sebagian besar telah menggunakan pakaian modern. Mata pencaharian mereka adalah
bertani, menenun, membuat pakaian ciri khas suku Baduy Luar, ataupun membuat
pernak-pernik ciri khas suku Baduy.
Baduy
Panamping ( Baduy Luar ), Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, kabupaten Lebak.
Mereka memiliki ciri sebagai berikut: berpakaian serba hitam, ikat kepala batik
biru tua, boleh bepergian dengan naik kendaraan, berladang berpindah-pindah,
menjadi buruh tani, mudah diajak berbicara tapi masih tetap terpengaruh adanya
hukum adat karena mereka masih harus patuh dan taat terhadap Hukum
adat. Jenis kendaraan apapun harus ditinggalkan Desa Cibolegar dan
mulailah Anda menjelajahi alam Baduy dengan berjalan kaki. Suasana di kawasan
Baduy sangat sejuk dan alami, tidak ada polusi udara dan pencemaran lingkungan.
Perjalanan dari kampung ke kampung lainnya dilalui lewat jalan setapak yang
kadang-kadang melintasi sungai dan bukit-bukit atau melewati jembatan bambu
berkonstruksi alami tanpa menggunakan paku.
Berada
di perkampungan Baduy terasa seperti kita berada dalam suasana zaman dahulu.
Masyarakatnya masih hidup dalam nilai-nilai tradisional yang kental, tidak ada
sentuhan teknologi modern sama sekali. Jika malam tiba suasana hening, tenang
dan gelap datang menyergap. Tidak ada gemerlapan cahaya lampu listrik, yang ada
hanya kedipan sinar yang berasal dari lampu teplok yang diisi dengan minyak
kelapa atau minyak jarak dengan sumbu sabut kelapa. Di perkampungan ini yang
terdengar hanyalah suara alam dengan gemericik air dari sungai yang berbatuan,
suara kicau burung dan desau angin menerpa dedaunan.
Menurut wawancara yang kami
lakukan dengan Pak Agus, tour guide Baduy, adabeberapa hal yang menarik tentang masyarakat
Suku Baduy adalah cara hidup mereka yang benar-benar menjaga kelestarian alam.
Adapun prinsip hidup masyarakat Baduy yang selaras dengan alam adalah
petatah-petitih masyarakat ada Baduy yaitu:
Gunung
tak diperkenankan dilebur
Lembah
tak diperkenankan dirusak
Larangan
tak boleh di rubah
Panjang
tak boleh dipotong
Pendek
tak boleh disambung
Yang
bukan harus ditolak
Yang
jangan harus dilarang
Yang
benar haruslah dibenarkan
artinya:
gunung tak boleh dihancurkan
lembah tak boleh dirusak
larangan tak boleh dilanggar
buyut tak boleh diubah
panjang tak boleh dipotong
pendek tak boleh disambung
yang bukan harus ditiadakan
yang jangan harus dinafikan
yang benar harus dibenarkan
gunung tak boleh dihancurkan
lembah tak boleh dirusak
larangan tak boleh dilanggar
buyut tak boleh diubah
panjang tak boleh dipotong
pendek tak boleh disambung
yang bukan harus ditiadakan
yang jangan harus dinafikan
yang benar harus dibenarkan
Bukti
bahwa masyarakat Baduy luar juga hidup berdampingan dengan alam secara harmonis yaitu masyarakat
Baduy sangat menjaga air agar selalu jernih dan bersih sehingga bisa dipakai
untuk kehidupan sehari-hari. Masyarakat Baduy luar yang sebagian sudahmemiliki kamar mandi maupun WC dirumah
panggungnya, memiliki aturan untuk tidak membuang sampah, menggunakan sabun,
deterjen dan bahan-bahan kimia lain yang dapat mengotori sungai. Selain itu,
pembagian area-area dalam pemanfaatan sungai juga merupakan sebuah konsep dalam
memperhatikan daya pulih air. Setiap kampung telah memiliki area-area khusus
dalam pemanfaatan sungai. Area sungai untuk mandi, mencuci, buang air dan
konsumsi memiliki areanya masing-masing sehingga masyarakat memperoleh air yang
berkualitas sesuai dengan kebutuhan.
Masyarakat
Baduy luar
maupun dalammenyimpan
hasil panen padi huma di sebuah leuit, lumbung padi. Leuit dibangun di
pinggiran tiap kampung. Setiap keluarga memiliki leuit. Leuit adalah wujud
pemahaman masyarakat Baduy tentang ketahanan pangan. Kondisi adanya leuit
membuat masyarakat Baduy tidak kekurangan bahan pangan. Selain itu, apabila
masyarakat Baduy akan menggunakan kayu maka kayu yang akan dipakai adalah kayu
kayu yang telah kering dan tua. kayu bakar tersebut diperoleh dari pohon yang
sudah dimakan rayap atau batang pohon dan ranting yang jatuh terserak.
Masyarakat Baduy tidak menebang pohon untuk kayu bakar. Kearifan lokal ini
menjadikan Baduy dan hutan di sekitarnya hidup harmonis selama ratusan tahun.
Untuk
menjaga kemurnian adat dari pencemaran budaya luar yang dibawa para wisatawan
dalam mengunjungi kawasan pemukiman kaum Baduy, sesekali jaro (kepala
desa) Baduy Dalam melakukan sidak ke desa Baduy Luar. Itu untuk meneliti apakah
ada benda-benda yang bisa melunturkan kepercayaan mereka. Mereka kadang menyita
radio yang dianggap melunturkan kepercayaan adat mereka. Selama ini, tanpa
bunyi sepeda motor, radio, televisi dan mesin apa saja apa saja yang
menimbulkan asap dan bunyi-bunyian, maka desa-desa Baduy adalah titik tenang.
Bunyi gemeletak alat penenun menjadi irama lembut yang menemani keheningan alam
di sana.
Akan
tetapi, amatlah sukar menjaga keheningan tetap bertahan dalam dunia modern yang
serba hiruk pikuk ini. Misalnya kini, mulai tampak anak-anak Baduy yang
“meninggalkan” pakaian tradisional mereka, berupa kain tenunan tangan dengan
warna hitam dan putih, dengan memakai kaos ala seragam kesebelasan sepakbola
Italia yang “berteriak” dengan warna-warni meriah. Mereka yang selama ini
menabukan jual beli dan penggunaan uang, dengan menetapkan pola barter,
akhirnya mulai terlibat proses dagang. Kaum Baduy Luar misalnya,
telah lama menjual kain sarung yang mereka tenun, selain juga menjual madu dan
gula kelapa pada orang-orang luar yang berada di sekitar kawasan tempat tinggal
mereka. Ini terjadi karena mereka butuh uang kontan untuk membeli ikan asin,
garam, dan berbagai kebutuhan yang tak bisa mereka hasilkan sendiri.
3. Simpulan
Kearifan
lokal merupakan pengetahuan masyarakat berdasarkan pengalaman yang menjadikan
kebiasaan serta mewujudkan menjadi kebudayaan dan diwariskan secara
turun-temurun dari nenek moyangnya (Baramuli et al. 1996 : 38).
Secara sederhana dapat diartikan sebagai kebijakan setempat atau cara berfikir
masyarakat berdasarkan pengetahuannya.
Nilai-nilai
kearifan masyarakat baduy yang sederhana dengan tidak mementingkan materi dalam
kehidupannya menjadi sebuah contoh dimana mereka hidup hanya untuk memenuhi
kebutuhan primernya, bahkan dalam bertani mereka mengikuti aturan-aturan yang
ada dimasyarakat, diantaranya tidak menggunakan pupuk kimia, masyarakat baduy
memupuk tanamanya dengan pupuk buatan mereka sendiri dari bahan-bahan organik,
sebuah nilai kearifan lokal masyarakat baduy yang tidak mau merusak alam dengan
menggunakan bahan kimia, berbeda dengan kebanyakan masyarakat lain yang
menggunakan pupuk kimia dengan tujuan hasil panen yang melimpah dan cepat,
tetapi tidak memperdulikan lingkungan alam yang akan rusak karena bahan kimia
dalam pupuk yang digunakan.
Kehidupan mereka yang sederhana membuat mereka tidak
terlalu mementingkan harta, yang penting uang yang mereka miliki cukup untuk
makan dan kebutuhuan penting lainya. Sebuah nilai kearifan lokal yang sekarang
ini jarang bisa ditemui lagi mengingat sekarang ini banyak masyarakat yang
menganggap bahwa uang adalah segalanya dan uang adalah raja yang harus mereka
cari dan kumpulkan sebanyak-banyaknya untuk keberlangsungan hidup mereka.
Prinsip
kearifan yang dipatuhi secara turun temurun oleh masyarakat Baduy ini membuat
mereka tampil sebagai sebuah masyarakat yang mandiri, baik secara sosial maupun
secara ekonomi. Karena itu, ketika badai krisis keuangan global melanda dunia,
dan merontokkan pertahanan ekonomi kita di awal tahun milennium ini, suku Baduy
terbebas dari kesulitan itu. Hal itu berkat kemandirian mereka yang diterapkan
dalam prinsip hidup sehari-hari.
Masyarakat Baduy sangat percaya bahwa segala sesuatu di alam
ini telah diciptakan oleh Sang Maha Pencipta. Oleh karenanya, sebagai manusia
yang juga diciptakan, manusia tidak memiliki kepatutan untuk merusak seperti
memotong atau menyambung. Konsep hidup yang diserahkan pada gagasan natural ini
jelas memperkuat masyarakat Baduy secara umum bahwa mereka dilahirkan untuk
menjaga stabilitas alam agar tetap seimbang. Kesederhanaan
hidup ini adalah cara mereka untuk “bersatu” dengan alam. Pikukuh yang
menjadi pegangan hidup mereka dianggap sebagai harga mati dan tak boleh diubah.
4. Referensi
Garna, Judistira K. 1992. Orang Baduy Dari
Kanekes: Ketegaran Dalam Menghadapi Tantangan Zaman (Makalah Seminar
Sehari Dengan Orang Baduy). Bandung: Museum Negeri Jawa Barat.
Kurnia,
Asep dan Ahmad Sihabudin. 2010. Saatnya Baduy Bicara. Jakarta: Bumi
Aksara bekerjasama dengan UNTIRTA.
Rafiudin,
Apip Apriadi. 1995. “Masyarakat Baduy (Studi Deskriptif di Desa Cibeo,
Jawa Barat)”. Skripsi S-1 Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar