MENGENAL SUKU BADUY
DILIHAT DARI PENGGUNAAN BAHASA, CARA BERPAKAIAN, MATA
PENCAHARIAN DAN PERNIKAHAN
Orang Kanekes atau orang Baduy adalah suatu kelompok
masyarakat adat Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Sebutan “Baduy”
merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat
tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan
mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang
berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy
dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri
lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau “orang Kanekes” sesuai
dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung
mereka seperti Urang Cibeo (Garna, 1993).
1.
Penggunaan Bahasa
Bahasa
sehari-hari yang digunakan oleh suku baduy adalah Bahasa Sunda dialek
Sunda–Banten. Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar
menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun
mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang Kanekes
‘dalam’ tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat istiadat, kepercayaan/agama,
dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja.
2.
Cara Berpakaian
Masyarakat
Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu, panamping, dan
dangka (Permana, 2001). Kelompok tangtu adalah kelompok yang dikenal sebagai
Baduy Dalam, yang paling ketat mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal di tiga
kampung: Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik). Ciri khas Orang Baduy Dalam adalah
pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih.
Kelompok masyarakat panamping adalah mereka yang dikenal sebagai Baduy Luar,
yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Baduy Dalam,
seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya.
Masyarakat Baduy Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna
hitam.
Pakaian adat baduy dalam
Pakaian adat baduy luar
3.
Mata Pencaharian
Sebagaimana yang telah terjadi selama
ratusan tahun lalu, maka mata pencaharian utama masyarakat Kanekes adalah
bertani padi huma. Selain itu mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari
menjual buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan seperti durian dan asam
keranji, serta madu hutan.
4.
Pernikahan Adat
Semua sistem yang ada di masyarakat
Baduy termasuk sistem perkawinan berlandaskan “Pikukuh”, sebuah aturan yang
sudah ada sejak leluhur masyarakat Baduy. “pikukuh” adalah aturan dan ajaran
yang harus dijalankan oleh masyarakat Baduy. aturan tersebut mengatur mengenai
apa saja yang diperbolehkan da apa saja yang dilarang. Peraturan ini juga
mengatur tentang penyelenggaraan perkawinan yaitu pada bulan kelima, keenam dan
ketujuh.
Dalam sistem perkawinan masyarakat
Baduy tidak ada tradisi berhubungan sebelum menikah (pacaran). Pasangan akan
langsung dijodohkan. Orang tua laki-laki akan bersilaturahmi kepada orang tua
perempuan dan memperkenalkan kedua anak mereka masing-masing.
Setelah ada kesepakatan, dilanjutkan
dengan proses 3 kali pelamaran yaitu:
•
Tahap Pertama, orang tua laki-laki harus melapor ke Jaro
(Kepala Kampung) dengan membawa daun sirih, buah pinang dan gambir
secukupnya.
•
Tahap kedua, selain membawa sirih, pinang, dan gambir,
pelamaran kali ini dilengkapi dengan cincin yang terbuat dari baja putih
sebagai mas kawinnya.
•
Tahap ketiga, mempersiapkan alat-alat kebutuhan rumah
tangga, baju serta seserahan pernikahan untuk pihak perempuan. Uniknya, dalam
ketentuan adat, Orang Baduy tidak mengenal poligami dan perceraian. Mereka
hanya diperbolehkan untuk menikah kembali jika salah satu dari mereka telah
meninggal.
Pelaksanaan akad nikah dan resepsi
bagi pasangan mempelai dilaksanakan di Balai Adat yang dipimpin oleh Pu’un
untuk menyahkan pernikahan tersebut. Dalam ketentuan sistem perkawinan
masyarakat Baduy tidak mengenal poligami dan perceraian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar