PENGANTAR KE DALAM FILSAFAT MANUSIA
Sejak manusia menyibukkan
diri dengan kegiatan berpikirnya, pertanyaan-pertanyaan tentang manusia
ditonjolkan kembali, seperti pertanyaan tentang hakikat manusia, tentang
asal usul manusia dan tentang nasib manusia serta tentang ketentuan
hidupnya. Pasti pertanyaan-pertanyaan ini muncul dalam banyak cara dan
orang juga berusaha menjawabnya dengan banyak cara pula. Tetapi dalam
waktu yang agak lama pertanyaan-pertanyaan tentang itu tidak mendapat
perhatian, karena ada soal lain yang lebih mendesak. Meskipun demikian
pertanyaan tentang manusia tidak pernah akan hilang, karena manusia
sendiri adalah makhluk yang merasa senantiasa “tidak pasti”; ia tetap
bertanya tentang dirinya. Ia adalah satu makhluk yang bertanya
Salah satu jawaban terhadap
pertanyaan tentang diri manusia ialah bahwa manusia adalah satu hakikat
yang aneh. Di satu pihak ia bersifat luhur, agung dan mulia, tetapi di
pihak lain ia juga bersifat hina rendah dan tak berarti. Apabila orang
mengamati pemakaian sehari-hari dengan menyebut kata bendanya “manusia”
(Mensch) atau kata sifatnya “manusiawi”, maka orang dapat menemukan arti
yang luhur, tetapi juga dalam konteks tertentu orang dapat menemukan
arti yang hina dan rendah. Kalau orang mengatakan “seorang penjahat juga
manusia”, atau “sikapnya betul tidak manusiawi”, maka arti dan nilai
dari “manusia” betul bersifat agung dan luhur. Tetapi bila orang
menemukan bahwa
seorang imam yang jatuh dengan wanita
lalu orang mengatakan “imam juga seorang manusia” atau juga uskup adalah
seorang manusia, bila uskup salah dan keliru”, maka keagungan dan
keluhuran manusia tidak boleh disanjung berlebih-lebihan. Nilai dan
artinya perlu diturunkan dan direndahkan. Dengan demikian manusia
menyandang nama yang kaya
dan mulia sekaligus juga miskin dan hina. Apakah itu kebetulan?
Dalam lingkungan kebudayaan
Eropa ada dua teks yang menarik perhatian para pengamat filsafat
manusia. Teks itu menggerakkan kita untuk melacak artinya. Teks pertama
berasal dari satu nyanyian yang diangkat dari “Antigone” Sophocles.
Nyanyian ini dalam terjemahan Holderlin (penyair Jerman 1770- 1843)
bermula dengan
“Ungeheuer ist viel” (Sang raksasa adalah
banyak). Sang raksasa itu dimaksudkan “manusia”. Dan teks nyanyian itu
menunjukkan di satu pihak keheranan atau kekaguman atas manusia. Manusia
itu lebih dari binatang-binatang, dan di pihak lain menunjukkan
kedahsyatan atau kegentaran (Schrecken) tentang manusia. Manusia itu
menakutkan dan menggentarkan (homo homini lupus). Teks yang kedua
berasal dari Mz.8 yang berbicara tentang kesadaran akan kekecilan
manusia dan kefanaannya jika dibandingkan dengan peredaran bintang yang
berjalan kekal. Dalam kekecilan itu, pertanyaan diajukan kepada
Penciptanya: “Apakah itu manusia atau apa artinya manusia, sehingga
Engkau memperhatikannya?” Hidup manusia: sikap, kemampuan dan seluruh
keberadaannya merentang dari yang paling rendah sampai kepada hal yang
saling bertentangan di dalam dirinya. Dalam lingkungan kebudayaan kita,
kita bisa mengambil ajaran Paguyuban Sumarah, salah satu aliran
Kebatinan yang didirikan di Yogyakarta pada tahun 1950 oleh
dokter Soerono Prodjohoesodo. Aliran ini
mengajarkan bahwa manusia itu terdiri dari badan wadag (jasmani), badan
Nafsu dan Jiwa atau Roh. Penjelasannya dapat dilihat dalam buku
“Konsepsi tentang Manusia dalam Kebatinan Jawa”, oleh Dr. Harun
Hadiwijono (p.104-105).
Persoalan hidup manusia
dewasa ini adalah bahwa manusia sampai kini “belum mengenal diri” secara
penuh. Hal ini dikaitkan dengan persoalan kodrat manusia itu sendiri.
Apa kodrat manusia yang sebenarnya? Duluh “Natur atau Kodrat” dialami
sebagai sesuatu yang harus dijinakkan. Kodrat itu begitu berkuasa dan
ganas sehingga manusia perlu mengolahnya secara lebih baik. Sekarang
ketika kodrat manusia diatasi dan ditaklukkan untuk menjamin keberadaan
manusia, kodrat itu sendiri yang melingkupi kita dialami sebagai satu
gudang persediaan yang hampir habis. Ilmu pengetahuan dan teknik membuka
eksplorasi dan eskperimen besar-besaran tentang lingkungan kodrat
manusia. Lingkungan kodrati diatur, diciptakan dan direkayasa menurut
kemampuan dan kemauan manusia. Penciptaan bayi dengan “cloning”
merupakan bagian dari ekploitasi, eksplorasi dan eksperimen terhadap
kodrat manusia. Pertanyaan etis terhadap semua percobaan ini ialah bahwa
apakah percobaan-percobaan itu yang bisa dikenakan pada manusia dapat
dipertanggungjawabkan secara etis, dan apakah dengan itu manusia
dapat menemukan jatidirinya yang sesungguhnya. Ada jawaban pro-kontra,
tetapi persoalan filosofis aktual akan menjadi muncul ketika kita
bertanya “siapa itu manusia dan apa hakikatnya”? Apakah manusia itu
memiliki unsur kerohanian? Kekejaman di abad 20, genoside dan
peperanganpeperangan yang membawa korban jutaan orang menimbulkan
kesadaran manusia kembali untuk bertanya tentang dirinya. Manusia
ragu-ragu tentang gambaran yang ia miliki sekarang tentang dirinya. Dia
sebetulnya tiba pada satu kesadaran diri yang menetapkan bahwa dia
sendiri sebenarnya “tidak tahu” apa-apa tentang hakikat dirinya atau
jati-dirinya, tidak tahu untuk apa dia hidup dan bagaimana dia harus
hidup.
Dengan bertolak dari
kesadaran diri itu, pertanyaan tentang “hakikat” manusia sendiri lalu
menjadi pertanyaan sentral dari filsafat: Apa yang menjadi hakikat
manusia? Semula pertanyaan filosofis ini hanya terbatas pada satu bidang
kecil yang memuat informasi tentang manusia. Tetapi lama kelamaan
dengan pesatnya perkembangan pengetahuan, penelitian tentang manusia
berkembang pesat menunit sudut pandangan yang berbeda-beda dari ilmu
pengetahuan, dan pada akhirnya bangkit juga minat untuk mempersoalkan
“Ada” dari manusia. Tematisasi tentang problem “Ada” dari manusia ini
justru berjalan melampaui penelitian-penelitian empiris yang digeluti
selama ini. Justru usaha untuk beranjak keluar dari bidang empiris ini
menghantar orang untuk menggeluti manusia dalam perspektif “filsafat”
yang disebut “Filsafat Manusia atau Antropologi Filsafat”. Filsafat
Manusia lalu menjadi salah satu disiplin filsafiah. Objek filsafat
manusia lalu tidak hanya berpusat pada hakikat manusia yang mau diteliti
seeskstensif mungkin dan seintensif mungkin, yaitu bentuk khas realitas
“adanya”, struktur batiniah dan dinamikanya, tetapi juga sistematisasi
seluruh pengetahuan tentang manusia seperti kritik pengetahuan,
metafisika pengetahuan, pendasaran etik
dsb. Satu pendekatan yang tidak boleh diabaikan dalam filsafat manusia
ini juga yaitu pendekatan ontologis yang berusaha mensintesekan semua
pengetahuan manusia itu secara sistematis dengan merujuk kepada apa yang
menjadi inti atau hakikat dari manusia.
Diktat kuliah ini
berjudul “Antropologi Filsafat”. Ia memuat cara-cara pengenalan yang
berpusat sekitar persoalan tentang “hakikat manusia”: bentuk khas dari
realitas “Ada” manusia; struktur dalamnya dan dinamikanya dsb. Judul itu
tidak mewakili aliran tertentu seperti aliran terkemuka dari filsuf Max
Scheler (1928); Helmuth Plesner (1928) dan Arnold Gehlen (1940), tetapi
terbuka untuk semua pendekatan yang bergelut tentang kekhasan manusia
sedari penelitian biologis tentang manusia sampai kepada pertanyaan
sentral tentang manusia dalam filsafat. Tentu dengan jelas harus
dibedakan Antropologi Filsafat dan Antropologi sendiri. Antropologi
sendiri berhubungan dengan kegiatan penelitian empiris-positif semata
tentang bidang tertentu seperti Antropologi ragawi tentang tubuh manusia
dan Antropologi Budaya yang meneliti kebudayaan manusia dan Etnologi
yang meneliti ras dan suku tertentu.
Pertanyaan antropologis di
dalam diktat kuliah diolah menurut pertanyaanpertanyaan yang bertolak
dari satu bidang kepada bidang yang lain, tetapi tetap selalu disadari
bahwa jawaban terhadap pertanyaan yang satu selalu berakhir dengan
jawaban yang tidak memuaskan. Pertanyaan-pertanyaan itu menyentuh juga
pertanyaan ilmu pengetahuan. Kesulitan pendekatan itu menunjuk kepada
perlunya ada teori pendekatan ontologis di satu pihak dan di pihak lain
refleksi pndekatan pragmatis-ilmiah (bagian pertama). Kedua momen
pendekatan ini bertemu di dalam unsur subjektivitas yang hendaknya
menjadi prinsip untuk mengorganisir seluruh perlukisan tentang manusia.
Dan ini hanya tercipta di dalam usaha untuk memperjelas dan
menginterpretasi dimensi dasar manusia yang berada di dalam dunia
(In-der-Welt-Sein). Interpretasi dan penjelasan
tentang dimensi dasar ini ditelaah dalam model-teori dari ilmu-ilmu kemanusiaan yang dipilih (bagian kedua). Lebih dalam dari pada itu, lebih masuk ke dalam intisarinya diperkenalkan satu analisa terhadap cara-cara dasar dari subjektivitas manusia yang dituangkan dalam ungkapan “kesadaran dan kebebasan kehendak” (bagian ketiga). Akhirnya pertanyaan itu berpusat pada usaha untuk mencari kesatuan yang paling mendasar dan mencari makna yang dapat direalisir dalam keseluruhan Realitas keberadaan manusia (bagian keempat).
tentang dimensi dasar ini ditelaah dalam model-teori dari ilmu-ilmu kemanusiaan yang dipilih (bagian kedua). Lebih dalam dari pada itu, lebih masuk ke dalam intisarinya diperkenalkan satu analisa terhadap cara-cara dasar dari subjektivitas manusia yang dituangkan dalam ungkapan “kesadaran dan kebebasan kehendak” (bagian ketiga). Akhirnya pertanyaan itu berpusat pada usaha untuk mencari kesatuan yang paling mendasar dan mencari makna yang dapat direalisir dalam keseluruhan Realitas keberadaan manusia (bagian keempat).
Karena manusia dalam
gambaran tua merupakan mikrokosmos, maka usaha untuk mengungkapkan
gagasan dasar yang menyangkut pertanyaan antropologis tidak dilihat
sebagai satu yang mendesak. Bukan juga dituntut bahwa orang harus
memberi sumbangan penelitiannya, tetapi diharapakan bahwa pembaca yang
menggunakan buku kecil dapat bertanya lebih lanjut lagi secara kritis
dan dapat menemukan jawabannya sendiri dan mengenalnya. Tidaklah cukup
orang hanya bergelut satu kali tentang soal-soal itu, tetapi selalu
berulang menggelutinya supaya si pembaca secara sadar dengan penuh
gembira dapat menemukan jawabannya sendiri. Yang diutamakan di sini
adalah usaha bersama dari yang lain untuk turut memberi pertimbangan
tentang masalah kemanusiaan.
1. PERTANYAAN TENTANG PENDEKATAN YANG TEPAT.
Situasi atau keadaan yang
menjadi titik tolak pertanyaan kita tentang manusia adalah
ketidak-tahuan, yaitu satu kekurangan pengetahuan kita tentang diri
kita, entah kekurangan
pengetahuan yang bersifat eksistensial atau hipotetis. Kita tidak tahu tentang diri kita. Kita
mempersoalkan pengetahuan tentang diri
kita. Dari mana kita tahu tentang diri kita. Bagaimana kita tahu tentang
diri kita? Bidang pertama yang menjadi sasaran perhatian kita adalah
Ilmu Pengetahuan dan dalam arti yang sempit Ilmu Pengetahuan alam,
karena Ilmu Pengetahuan alam menggeluti dunia kodrat termasuk kodrat
manusia secara objektif, teliti dan tepat.
1.1. Pendekatan dalam konteks Biologi Perbandingan.
Ilmu pengetahuan alam yang
berbicara tentang manusia dapat kita temui dalam ilmu Biologi, Fisika
dan ilmu Kimia. Kalau kita mengurutkan ilmu pengetahuan alam tersebut
menurut derajat penelitian terhadap
manusia, maka tampaklah bahwa ilmu pengetahuan pertama yang berbicara
tentang manusia adalah “Biologi”. Di dalam Fisika dan ilmu Kimia,
manusia hanya bisa tampil sebagai objek penelitian, sejauh manusia
merupakan satu tubuh
dalam ruang (Fisika), yaitu bentuk tubuh,
tipe tubuh, gerakan mekanis dalam tubuh dsb, atau satu kompleksitas
ikatan-ikatan kimiawi dan proses-proses kimiawi (ilmu Kimia). Kedua
bidang ini ternyata lebih sempit dari pada Biologi, karena keduanya
berfokus pada
penelitian terhadap realitas manusia sebagai satu benda fisis dan
kemis. Objek dari Biologi adalah makhluk hidup, yaitu satu realitas
kehidupan dari makhluk-makhluk hidup; bidang
ini menyentuh seluruh bidang kehidupan
makhluk hidup yang sudah dikelompokkan menurut posisinya dalam ruang.
Salah satu dari keseluruhan realitas kehidupan yang menempati satu
posisi tertentu dalam ruang disebut atau memikul nama “manusia” (homo
sapiens). Pada taraf berikut, pertanyaan lebih lanjut ialah bahwa sejauh
mana semua hasil penelitian biologis yang ditunjang oleh penelitian
ilmu pengetahuan Fisika dan Kimiawi dapat memberikan gambaran yang tepat
tentang realitas manusia? Apakah realitas ontologis makhluk hidup yang
tidak dapat direduksi kepada sesuatu yang anorganis dapat sesuai dengan
kekhususan metodologis biologis dalam hadapannya dengan ilmu Kimiawi dan
Fisika.
Dengan bantuan metode Biologi
yang berbicara tentang manusia, kita dapat menemukan perbandingan
antara individu dari satu jenis atau spesies dengan individu dari
spesies yang lain. Tapi dengan cara tertentu hasil perbandingan itu akan
menunjukkan bahwa dari perbedaan-perbedaan yang ada ditemui satu
kesamaan yang besar sekali atau keserupaan yang jelas dari antara
spesies itu. Dan bila kita memperhatikan secara teliti kesamaan dan
keserupaan spesies itu, kita bisa melihat keistimewaan yang
memperlihatkan perbedaan antara mereka juga.
Penetapan pertama tentang
manusia, tentang siapa dia, justru terletak dalam ketermasukan manusia
ke dalam sistem dari makhluk hidup. Bila kita menempatkan manusia dalam
konteks makhluk hidup, maka dia bisa digolongkan sebagai binatang
menyusu (tidak seperti binatang amfibi), dan dalam kelompok binatang
menyusu, manusia tergolong dalam binatang menyusu tingkat tertinggi
(bukan seperti binatang pengerat), dan
dalam kelompok binatang menyusu tingkat
tertinggi, manusia termasuk dalam kelompok manusia kera (antropoide) dan
tidak seperti binatang menyusu tingkat tertinggi lain seperti kera. Dan
dalam kekerabatan yang lebih dekat dengan antropoide manusia tergolong
ke dalam cimpase, Gorilla atau Orang-Utan. Dengan penelitian metodis
tentang pengelompokkan seperti ini kita makin lama makin menemukan
keistimewaan manusia dan
mengartikan keistimewaan itu secara
analogis. Bila kita perlahan melepaskan kesamaan, keserupaan dan
kekerabatan biologis itu, kita menemukan juga kekhasan serta
keistimewaan tertentu dalam spesies tadi. Kekhasan yang terpenting dalam
manusia sejauh penelitian biologis dapat ditonjolkan dalam tiga titik
tolak berikut ini: titik-tolak anatomismorfologis; titik tolak
ontogenitis dan titik tolak ethologis.
1.1.1. Keistimewaan anatomis-morfologis.
Keistimewaan
anatomis-morfologis terletak dalam anatomi tubuh dan postur atau bentuk
tubuh. Keistimewaan anatomi tubuh dan bentuk tubuh manusia hanya bisa
ditangkap bila dibandingkan dengan anatomi tubuh dan bentuk tubuh
binatang yang menyerupai manusia. Binatang yang menyerupai manusia dalam
penelitian biologis adalah manusia-kera dan secara lebih khusus
Simpase. Menurut penelitian biologi-molekular, jumlah kromosom simpase
berangka 48, sedangkan pada manusia 46. Perbedaan struktur biomolekular
antara manusia dan simpase hanyalah 1, 5 persen (Franz Dähler: Pijar
Peradaban manusia, hh. 41-42). Manusia-kera memiliki ciri-ciri yana
dapat kita saksikan demikian: tulang punggung berbentuk “S”, dan tulang
punggung yang berbentuk demikian
berada pada sisi bawah bagian tubuh; pinggul kurang tegak; persendian pangkal paha dan
sendi lutut tidak merentang secara penuh;
kaki melengkung dsb. Semua itu sesuai dengan sikap tegak yang dimiliki
secara tetap oleh manusia sebagai satu-satunya binatang menyusu.
Korelasi sikap yang tegap itu tidak lain dari pada satu pembebasan
bagian tubuh paling depan untuk bergerak sendiri dan pembentukan kaki
untuk berdiri tegak. Sesuai dengan cara hidup manusia-kera di atas
pohon-pohon, tangan manusia-kera (dalam perbandingannya dengan manusia)
berbentuk seperti kait dan agak menyorok serta dilengkapi dengan ibu
jari yang kecil dan yang tidak dapat melawan secara baik. Sebaliknya,
tangan manusia tampak kurang terspesialisir dan terdiferensiasir dengan
bergerak maju secara ringan. Tangan manusia tidak cocok untuk menerkam
dengan sekuat tenaga, tapi cocok dan peka untuk bekerja trampil dan
tepat.
Tangan manusiayang bergerak
bebas – oleh Aristoteles disebut “alat kerja dari alat kerja” –
mempunyai hubungan erat dengan pembentukan tengkorak. Mata yang melihat
ke
depan dan sering membelalak serta
dahi dengan moncong khas pada wajah manusia-kera masih tampak
teraksentuir juga pada manusia. Itu berarti bahwa muka dan alat peraba
manusia masih punya arti yang dominan melebihi indra pencium. Gigi
geraham tetap tumpul, begitu juga urat-urat untuk rahang yang sangat
kuat. Kekuatan-kekuatan ini terkompensir dengan kemampuan tangan untuk
membawa atau mengangkut benda-benda objek dari satu tempat ke tempat
yang lain dan kemampuan untuk menghasilkan alat dan senjata. Melalui itu
kompleksitas dari organ-organ tubuh yang menghasilkan suara berubah
sedemikian sehingga terjadi kemungkinan pembentukan suara yang akhirnya
tampil dalam bentuk “bahasa” pada manusia. Dahi yang tampak tidak lagi
berfungsi untuk memperkuat daya pengunyah “tidak mengancing”. Tengkorak
dahi dapat membesar dan memberi tempat untuk bentuk dahi yang lebih
besar.
Otak yang merupakan bagian
terpenting dari seluruh sistem syaraf sentral memainkan peranan yang
menentukan untuk struktur organisasi makhluk hidup yang lebih tinggi.
Peranan itu sejalan dengan evolusi yang mencakup proses penyempurnaan
peranan itu. Manusia tidak lagi memiliki bagian-bagian otak seperti pada
manusia kera. Tetapi volume dari otak manusia lebih besar dari otak
manusia kera. Volume atau isi otak manusia sekitar 1300cm3 kalau
dibandingkan dengan Gorilla yang memiliki isi otak sekitar 500 cm3.
Lebih jelas lagi dalam hal berat otak. Ada perbedaan yang mencolok
antara manusia dan manusia kera. Pada manusia, otak utama (otak kecil)
yang lebih tua dan yang bertanggung jawab untuk reaksi afektif dan
instinktif mempunyai arti yang sudah teredusir, jika dibandingkan dengan
otak besar yang relatif muda dan yang memungkinkan fungsifungsi yang
lebih tinggi. Otak besar yang relatif muda ini berkembang luar biasa
kuat. Teristimewa jaringan jaringan saraf yang kuat menjadi tebal.
Informasi lain diminta untuk lihat dalam literatur-literatur lain.
Keistimewaan anatomi dan
bentuk tubuh manusia dalam perbandingannya dengan manusia-kera
menunjukkan adanya evolusi perkembangan makhluk hidup. Anatomi dan
bentuk tubuh manusia dalam perspektif
filsafat manusia hanyalah jenjang-jenjang; perkembangan yang belum
menyimpulkan adanya keluarbiasaan dan kelebihan kedudukan
manusia dalam skala evolusi. Evolusi
manusia dapat dilambangkan sebagai panah yang terlepas dan bergerak
menuju sasaran, yaitu masa depan. Tidak ada sesuatu pun yang berhenti di
masa lampau, masa sekarang, tetapi senantiasa berkembang ke depan. Masa
depan adalah bahasa evolusi.
1. 1. 2. Posisi khas ontogenetis.
Posisi khas ontogenetis pada
manusia dalam perbandingan dengan binatang menyusu terlihat dalam fase
kelahiran sejak berada dalam kandungan sampai kepada masa awal sesudah
kelahiran. Kelahiran merupakan saat peralihan kehidupan dari kehidupan
dalam kandung ibu kepada keterpisahannya dari kandungan ibu untuk masuk
ke dalam dunia dan memiliki “Dasein” (realitas “ada”) tersendiri. Semua
binatang menyusu lain memiliki masa mengandung yang agak lama sesuai
dengan tingkat perkembangannya yang berbeda-beda. Biasanya masa
mengandung berlangsung 21 dan 22 bulan; manusia sebetulnya memiliki masa
mengandung seperti ini, tapi sampai sekarang yang diketahui, manusia
dikandung selama 9 bulan. Pengamatan yang lain lagi selain masa
mengandung ini tertuju kepada saat langsung sesudah kelahiran. Hampir
semua binatang mengalami kematangan segera untuk berdiri sendiri sesudah
lahir. Mereka memiliki kematangan yang cepat dengan perkembangan
kemampuan yang perlu untuk berada sendiri. Pada bayi manusia, organisasi
otot dan saraf berkembang perlahan dan bisa berlangsung sampai sekitar
satu tahun. Portmann melukiskan tahun-tahun pertama hidup manusia
sebagai ,”tahun ekstra-uterin embrio”. Arti dari anomalitas ini terletak
di dalam kenyataan bahwa dengan cara itu penempaan sosio-kultural dari
bayi bersangkutan merasuk masuk ke dalam stadium embrional yang belum
lengkap. Di dalam waktu 9 sampai 11 bulan dari tahun pertama terbentuk
tiga unsur penting secara serempak untuk hidup manusia: kesanggupan
untuk menggunakan alat; bahasa yang khas dan sikap yang tegap. Dalam
semua usaha ini pembawaan lahir dan dorongan alamiah berpengaruh satu
sama lain untuk meniru keadaan sekitarnya dengan cara meresapkannya
secara membatin. Hal serupa tidak mungkin berlaku
untuk binatang menyusu dalam tingkat
lebih tinggi selain manusia. Fase di dalam kandungan ibu itu sudah
merupakan fase penentu untuk mengorganisir sistem urat- saraf,
dan dalam situasi yang jauh dari kontaknya dengan dunia luar, seluruh organisasi instink diatur dan dibangun secara kokoh.
Posisi khas ontogenetis yang
ditemui pada manusia tidak menyelesaikan persoalan juga tentang kekhasan
manusia, karena posisi khas ontogenetis bisa ditemui juga pada gorila.
Fakta biologis yang memperlihatkan kekhasan ontogenetis pada manusia,
gorilla, kera, babi dsb. belum memberi kesimpulan bahwa hakikat manusia
berbeda dengan binatang.
1.1.3. Keistimewaan struktur tingkah laku atau sikap.
Biologi perbandingan coba
menyoroti struktur tingkah laku pada binatang dan struktur tingkah laku
pada manusia. Struktur tingkah laku pada binatang dan pada manusia
memiliki struktur dasar yang sama. Dalam jumlah yang tak terhitung
banyaknya setiap makhluk hidup (binatang dan manusia) menjawabi situasi
yang punya arti tertentu dan yang dirangsang secara biologis dari luar
tanpa pengalaman sebelumnya, tanpa percobaan dan kekeliruan. Makhluk
hidup menjawabi itu dengan cara yang berarti, dan menerima rangsangan
itu dengan cara khas dan jelas. Mereka mempunyai kemampuan untuk
membentuk dan mengatur semua data pengalaman indrawi ke dalam satu
reaksi tertentu, dan hal ini justru memungkinkan satu kesempatan optimal
dalam setiap situasi untuk bertindak secara tepat. Apakah struktur
dasar ini dilengkapi juga dengan keistimewaan struktur tingkah laku pada
masing-masingnya, baik pada binatang maupun pada manusia?
Kita melihat lebih dahulu
struktur tingkah laku pada binatang. Untuk binatang perubahan-perubahan
di dalam lingkungan hidup, yaitu perubahan yang ada di dalam dirinya
sendiri, dikenal melalui skemata-skemata yang menimbulkan reaksinya
secara sesuai, karena di dalamnya sudah terdapat kesediaan
batiniah-naluriah yang dikendalikan secara hormonal. Reaksi bagian yang
satu terintegrir ke dalam reaksi bagian yang lain, dan hal itu membangun
satu mata rantai tindakan yang punya arti tertentu. Setiap bagian
reaksi yang terintegrir satu sama lain itu justru menghantar kepada
tujuan akhir tertentu yang sementara sifatnya seperti pemuasan,
perkawinan, penetapan posisi dsb. Setiap bagian reaksi ini dihasilkan
lagi oleh satu rangsangan atau stimulus baru. Jadi terdapat satu
hierarki: Dari tujuan umum yang meliputi segalanya seperti tujuan
pengakuan atau pertahanan diri dan jenisnya, sampai kepada tujuan khusus
seperti pemuasan terhadap kebutuhan pokok dan pengembangbiakan dsb;
untuk pemenuhan kebutuhan dasar ini sebagian tujuan khusus harus
dicapai, misalnya untuk pengembang biakan si jantan harus mengalahkan saingannya dengan
cara mengejar-ngejar, mengancam atau menggigit dsb. Faktor yang
menentukan di sini ialah bahwa setiap binatang tidak pertama-tama
“harus” belajar membuat seleksi terhadap tingkah laku yang berarti di
dalam setiap situasi, tetapi setiap binatang semacam “sudah” tahu
secara hormonal, yaitu bertindak seakan-akan dia sudah selalu tahu
bagaimana dia harus memberi reaksi dan bertingkah laku. Dengan demikian
tidaklah tertutup kemungkinan bahwa tingkah laku binatang itu dapat juga
ditentukan oleh faktor-faktor yang tidak berasal dari warisan
kelahiran; hal ini misalnya terdapat pada binatang verterbrata (binatang
yang beruas tulang belakang), terutama pada jenisnya yang lebih tinggi.
Pada binatang itu terdapat faktor “penempaan” atau penggemblengan dan
faktor “belajar”. Faktor penempaan atau penggemblengan terjadi ketika
kesan-kesan indrawi mempunyai pengaruh, dan dampak pada organ tertentu
dari tubuh di dalam satu fase kehidupan tertentu yang sensibel.
Dampaknya ialah bahwa kesankesan indrawi itu akan tetap menjadi
ransangan yang menimbulkan reaksi dalam tempattempat rangsangan tertentu
pada tubuh. Ahli etologi (ahli tentang tingkah laku binatang)
menjelaskan bahwa melalui “proses tempaan itu” misalnya hubungan antara
anak-induk menjadi stabil, orientasi seksual ditetapkan (tipe-tipe
persahabatan: heteroseksualitas dan homoseksualitas). Cara-cara untuk
memberi reaksi baru dapat diperoleh, ketika cara-cara bereaksi itu
bersenyawa satu sama lain sesuai dorongan-dorongan melalui rasa sakit
dan nafsu yang selalu terulang. Semakin tinggi berkembangnya jenis
binatang tertentu, semakin mampu dia mengumpulkan pengalaman-pengalaman
melalui “percobaan dan kekeliruan”, begitu juga semakin mampu dia
mengubah tingkah lakunya lewat “belajar”, yaitu dengan cara mengambil
alih tingkah laku dari yang lain. Perlengkapan instink menjadi kaku dan
diperluas oleh peristiwa tempaan itu dan oleh tingkah laku yang
dipelajari itu.
Pada manusia ikatan
automatis antara stimulus dan response berada di bawah pengawasan akal.
Memang di satu pihak di dalam diri manusia tidaklah dapat dibedakan
dengan jelas mana kerja instink dan mana rangsangan yang ditimbulkan
oleh objek dari luar, tapi instink dan rangsangan dari luar dapat
ditransformir oleh akal sedemikian sehingga pada tingkat tertentu
manusia dapat membedakan dorongan-dorongan yang bekerja pada bidang yang
berbeda-beda seperti dorongan makan untuk pertahanan hidup, dorongan
seksual untuk pengembangbiakkan dsb. Tapi satu kenyataan yang harus
diakui ialah bahwa semua dorongan yang bekerja dalam bidang yang
berbeda-beda itu tidak dapat ditaksir dan tidak dapat diperhitungkan,
sebab semua dorongan itu selalu terselimut dengan motif-motif tertentu
yang berpengaruh dalam seluruh tingkah laku seperti dorongan seksual
diselimuti juga oleh motif-motif prestise dana.
Perbedaan utama yang
terpenting adalah unsur terbaru baik dari pihak dorongandorongan maupun
dari pihak objek-objek yang berkorespondensi dengan dorongandorongan
itu. Manusia mampu bukan hanya untuk merasakan objek-objek yang
berhadapan atau bersentuhan dengannya sebagai., kompleksitas
rangsangan-rangsangan, tetapi juga untuk mengartikan dan menghargai
objek-objek itu menurut realitas “Ada” yang melekat padanya, realitas
apa adanya. Sampai pada taraf itu, manusia jtistru membangunkan satu
etik dan satu ontologi yang kritis. Kemampuan dan dorongan untuk
,tingkah laku semacam itu berhubungan dengan satu tujuan yang berada
melampaui tujuan dirinya sendiri dan melampaui tujuan untuk
mempertahankan jenisnya. Karena itu manusia dapat mengelakkan
perkembangbiakan demi kepentingan tujuan-tujuan yang lain; manusia dapat
dengan sadar mengakhiri hidupnya atau dengan sadar mengarahkan
perhatiannya pada hal-hal penting lainnya.
Biologi perbandingan
menunjukkan keistimewaan struktur tingkah laku pada manusia bahwa
struktur tingkah laku manusia berada di bawah pengawasan akal. Kenyataan
ini bermaksud untuk menunjukkan bahwa realitas manusia sudah memiliki
(perbedaan hakiki dari binatang meskipun ada kesamaan dan keserupaan
mendasar antara
keduanya dalam menjawab rangsangan dari luar secara intinktif. Tetapi kekhasan yang
dilukiskan itu belum juga menyelesaikan persoalan tentang akal
manusia itu sendiri, apakah akal itu bersifat material atau tidak. Di
antara binatang ada juga semacam “akal” yang menjadi pengawas tingkah
laku mereka ketika kita memperhatikan bahwa mereka mempunyai kemampuan
“belajar” dan dapat keliru seperti yang dilukiskan tadi.
1.2. Problematika pendekatan.
Melalui tiga jalan pendekatan
biologis yang disebutkan sebelumnya untuk masuk ke dalam pemahaman
tentang hakikat manusia, orang dapat membuat satu kesimpulan umum bahwa
biologi perbandingan justru menempatkan manusia sederajat dengan
binatang. Memang ada perbedaan-perbedaan khas pada manusia seperti yang
ditunjuk dalam ketiga pendekatan itu, tetapi hasil-hasil penelitian
biologis memperlihatkan tidak adanya perbedaan esensial yang menyangkut
hakikat hidup makhluk hidup seperti binatang dan manusia. Pertanyaan
filosofis; muncul untuk mengkonfrontir metode pendekatan biologi
perbandingan, yaitu bahwa apakah hakikat manusia itu sama dengan
binatang; apakah manusia sederajat dengan binatang atau lain dari
binatang. Di sanalah letak paradoksnya, yaitu bahwa manusia sederajat
dengan binatang, di satu pihak dalam konteks biologi perbandingan dan di
pihak lain berbeda dengan binatang dalam konteks penelitian terhadap
keistimewaan-keistimewaan yang disebut di atas.
Orang coba memecahkan
paradoks yang disebut terakhir itu (sederajat dengan binatang atau
berbeda dengan binatang?) dengan merujuk kembali pada data-data yang
dihasilkan biologi perbandingan, khususnya data-data tentang usaha
makhluk hidup seperti manusia dan binatang, untuk memenuhi kebutuhan
pokoknya dan untuk mencapai tujuan pertahanan diri dan jenisnya.
Pendekatan pertama untuk mengatasi paradoks itu berpusat pada konsepsi
yang melihat manusia sebagai “hakikat yang cacat” sebagaimana
ditandaskan oleh Arnold Gehlen. Bila manusia itu dilihat sebagai satu
“hakikat yang
cacat”, maka seluruh kekurangan atau cacat cela yang melekat padanya dikompensasikan oleh kemampuan dirinya untuk menutup kembali cacat celanya itu. Misalnya, manusia mengkompensir kekurangan-kekurangan dengan berpakaian untuk menutup tubuhnya yang kekurangan buluh, dengan bersenjata seperti pentungan dan senjata atom manusia
mengkompensir senjata gigi yang tidak tajam dan mengambil alih
ketrampilan “mencuri” pada binatang, atau dengan membentuk institut
sosial ia (manusia) sebetulnya mengkompensir daya-daya instink yang
terorganisir di dalam dirinya seperti yang terjadi dalam binatang. Tentu
saja cacat yang digambarkan itu berhubungan dengan
perlengkapanperlengkapan yang ada pada binatang dalam rangka pemenuhan
kebutuhan pokok dan pertahanan dirinya serta jenisnya. Tampak bahwa
memang kompensasi itu tidak berjalan menurut satu norma khas manusia,
tetapi satu daya pengimbang yang harus ada demi pemenuhan kebutuhan
pokok dan pertahanan diri manusia. Dengan demikian di balik konsepsi
tentang manusia sebagai hakikat yang cacat ini terletak satu pemahaman
bahwa sebetulnya manusia itu sederajat dengan binatang.
Kekhasan-kekhasan yang dimilikinya tidak lain dari pada kompensasi
terhadap kekurangan-kekurangan yang ia miliki dalam proses pemenuhan
kebutuhan, pertahanan diri dan jenisnya. Kelemahan dari konsepsi manusia
sebagai hakikat yang cacat ialah bahwa konsepsi ini justru menempatkan
cara binatang sebagai ukuran yang dikenakan pada manusia. Ukuran itu
ditarik dari cara binatang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, untuk
mempertahankan hidupnya dan melanjutkan turunannya. Kita menafsirkan
tingkah laku dan susunan badan dari binatang dengan ungkapan-ungkapan
yang antropomorfisme, yaitu ungkapan-ungkapan tentang binatang
seakan-akan binatang itu adalah manusia; dengan ungkapan-ungkapan itu
pula kita mendapat kesulitan untuk secara kritis menentukan batas-batas
antropomorfisme. Sebaliknya juga, kita coba mengartikan tingkah laku
manusia dengan merujuk kepada tingkah laku yang telah ditafsirkan dari
dunia binatang. Atas cara ini terciptalah pengertian kita tentang
binatang dan juga pengertian kita tentang manusia tanpa satu pengetahuan
yang diteliti secara objektif. Juga indikasi tentang asal usul yang
sama antara manusia dan manusia-kera dengan bertolak dari satu ikatan
jenis yang sama hanya menjamin identitas kedua bentuk kehidupan itu
menurut hakikatnya. Itu hanya bisa diandaikan bila dalam perjalanan
evolusi tak terjadi sesuatupun yang baru. Karena itu orang mau tidak mau
menyetujui pendapat W. Schulz: “Dorongan untuk mempertahankan diri
menurut pendapat Gehlen pada dasarnya berfungsi sebagai satu prinsip
abstrak yang menjadi titik tolak dancacat”, maka seluruh kekurangan atau cacat cela yang melekat padanya dikompensasikan oleh kemampuan dirinya untuk menutup kembali cacat celanya itu. Misalnya, manusia mengkompensir kekurangan-kekurangan dengan berpakaian untuk menutup tubuhnya yang kekurangan buluh, dengan bersenjata seperti pentungan dan senjata atom manusia
sasaran untuk interpretasi”. Secara lebih tajam dikatakan: “Gehlen bertolak dari satu metafisika biologis.”
Pendekatan kedua dari
paradoks tersebut, bahwa manusia merupakan satu dari binatang dan secara
serempak berbeda dari binatang, berasal dari pandangan Dualisme yang
melihat manusia sebagai yang terdiri dari dua komponen, yaitu tubuh yang
dikendalikan oleh dorongan-dorongan naluri seperti pada binatang dan
Roh yang merupakan kekhususannya. Pandangan Dualisme ini coba diperlunak
oleh gagasan Max Scheler dalam karyanya “Die Stellung des Menschen im
Kosmos”. Max Scheler berpendapat bahwa kekhususan atau kekhasan pada
manusia ialah kemampuannya untuk mengatakan “Tidak” kepada
dorongan-dorongan naluriah. Kemampuan untuk mengatakan “tidak” kepada
dorongan-dorongan itu adalah Roh yang keberadaannya sudah terserap di
dalam dorongan dan naluri-naluri. Karena itu di dalam lapisan terdalam
dari eksistensi manusia, di dalam lapisan tersebut yang menjadi milik
bersama dari semua dorongan hidup, manusia justru sudah memiliki
kemampuan vital roh. Eksistensi roh ini merentang dari ruang lingkup
yang gelap di dalam lapisan terdalam dari manusia menuju tingkat
kesadaran sampai ke tingkat kesadaran yang paling cerah pada puncak
tertinggi yang disebut ‘PRIBADI” sebagai bentuk eksistensi yang menjadi
milik khas manusia. Tempat metafisis yang melingkupi realitas hakikat
manusia menurut Scheler terletak di antara dua ujung kutub, yaitu antara
realitas ilahi dan realitas kebinatangan atau antara dunia ilahi dan
dunia binatang. Manusia bcrdiri sebagai jembatan penghubung antara kedua
realitas itu, dan satu fenomen yang menunjukkan bidang kontak itu
adalah rasa malu. Rasa malu hanya secara hakiki terdapat pada manusia.
Dunia binatang dan dunia ilahi tidak mengenal rasa malu. Namun pandangan
Max Scheler tidak menghilangkan sama sekali unsur dualistis dalam
konsep tentang manusia, karena tubuh dan roh masih merupakan dua unsur
yang dapat dibedakan. Problem Dualisme tidak membantu kita untuk
menangkap kesatuan manusia itu secara utuh. Dualisme sering meremehkan
kenyataan bahwa tubuh manusia sama sekali lain dari pada binatang, baik
dalam bentuk atau figurnya yang khas, yang di dalamnya “jiwa” manusia
menemukan ungkapannya yang luar biasa, maupun dalam caranya yang khas
untuk
memiliki satu badan. Manusia bukanlah setengah binatang, setengah malaikat, tetapi “manusia sebagai satu keseluruhan yang utuh.”
Untuk melihat manusia sebagai
satu keseluruhan yang utuh itu, cara penglihatan biologis (optik
biologis) harus direlativir untuk mengesampingkan cara pendekatan yang
mereduksi realitas manusia kepada realitas makhluk hidup lain seperti
manusia-kera. Cara pendekatan seperti itu bukanlah satu-satunya
pendekatan dan juga, bukanlah satu cara utama yang kita pakai untuk
melukiskan hakikat manusia. Dari sisi fenomen-fenomen masih terdapat
banyak pendekatan ilmu pengetahuan tentang manusia,
pendekatan-pendekatan yang harus diperhatikan seperti Ethnologi,
Psikologi, Medizin, Sosiologi, Ilmu Agama, Ilmu Musik dsb. Ilmu-ilmu
pengetahuan ini mempelajari bentuk-bentuk dan dasar-dasar perbuatan
manusia, bentuk-bentuk dan dasar-dasar dari pergaulan manusia satu
dengan yang lain, hasil usahanya, dan juga struktur batiniah dari
hasil-hasil ciptaannya yang khas, juga struktur batiniah si ilmiawan
sendiri. Kalau kita berpegang teguh pada ilmu-ilmu pengetahuan itu, maka
kita harus melakukan itu dengan kesadaran bahwa ilmu-ilmu pengetahuan
itu menyusun juga apa yang perlu untuk interpretasinya, yaitu menyusun
pengalaman-pengalaman hidup yang biasa. Dari sisi gejala-gejala yang
dapat dimengerti haruslah ditemukan satu bidang yang bisa lolos dari
dilemma yang dilukiskan itu, karena dilema itu didasarkan pada pandangan
bahwa baik manusia maupun manusia-kera (dan binatang-binatang serupa)
dimengerti dalam konteks pengertian umum tentang dunia binatang dengan
tidak memperhitungkan lebih dahulu elemen khas manusia, sehingga untuk
menentukan hakikat manusia terjadilah proses reduksionisme biologis atau
Dualisme sebagai jalan pemecahannya.
Bidang teoretis yang menjadi
dasar untuk pengolahan tentang hakikat manusia secara adekuat adalah
bidang Ontologi. Bidang ini membicarakan manusia sebagai “satu realitas
Ada” secara tersendiri. Realitas “Ada” dari manusia berbeda dari
realitas “ada” dari
binatang. Karena itu pendekatan ontologis
tentang manusia justru mengalahkan pendekatan biologi perbandingan yang
diuraikan sebelumnya. Di dalam bidan ontologis haruslah dipenuhi tiga
tuntutan berikut.
- Harus ada satu pengertian umum yang mencakup baik dunia binatang dengan cara hidupnya yang berbeda-beda maupun dunia manusia dengan kekhasannya. Pengertian umum itu hanya dapat dikonstruksikan dari pengertian ontologis yaitu pengertian yang dirumuskan dalam bentuk satu kata, term atau rumusan, tapi pengertian yang dirumuskan itu harus mewakili segala bidang kehidupan. Satu pengertian umum yang mencakup baik dunia binatang maupun dunia manusia dapat ditemui dalam rumusan bahasa Indonesia “lmakhluk hidup”. Malaikat dan roh tidak tercakup dalam pengertian itu. Sedangkan kata “zoon” dalam bahasa Yunani menunjuk kepada dunia binatang, dunia manusia bahkan dunia ilahi, tetapi tidak termasuk dunia tumbuh-tumbuhan. Dalam bahasa Jerman, kata “Lebewesen” (makhluk hidup) cuma mencakup dunia tumbuh-tumbuhan, binatang dan dunia manusia, sedangkan dunia ilahi cuma dimengerti dalam arti metaphoris. Kedua pengertian itu (Zoon dan Lebewesen) tidak cocok untuk diterima sebagai satu pengertian ontologis, karena pengertian ontologis justru menuntut pemahaman yang memperlihatkan pembedaan ontologis antara makhluk-makhluk hidup itu, juga pembedaan ontologis antara manusia dan binatang. Karena itu orang memilih saja ungkapan yang berasal dari satu kata buatan yang diciptakan sendiri oleh para pengamat filsafat manusia, yaitu Subjek dan subjektivitas, yang akan dibicarakan kemudian.
- Pertanyaan tentang hakikat dari sesuatu hal harus berkaitan dengan pertanyaan tentang ada tidaknya pembatasan antara hakikat sesuatu hal dengan hakikat hal yang lain, misalnya antara hakikat seekor binatang dan hakikat seorang manusia. Dengan kata lain, apakah realitas “Ada” pada satu makhluk berbeda dengan realitas “Ada” pada makhluk lain. Ontologi berusaha menggeluti soal itu, dan kalau ada perbedaan antara realitas “Ada”, maka dalam Ontologi orang perlu merefleksikan juga apakah ada ide terakhir yang mencakup segala-galanya. Ide terakhir itu adalah ide tentang Realitas “Ada”, yang berdiri melampaui semua penampilan lahiriah dari realitas “Ada” yang berbeda-beda itu. Dan kalau tidak ada perbedaan antara Realitas “Ada” dalam setiap makhluk, maka pertanyaan lebih lanjut dalam Ontologi ialah bahwa Realitas “Ada” macam mana yang dapat direfleksikan pada manusia. Ontologi yang berbicara tentang hakikat makhluk hidup atau Realitas “Ada” dalam makhluk hidup tentu berhubungan erat dengan Filsafat Antropologi, dan bila Ontologi bergelut tentang hakikat atau Realitas “Ada” dalam diri manusia, Ontologi semacam ini merupakan bagian dari Filsafat Antropologi .
- Pengertian tentang hakikat manusia merupakan hasil dari satu penafsiran tentang fenomen-fenomen (gejala-gejala) yang tampak dari manusia. Dengan demikian kegiatan menafsir yang dijalankan oleh manusia yang satu hanya terbatas pada daya teropongnya yang bersifat sebagian. Kegiatan menafsir itu selalu bergantung kepada situasi dan kondisi si penafsir. Justru keterbatasan kegiatan menafsir inilah yang mencerminkan masalah “Fenomenologi” dan “Ontologi”: Sejauh mana penafsiran terhadap fenomen-fenomen yang tampak dalam diri manusia menyentuh sesuatu yang menjadi inti atau hakikat atau Realitas “Ada” dalam manusia itu.
1.3. Pengertian tentang Subjek.
Kata “Subjek” berasal dari
bahasa Latin: Sub + iacere (di bawah + melemparkan, menundukkan). Kata
jadian yang berasal dari “sub+iacere” adalah “subicere”: melemparkan
atau meletakkan ke bawah. Dalam pengertian filosofis kata “subjek”
dikenakan kepada manusia sebagai satu hakikat yang memiliki realitas
keberadaan (das Seiende) tersendiri. Dengan bertolak dari pengertian
bahasa dan pengertian ontologis tentang realitas keberadaannya, kita
coba memperkenalkan satu pengertian tentang Subjektivitas sebagai
realisasi kesatuan dan Subjektivitas sebagai “Sesuatu yang berada dalam
dunia”.
1.3.1. Subjektivitas sebagai satu realisasi kesatuan.
Subjektivitas bertolak dari
ide tentang sesuatu sebagai satu realitas “ada” (das Sein = Realitas
“Ada” = Realitas yang benar) dan tentang kesatuan yang melengkapi dan
mengokohkan realitas “ada” itu. Antara realitas “ada” dan kesatuan
terjalin hubungan yang saling mendukung. Di mana kita menemukan
“realitas ada”, di sana kita juga menemukan kesatuan, begitu juga
sebaliknya, di mana kita menemukan “kesatuan”, di sana kita menemukan
“realitas ada”. Semakin sedikit sesuatu itu tampil sebagai sesuatu yang
real, semakin kurang hal itu menemukan kesatuan yang asli. Bila kita
berbicara tentang “satu
kesatuan”, maka kita pertama-tama
berpikir tentang unsur jumlah: 1+1+1+1……..Satu kesatuan memang terbentuk
atas cara ini, bahwa unsur-unsurnya memiliki sesuatu yang menjadi milik
bersama dan serempak menjadi satu ketersendirian yang unik. Dengan
demikian, setiap unsur yang membentuk satu kesatuan itu memiliki
“keterpaduan” (Geschlossenheit) yang memperlihatkan ketersendiriannya
yang unik dan serempak keterbukaan terhadap yang lain untuk diterima ke
dalam satu kesatuan yang lebih besar dari unsur itu. Melalui kedua sifat
ini setiap elemen dapat “diterima” semata-mata sebagai “satu”; ia
terpadu secara ke dalam dan terbuka untuk dapat bersatu dan bergabung
dengan yang lain. Kesatuan yang terbentuk itu dapat saja mengalami
perubahan “jati-diri” yang berasal dari dalam dirinya sendiri atau juga
yang berasal dari kemungkinan peleburan bagian-bagiannya ke dalam satu
keseluruhan yang lebih besar dari kesatuannya. Bila kita menganalis satu
benda atau satu makhluk hidup seperti binatang dan manusia sebagai
realitas “ada” dalam terang ide satu kesatuan itu – seperti sebuah batu
yang ditemukan di satu tempat, sebuah objek yang dapat dipakai, seekor
anjing, seorang manusia – maka tampaklah satu kesatuan yang terwujud
secara intens dan padat, yaitu satu intensitas yang tampil sejalan
dengan urutan jenjang-tingkatan yang dikenal di dalam tata tertib
realitas “Ada”, seperti satu kesatuan yang tenvujud secara intens pada
sebuah batu tentu lain dari satu satu kesatuan yang terwujud secara
intens pada seekor anjing. Melalui contoh itu, pengertian tentang
subjektivitas sebagai realisasi kesatuan menerima arti menunit bentuk
luar dan menurut ketahanan hasil keterpaduannya. Dengan bertolak dari
paham tentang kesatuan (keterpaduan dan keterbukaan terhadap yang lain),
sebagaimana elemen-elemen ini menampilkan diri kepada pengamatnya, kita
berangkat menuju pembahasan tentang dua sifat dari kesatuan yang
disebut di bawah ini.
a. Jenjang pembentukan jati-diri objektif dan keseluruhan.
Saya memegang “satu” batu di
tangan saya. Kita bertanya: “Apa yang menjadi dasar kesatuan batu ini?
Sifat kesatuan atau unsur khas dari bahan-bahan materialnya hampir tidak
memainkan peranan. Hal yang lebih penting adalah keterpaduan bentuknya
(bahwa orang dapat memperhatikan permukaannya dari satu sisi ke sisi
yang lain secara
keseluruhan, atau bahwa batu ini dapat berguling dalam kesatuan).
Apakah orang memperhatikannya dalam waktu yang agak lama atau sekilas,
batu itu toh tetap memperlihatkan keseluruhannya. Satu bentuk geometris
yang teratur memudahkan kita untuk menjatuhkan penilaian kita
terhadapnya, apabila kita memecahkan batu itu menjadi dua bagian lalu
mempertanyakan apakah batu yang satu itu menjadi dua keping batu dari
satu batu yang sama atau dua buah batu yang berbeda. Dengan mengamati,
memperhatikan dan mengukurnya menjadi pentinglah kegiatan menafsir kita
untuk mendekatinya menurut tujuan dan model penggunaan benda itu. Tujuan
dan model penggunaan benda itu dimengerti sebagai tujuan dan model yang
secara jelas menunjuk kepada satu kesatuan yang jelas atau satu
keterpaduan yang tampak dalam keseluruhan bentuknya (mis. bola atau
pisau), kesatuan yang mendapat pembatasan tajam oleh karena tujuan
penggunaannya. Tujuan penggunaan dari benda itulah yang menentukan
kesatuannya dan oleh karena tujuan tertentulah benda itu dibuat. Dari
pengertian tentang tujuan itulah kita dapat mengenal bahwa bagian-bagian
yang terpisah dapat menunjuk kepada keseluruhannya dan dapat menyatu
juga ke dalam keseluruhannya; dari situ kita dapat menilai bahwa
perubahan macam mana dapat mengancam identitas benda itu dan
perubahan-perubahan macam mana tidak menghilangkan identitas benda itu.
Dari itu pulalah kita dapat melihat keadaan keseluruhan dari benda itu
sebagai sesuatu yang penuh cacat dan retak. Pengertian tentang tujuan
justru berfungsi sebagai prinsip kesatuan satu benda atau objek.
Ide tentang prinsip kesatuan
itu dikenakan juga pada interpretasi kita tentang makhluk hidup. Di
dalam makhluk hidup terdapat tujuan di dalam dirinya sendiri.
Keberadaannya memiliki karakter yang bersifat ganda, yaitu sebagai satu
individuum dan sebagai makhluk dari satu jenis atau spesies. Individuum
menunjuk kepada jati-diri objektif dari satu makhluk, dan jenis atau
spesies yang disandangnya menunjuk kepada keseluruhan yang di dalamnya
individuum termasuk. Dalam keseluruhan kodratnya makhluk hidup tidak
terlepas dari tempat dan fungsinya untuk membangun keseluruhannya. Jika
seandainya arti keberadaan makhluk itu terletak dalam fungsinya, maka
keseluruhan yang menjadi sasaran jalinan antara jenis jenisnya tidak
punya arti, sebab keseluruhannya
hanya dapat memiliki satu eksistensi yang real di dalam setiap
makhluk hidup dari jenis yang sama. Tetapi arti keberadaan makhluk hidup
tidak terletak dalam fungsinya. Setiap makhluk hidup memikul di dalam
dirinya satu prinsip kediriannya (prinsip jati-diri objektif) yang
sangat jelas terlihat dalam realisasi diri seperti memnertahankan diri,
mengembangkan diri melalu metamorfose, pertukaran zat-zat kimiawi,
pengembangan diri atauperubahan lainnya. Serempak pula, makhluk hidup ini juga memiliki di dalam dirinya
dan melalui dirinya prinsip keseluruhan, dan prinsip ini bukan hanya terwujud di dalam proses pengembangan struktur kodrati dari keberadaan makhluk itu sendiri, yang mencakup juga unsur-unsur atau bagian-bagian yang tidak lagi ada, tetapi juga terwujud sedemikian rupa sehingga prinsip itu sendiri merupakan asal usul dinamis untuk perkembangan dari bagian-bagian yang termasuk dalam keseluruhan itu (seperti organ-organ dan fungsi-fungsinya), yaitu untuk regenerasi (regenerasi untuk bagian-bagian lama yang harus diganti) dan kompensasi (kompensasi untuk bagian-bagian yang tak berfungsi) dari bagian-bagian itu.
b. Jenjang perwujudan kesatuan yang melekat pada sifat subjek.
Kita mengambil contoh dengan
menderetkan benda dan makhluk hidup: batu, pohon, binatang dan seorang
manusia. Tampaklah pada kita bahwa prinsip kesatuan pada batu berbeda
dengan prinsip kesatuan pada pohon, dst. Pertanyaan kita ialah bahwa di
mana letak perbedaan prinsip antara mereka itu. Prinsip kesatuan apa
yang berbeda? Prinsip kesatuan batu tidak memiliki prinsip kesatuan
batiniah; yang ada di sana adalah prinsip kesatuan yang bersifat
instrumentalis seperti yang sudah ditunjuk sebelumnya. Sedangkan prinsip
kesatuan makhluk hidup memiliki prinsip kesatuan batiniah, meskipun
prinsip kesatuan sebatang pohon lebih kecil dari binatang, dan prinsip
kesatuan seekor binatang lebih kecil dari manusia.
Mengapa benda-benda material
seperti batu tidak memiliki kesatuan batiniah dan hanya kesatuan yang
bersifat instrumentalis? Benda-benda material seperti batu tidak berada
untuk dirinya. Hakikatnya hanyalah satu kesatuan tertutup yang berada di
tempat ini dan serempak merupakan sesuatu yang bukan benda yang lain.
Hakikat keberadaan model
ini sebetulnya hanya dapat dipahami dalam konteks pengamat. Hakikat
keberadaannya sendiri sebagai “kemampuan berada untuk” atau “kemampuan
untuk mempunyai tujuan di dalam dirinya” tidak ada. Pengamat menaruh
tujuan penggunaan benda material itu.
Kemampuan berada untuk atau
kemampuan untuk memiliki tujuan di dalam dirinya hanya berlaku untuk
makhluk hidup. Kemampuan berada untuk atau kemampuan untuk memiliki
tujuan di dalam dirinya diartikan sebagai kemampuan refleksivitas yang
dimiliki makhluk hidup sebagai satu realitas “Ada”. Kegiatan
refleksivitas ini tercermin dalam kegiatan aktif-pasif dari makhluk
hidup itu sendiri. Kegiatan refleksivitas dengan daya aktif-pasif ini
terserap di dalam dinamika dorongan kehidupan makhluk hidup itu sendiri.
Daya “aktif” terarah kepada aktivitas gerak-laku ketika berhadapan
dengan rangsangan dari luar seperti ketika berhadapan dengan musuh atau
berhadapan dengan pasangannya, sedangkan daya “pasif” terarah kepada
posisi “menantikan” rangsangan dari luar. Kegiatan refleksivitas
aktif-pasif ini berkorelasi secara intrinsik di dalam dinamika
dorongandorongan itu, dan perkembangan korelasi aktif-pasif itu
bersifat evolutif dan ontogenitis, dalam arti bahwa pada tumbuhan
misalnya dinamika dorongan yang berpusat pada refleksivitas pasif lebih
menonjol dari pada aktif. Aktivitas dan pasivitas memiliki intensitas
berbeda dan terpisah.
Indikasi refleksivitas yang
bersifat aktif-pasif pada binatang kita kenakan pada manusia dalam
tingkat tertentu. Pada manusia kegiatan refleksivitas yang bersifat
aktif-pasif berkembang pesat dan khas. Identitas individual pada manusia
menonjol. Tidak lagi ditekankan arti dari spesies tertentu, tetapi arti
individual dan arti sosial dari realitas manusia. Dalam lingkungan
sosial, manusia memainkan peranan yang bermacam-macam, membentuk
hubungan dan fungsi yang beragam, tetapi dalam lingkungan individual dia
tetap menyandang identitas yang sama. Prinsip identitas ini otonom, dan
dari sana beraksilah pusat atau sentrum untuk segala macam kegiatan dan
fungsi. Dalam prinsip individual yang otonom dan sosial ini tugas
manusia adalah senantiasa untuk mengintegrasikan dan memperjuangkan
keseluruhan dirinya, dan tugas ini justru melampaui tugas biologis
semata-mata seperti pada makhluk hidup lain (mempertahankan
hidup dan melanjutkan keturunan). Karena tugasnya ini melampaui tugas biologis,maka tugas ini menyentuh satu bidang yang melampaui dunia fisis, dan itu hanya
tercermin dalam ide atau gagasan tentang tugas untuk memperjuangkan dan mencapai satu “hidup yang penuh arti”. Di dalam horison hidup yang berarti inilah tugas pengintegrasian itu terlaksana. Proses ini mau tidak mau harus melibatkan juga “realitas ada” yang lain, yaitu realitas manusia yang lain. Mengintegrasikan diri untuk membangun keseluruhan berarti berusaha untuk mengenal “realitas lain”, dalam hal ini manusia lain sebagai individu sekaligus realitas lain yang berhadapan dengan kita. Dalam mengenal yang lain sebagai satu realitas keberadaan yang berbeda, maka diri sendiri atau jati diri juga “dikenal”. Dengan demikian dalam proses mengenal dan dikenal, dalam proses mewujudkan jati diri dan realitas yang lain, kegiatan mengenal dan dikenal itu, menghargai dan dihargai itu, mencintai dan dicintai itu adalah identis. Di sinilah letak penghayatan kesatuan dalam jenjang yang tertinggi, yaitu mengenal di dalam yang mengenal, mencintai di dalam yang dicintai.
Dalam penghayatan kesatuan
yang dilukiskan di atas, baik orang yang mengenal maupun orang yang
dikenal berdiri dalam satu kesatuan yang terpisah. Jati diri individu
yang satu berbeda dari jati diri individu yang lain, tapi hubungan
keduanya membanguni satu kesatuan tanpa peleburan. Keberadaan seperti
itu atau kesadaran seperti itu kita sebut “subjek”, yaitu satu
keberadaan yang menyikapi diri sendiri dengan cara menyikapi orang lain.
Kata “subjek” ini lalu menjadi satu “lintas-pengertian” yang dalam
kategori ontologis dapat menjadi satu tanda pengenal hakikat manusia.
Persoalannya ialah bahwa para filsuf
belum memecahkan apakah kata “subjek”
dapat dikenakan kepada binatang dan tumbuh-tumbuhan (persoalan filsafat
pengetahuan alam). Tetapi untuk seorang pakar filsafat manusia kata
“subjek” sudah bisah dijadikan ide penuntun untuk analisa tentang
realitas manusia.
Di dalam pokok di atas
disebut jenjang perwujudan kesatuan yang melekat pada sifat subjek.
“Yang melekat pada, sifat subjek” tidak disamakan dengan “subjektif”.
Subjektif berkonotasi, dengan semau hati atau tidak objektif. Yang
melekat pada sifat
subjek berarti sifat yang berpautan
dengan “subjektivitas”, dan subjektivitas itu sendiri berarti “cara
berada dari realitas manusia”, yaitu cara berada yang melipiiti baik
kesadaran maupun ketidaksadaran dan unsur-unsur psiko-biologis.
1.3.2. Subvjktivitas sebagai “Berada-dalam-dunia” (In-der-Wett-Sein).
Manusia dan binatang
membangun satu lingkungan hidup yang di dalamnya manusia dan binatang
serta makhluk-makhluk hidup lainnya ada bersama dan berdampingan.
Tetapi lingkungan hidup manusia dan lingkungan hidup binatang berbeda,
meskipun dalam tingkat tertentu untuk lingkungan hidup keduanya sudah
tersedia prasyarat yang sama untuk peristiwa kehidupan yang bersifat
intra-organis. Perbedaan yang mencolok antara lingkungan hidup manusia
dan lingkungan hidup binatang ialah makna kata “subjek” yang melekat
pada manusia. Benda-benda dan makhluk hidup lain adalah sesuatu apa
adanya, sedangkan subjek yang melekat pada manusia adalah pelaku yang
menjawabi pertanyaan bagaimana dan terhadap apa dia bersikap. Pengertian
“dunia” bertolak dari sikap subjek ini, karena itu kita bisa memahami
sikap subjek yang mengerti dunia dalam arti keseluruhan, seperti dunia
manusia, dunia binatang dan dalam arti tertentu seperti dunia orang tua,
dunia remaja dsb.
Pengertian “dunia” yang
terakhir ini merupakan satu pengertian antropologis yang harus dibedakan
dari pengertian kosmologis. Secara formal, dunia berarti totalitas atau
keseluruhan. Dalam arti kosmologis dunia berarti keseluruhan realitas
yang ada sebagaimana adanya an sich dan yang saling berhubungan dan
pengaruh mempengaruhi. Dalam arti antropologis, dunia berarti
keseluruhan realitas yang berhubungan dengan subjek dan mempunyai arti
tertentu untuk subjek. Secara konkret dan linguistis, dunia ini ditandai
dengan atau dihubungkan dengan bentuk Genitif substantif seperti dunia
buruh (“buruh” adalah Kata benda yang berbentuk Genitif dalam kaca mata
bahasa barat), dunia perempuan, dunia anak-anak, dsb. Dengan demikian
secara formal arti dunia dalam pengertian antropologis dan kosmologis
berbeda. Dunia dalam pengertian antropologis bukan cuma sebagian dunia
dalam arti kosmologis, tetapi satu realitas relasi antara tindak-tanduk
tertentu dari subjek dengan dunia di luar subjek. Dan ungkapan relasi
ini tentu
terbatas dan relatif, sebab tindak-tanduk dan cara si subjek dalam
membentuk relasi tergantung pada apakah dunia di luar subjek punyai arti
tertentu untuk subjek yang bersangkutan. Dalam arti ini, pengertian
dunia semakin lebih sempit, karena subjek-subjek yang hidup dalam dunia
itu memiliki dunianya sendiri. Dunia si A berbeda dengan dunia
si B.
Meskipun dunia si A berbeda
dengan dunia si B atau dunia dari subjek yang satu berbeda dari dunia
dari subjek yang lain, namun semua manusia dalam proses perkembangannya
memiliki alur atau jalan hidup yang sama. Alur hidup itu adalah dunia
manusia sendiri, yang bercirikan kesadarannya yang terbuka terhadap
dunia yang lain, terutama terhadap dunia manusia yang lain. Kesadaran
yang terbuka ini tercermin dalam sikap “merasa senasib” dengan manusia
lain dalam dunia yang sama, menaruh empati terhadap yang lain, solider,
bersikap sosial bahkan mampu merobah atau memodifisir dunianya sendiri.
Subjektivitas sebagai sesuatu yang berada dalam dunia tidak lain dari
pada “dunia manusia” yang tidak hanya tinggal dalam dunia ini, tapi yang
bertanggung jawab untuk mengolah dunia menjadi miliknya.
1. 4. Mencari kesatuan pengertian tentang manusia.
Kita mencari pengertian
tentang hakikat manusia. Ada dua persoalan yang mau digeluti di sini.
Apakah manusia yang berbeda-beda itu memiliki hakikat yang sama? Karena
pengertian tentang manusia selalu bergantung kepada cara berpikir,
kebudayaan dan sejarah peradaban dsb., maka persoalan kedua yang hendak digeluti ialah bahwa apakah ada pengertian universal tentang manusia?
1.4.1. Kesatuan hakikat?
Pengertian tentang hakikat
hendaknya digunakan untuk semua unsur dari satu kelas makhluk hidup, dan
dibuat sedemikian sehingga pengertian itu memberikan satu iktisar dasar
tentang realitas hidup makhluk yang bersangkutan. Begitu juga halnya
dengan usaha untuk memberi pengertian tentang hakikat manusia.
Pengertian ini harus menyentuh hal yang hakiki pada manusia, dan perlu
dirumuskan melalui “definisi” yang jelas tentang
realitas makhluk manusia. Defenisi yang jelas ini harus memuat satu
identitas tetap di dalam semua keanekaragaman manusia dan satu realitas
yang tetap di dalam proses hidup manusia sejak kelahirannya sampai
kematiannya.
Realitas yang tetap ini dapat
kita amati sejak dulu sampai sekarang. Unsur-unsur yang sama itu adalah
seperti bahasa, teknik, cara berpikir abstrak dan lain-lain. Manusia
zaman kuno, kecuali manusia-kera, sampai manusia dewasa ini mempunyai
kemampuankemampuan yang mendasar itu. Kemampuan-kemampuan yang mendasar
itu merupakan bagian dari definisi tentang hakikat manusia.
Tese tentang realitas
manusia, yaitu satu realitas yang tinggal tetap sejak dulu sampai
sekarang, dapat dilihat dari dua sisi: Pertama, tidak ada sama sekali
kesatuan hakikat manusia. Yang ada hanyalah gejala-gejala lahirah yana
coba dianalogikan sebagai
gejala-gejala sama yang memberi kesan
seakan-akan ada hakikat yang sama. Kedua, ada pendapat bahwa memang ada
kesatuan hakikat yang dijenjangkan secara analog pada realitas manusia.
Dari semua manifestasi terdapat derajat yang sama, dan itu hanya dapat
dipahami bila manifestasi-manifestasi itu berasal dari hakikat yang
sama.
Penjelasan tentang tese
pertama bahwa tidak ada sama sekali kesatuan hakikat manusia adalah
demikian. Peralihan dari unsur-unsur hakiki pada binatang menuju
unsurunsur hakiki pada manusia tampak tidak jelas. Begitu pula
pembedaan unsur-unsur hakiki pada manusia yang satu dengan manusia yang
lain tampak tidak jelas. Pembagian yang telah dibuat dalam
pengelompokkan jenis makhluk hidup, termasuk juga manusia, dibuat
sewenang-wenang, karena orang tidak bisa menentukan sejenak kapan
sesuatu makhluk disebut “manusia”. Juga pengelompokkan manusia
berdasarkan kulit, ras, suku dsb.; pembagian ini juga bersifat
sewenang-wenang, karena hal ini hanya menyentuh gejala lahiriah dan
penampilan lahiriah manusia yang satu dengan manusia yang lain. Orang
tidak boleh dengan mudah menyimpulkan bahwa ada perbedaan hakikat;
penetapan yang tampak sewenang-wenang itu hanya menunjuk kepada
cara-cara berada dan gejala-gejala lahiriah dari realitas makhluk hidup
dan realitas manusia. Perbedaan-perbedaan ini juga sama sekali tidak
menunjukkan perbedaan hakikat atau kesatuan hakikat.
Penjelasan tentang tese
kedua bahwa memang ada kesatuan hakikat pada manusia adalah demikian.
Semua manifestasi kehidupan manusia berasal dari satu hakikat yang
sama. Ada kesatuan hakikat. Hal ini dapat diphat dari perkembangan daya-daya manusia yang menunjuk kepada pembentukan hakikat yang sama. Daya-daya itu terwujud umpamanya melalui teknik. Dalam pengembangan teknik, mulai dari teknik yang paling sederhana sampai kepada teknik yang paling canggih, sudah tersirat adanya satu daya untuk memenuhi tujuan yang sama, yaitu untuk menjawabi tantangan dunia. Teknik merupakan hasil kemampuan manusia untuk menjawabi tantangan dunia itu. Melalui teknik realitas hakiki manusia diungkapkan; semacam tercermin adanya kesatuan hakikat melalui “kemampuan-kemampuan” yang terwujud dalam pengembangan teknik serempak pula kemungkinan-kemungkinan baru untuk penemuan teknik. Dengan tese yang kedua ini muncullah kritik tajam terhadap penilaian sementara orang bahwa oleh karena perbedaan perkembangan teknik kebudayaan sebelumnya lebih rendah dari pada kebudayaan sesudahnya. Atas kriteria apa penilaian semacam itu dibuat? Dalam sejarah kebudayaan ternyata ada jalur jalur tetap yang bertahan, jalur yang menunjukkan kesatuan realitas manusia, meskipun jalur-jalur tetap itu terperangkap dalam perubahan waktu. Jalur tetap itu adalah kemampuan manusia untuk menjawabi tantangan dunia melalui penemuan dan pengembangan teknik.
sama. Ada kesatuan hakikat. Hal ini dapat diphat dari perkembangan daya-daya manusia yang menunjuk kepada pembentukan hakikat yang sama. Daya-daya itu terwujud umpamanya melalui teknik. Dalam pengembangan teknik, mulai dari teknik yang paling sederhana sampai kepada teknik yang paling canggih, sudah tersirat adanya satu daya untuk memenuhi tujuan yang sama, yaitu untuk menjawabi tantangan dunia. Teknik merupakan hasil kemampuan manusia untuk menjawabi tantangan dunia itu. Melalui teknik realitas hakiki manusia diungkapkan; semacam tercermin adanya kesatuan hakikat melalui “kemampuan-kemampuan” yang terwujud dalam pengembangan teknik serempak pula kemungkinan-kemungkinan baru untuk penemuan teknik. Dengan tese yang kedua ini muncullah kritik tajam terhadap penilaian sementara orang bahwa oleh karena perbedaan perkembangan teknik kebudayaan sebelumnya lebih rendah dari pada kebudayaan sesudahnya. Atas kriteria apa penilaian semacam itu dibuat? Dalam sejarah kebudayaan ternyata ada jalur jalur tetap yang bertahan, jalur yang menunjukkan kesatuan realitas manusia, meskipun jalur-jalur tetap itu terperangkap dalam perubahan waktu. Jalur tetap itu adalah kemampuan manusia untuk menjawabi tantangan dunia melalui penemuan dan pengembangan teknik.
1.4.2. Universalitas Dalam Hal Mengerti tentang manusia. (Kesatuan Pengertian tentang Manusia)?
Kita bermaksud untuk mencari
satu kesatuan pengertian tentang manusia. Kesatuan pengertian yang
dimaksud hendaknya memuat satu pemahaman utama tentang realitas manusia.
Tetapi masalahnya ialah bahwa ketika kita mengolah pengertian kita
tentang manusia dengan bertitik tolak dari pengalaman-pengalaman umum,
ketika itu pula pengertian kita sudah terkondisikan oleh lingkungan,
sejarah dan kebudayaan kita. Karena itu tak bisa pengertian yang kita
olah itu ditetapkan begitu saja kepada lingkungan, sejarah dan
kebudayaan dari orang-orang lain di luar lingkungan, sejarah dan
kebudayaan kita.
Disposisi negatif yang
muncul dari usaha untuk menetapkan pengertian kita kepada lingkungan
kebudayaan lain adalah disposisi ethnosentrisme dan disposisi
relativisme. Disposisi ethnosentrisme adalah disposisi (sikap batin)
yang memandang kebudayaan kita sendiri, adat istiadat, pandangan hidup,
institusi sosial, norma-norma hidup sebagai yang sungguh-sungguh
manusiawi dan benar. Karena itu kelompok sosial dari lingkungan budaya
dan pandangan hidup yang lain perlu dituntut untuk mengakui norma, nilai
dan ideologi yang kita miliki. Kelompok sosial lain perlu dituntun
untuk menghayati norma, nilai dan ideologi yang kita miliki. Disposisi
ethnosentrisme ini memandang kebudayaan sendiri lebih tinggi dari pada
kebudayaan lain. Sementara itu, disposisi relativisme adalah disposisi
yang memandang sama saja semua pengertian dan pemahaman, baik pengertian
dan pemahaman yang berasal dari lingkungan kebudayaan sendiri, maupun
pengertian dan pemahaman yang berasal dari lingkungan kebudayaan lain.
Tidak ada satu kebenaran mutlak yang terkandung dalam pengertian dan
pemahaman itu! Di satu pihak para penganut paham relativisme bersikap
toleran terhadap orang yang berpendirian lain, tetapi di lain pihak para
penganut paham itu bersikap acuh tak acuh dan kurang peduli akan
tuntutan kebenaran yang mungkin diperoleh dari kebudayaan sendiri atau
dari kebudayaan orang lain.
Kedua disposisi itu jelas
tidak menjawabi persoalan apakah ada kesatuan pengertian tentang
manusia. Keduanya bertolak dari pengandaian yang keliru bahwa haruslah
adn perumusan satu kebenaran absolut melalui satu pengenalan objektif,
sehingga perbedaanperbedaan antara subjek diperlunak untuk menonjolkan
kebenaran absolut itu. Pada hal kenyataannya, bahwa, meskipun terdapat
begitu banyak subjek dalam arti kuantitatif, semua subjek yang berbeda
memiliki satu subjek, yaitu satu subjek transendental, subjek yang
mengatasi subjek-subjek konkret. Satu subjek yang transendental itu
mengandaikan pengetahuan objektif tentang kebenaran dan tentang
pemahaman diri yang tidak dapat direduksikan kepada subjek-subjek
konkret.
Dari
pertimbangan-pertimbangan yang disebutkan itu, tampak jelas bahwa untuk
mencari kesatuan pengertian tentang manusia diperlukan dialog terus
menerus untuk
menemukan dan memecahkan kesulitan dalam soal pengertian dan
pengetahuan tentang manusia dan untuk memajukan proses pengenalan diri.
Dialog semacam ini tidak akan berdiri di atas dasar, norma, cara
berpikir dan nilai dari satu pasangan-dialog, tetapi berdiri di atas
prinsip “kesetaraan dan kesederajatan” pasangan-bicara dengan kita.
Prinsip ini justru memungkinkan kita untuk saling memberi pengertian dan
pengetahuan tentang sesuatu hal termasuk tentang realitas manusia,
karena pengertian dan pengetahuan objektif universal tentang sesuatu hal
termasuk tentang manusia bukanlah sesuatu yang telah tersedia, tetapi
harus digeluti.
2. DIMENSI-DIMENSI DASAR DARI MANUSIA SEBAGAI REALITAS “ADA”.
Untuk menandai kekhasan
keberadaan manusia di dalam dunia dan subjektivitasnya, perlulah kita
mengukur realitas manusia sebagai satu realitas “Ada” menurut beberapa
unsur hakiki manusia dalam seluruh rentangan sejarah hidupnya.
Unsur-unsur hakiki tidak lain dari pada dimensi-dimensi dasar tertentu
yang telah tersedia, dimensi-dimensi dasar yang memperlihatkan
aspek-aspek tertentu pada manusia. Dimensi-dimensi dasar itu adalah
bahasa, sosialitas, kesejarahan dan kejasmanian manusia. Kita coba
membahas keempat dimensi dasar ini secara terpisah.
2.1. Bahasa.
“Manusia adalah satu-satunya
makhluk hidup yang memiliki bahasa (Logos) dan akal budi.” Kalimat ini
yang berasal dari Aristoteles (Politik 1, 2 1253 a 10) dan yang kemudian
ditempa dalam bahasa Latin sebagai “homo est animal rationale” masih
berlaku hingga kini. Apa artinya kemampuan manusia untuk berbahasa itu?
Untuk menjawab pertanyaan ini ilmu bahasa pada umumnya dan filsafat
bahasa memberi sumbangan tertentu.
2. 1. 1. Peristiwa teriadinya bahasa dan sistem bahasa.
Di dalam pembicaraan dan percakapan yang bermacam-macam selalu muncul
elemen-elemen tetap: seluruh kalimat, ungkapan-ungkapan, kata-kata, akar kata dan bunyi
suara. Munculnya eleme-elemen ini menampakkan adanya banyak kombinasi, tetapi
kombinasi-kombinasi itu ditentukan oleh aturan-aturan tertentu. Dari pengamatan ini orang
melihat adanya kemungkinan untuk menemukan gudang persediaan yang memuat unsurunsur dan aturan-aturan yang dapat dipelajari untuk melukiskan proses pembentukan satu
bahasa. Di sana di dalam gudang persediaan itu orang dapat mempelajari bagaimana
tersusun sejumlah bentuk dan aturan, apakah sejumlah bentuk dan aturan ini didasarkan
elemen-elemen tetap: seluruh kalimat, ungkapan-ungkapan, kata-kata, akar kata dan bunyi
suara. Munculnya eleme-elemen ini menampakkan adanya banyak kombinasi, tetapi
kombinasi-kombinasi itu ditentukan oleh aturan-aturan tertentu. Dari pengamatan ini orang
melihat adanya kemungkinan untuk menemukan gudang persediaan yang memuat unsurunsur dan aturan-aturan yang dapat dipelajari untuk melukiskan proses pembentukan satu
bahasa. Di sana di dalam gudang persediaan itu orang dapat mempelajari bagaimana
tersusun sejumlah bentuk dan aturan, apakah sejumlah bentuk dan aturan ini didasarkan
Unsur-unsur bahasa – orang
dapat menyebutnya “tanda” dalam arti bahwa unsurunsur itu memiliki arti
tertentu ketika orang menggunakannya atau ketika orang berbicara –
berada dalam satu hubungan yang sistematis paling kurang antara satu
dengan yang lain. Hubungan sistematis antara elemen yang satu dengan
yang lain ini memiliki struktur yang dapat diselidiki. Karena sistem
bahasa berubah secara historis, maka orang harus membedakan cara pandang
yang bersifat sinkronistis yaitu cara pandang yang berhubungan dengan
keadaan satu bahasa pada satu waktu tertentu, dan cara pandang yang
bersifat diakronis, yaitu cara pandang yang melukiskan perubahan itu.
Kedua cara pandang ini membantu orang untuk mengenal perubahan bahasa
itu sendiri, baik perubahan yang bergantung kepada faktor-faktor luar
maupun perubahan-perubahan yang berasal dari faktor-faktor dalam bahasa
itu sendiri. Karena itu perlulah orang membedakan struktur dasar satu
bahasa dari struktur faktis bahasa itu yang justru tertempa pada satu
waktu tertentu. Struktur dasar adalah struktur dalam, sedangkan struktur
faktis adalah struktur permukaan yang terjadi dalam kurun waktu
tertentu. Karena terdapat begitu banyak bahasa- sejumlah bahasa
mempunyai stntktur dasar yang berbeda dan di dalam bahasa yang berbeda
itu isi yang sama (pesan atau warta) diungkapkan dengan tanda yang
sangat berbeda pula – maka orang berusaha untuk menemukan struktur yang
mendasari struktur dalam pada semua bahasa dengan tujuan antara lain
untuk menemukan basis netral bagi perbandingan bahasa dan juga untuk
datang lebih dekat kepada hakikat semua bahasa.
Penelitian terhadap unsur-unsur bahasa tadi menghantar kita kepada pemahaman
bahwa setiap bahasa merupakan satu sistem
diferensiasi yang tersusun berlapis-lapis secara hierarkis. Pesan yang
berbeda-beda dapat dirumuskan dengan tanda yang sangat sedikit jumlahnya
pada jenjang pertama, lalu tanda yang relatif sedikit pada jenjang
kedua, lalu
tanda-tanda yang agak banyak sampai kepada tanda-tanda yang sangat
banyak dan kompleks pada jenjang yang berikutnya dan seterusnya. Prinsip
diferensiasi mengatakan bahwa arti dari satu tanda tertentu terletak
dalam perbedaan antara tanda yang satu dengan tanda-tanda yang lain
dalam satu sistem yang sama. Tanda-tanda itu berada pada tempat tertentu
sesuai dengan tandanya dalam sistem itu. Perbedaan itu terjadi
sedemikian sehingga terwujudlah pesan-pesan yang berbeda.
Setiap sistem bahasa
merupakan satu lapisan hirarkis dari sistem-sistem. Kalau kita
memperhatikan dua fonem yang berbeda seperti fonem “m” dan fonem “k”,
maka fonem itu turut membentuk perbedaan arti bila “m” dihubungkan
dengan kata “mata” dan “k” di hubungkan dengan kata “kata”. Fonem-fonem
yang membentuk kata “mata” dan “kata” bukan hanya sekedar pengeluaran
bunyi suara, tetapi merupakan unsur-unsur bunyi suara yang dimiliki
dalam satu sistem bahasa. Perbedaan fonem-fonem itu tidak semata-mata
terletak pada perbedaan akustik, tetapi perbedaan itu terjadi oleh
karena adanya satu sistem fonologis yang menjadi milik setiap bahasa.
Fonem-fonem itu justru membangun satu lapisan hierarkis yang paling
bawah, dan pada gilirannya membentuk kata dan kalimat dengan arti
tertentu dalam satu sistem bahasa.
Arti memang termuat dalam
tanda bahasa yang tidak berasal dari dirinya sendiri. Begitu juga bahasa
yang mengandung arti tidak mungkin berasal dari dirinya sendiri. Tanda
dan bahasa hanya terjadi dan tercipta. Peristiwa terjadinya bahasa ini
dapat diamati melalui prinsip diferensiasi yang disinggung sebelumnya.
Prinsip diferensiasi itu hanya menjelaskan bagaimana satu tanda memiliki
satu arti tersendiri, tetapi tidak dapat menjelaskan apakah satu tanda
memiliki cuma satu arti saja. Tanda-tanda yang mengungkapkan arti itu
disebut tanda-tanda bahasa. Arti dari tanda-tanda bahasa itu diberi
berdasarkan situasi kontekstual kehidupan yang nyata. Situasi
kontekstual kehidupan nyata inilah yang merupakan peristiwa-peristiwa
terjadinya bahasa yang hidup. Bahasa dan tandatanda bahasa tersusun
satu sama lain. Bahasa dilihat sebagai satu gudang persediaan yang
memungkinkan terciptanya tanda-tanda bahasa, dan dengan terciptanya
tanda-tanda bahasa inilah satu peristiwa terjadinya bahasa dapat
dilukiskan.
2.1.2. Prestasi bahasa.
Apa yang menjadi prestasi
bahasa dapatlah dibaca pada peristiwa terjadinya bahasa. Tetapi apa yang
terjadi sebetulnya dalam peristiwa terjadinya bahasa itu? Pertanyaan
ini biasanya berkaitan erat dengan “fungsi bahasa”. Di dalam fungsi
bahasa kita dapat membaca hasil kemampuan yang diperlihatkan oleh
cara-cara berbahasa. Memang ada banyak fungsi bahasa, tetapi di sini
kita membataskan diri pada pembagian klasik yang dibuat berdasarkan
aspek-aspek pokok yang bersifat konstitutif, seperti pembagian Psikolog
Karl Bühler. Menurutnya bahasa memiliki tiga fungsi, yaitu bahasa
sebagai simbol untuk melukiskan fakta atau keadaan sesuatu hal; bahasa
sebagai symptom untuk memaklumkan keadaan batiniah si pembicara,
dan bahasa sebagai sinyal untuk mengundang atau memberi apel pada
pasangan bicara agar pasangan bicara memberi reaksi tertentu.
Fungsi-firngsi yang disebut ini dapat dirumuskan secara lain, yaitu
presentasi; komunikasi dan pengungkapan diri.
a. Presentasi
Bahasa menghadirkan atau
mempresentasikan sesuatu. Sesuatu di sini berupa barang, hal atau
keadaan memiliki cara berada yang berbeda-beda. Bahasa menghadirkan cara
berada benda, barang atau keadaan semacam itu. Kita mengambil contoh
sederhana tentang fungsi ini. Meja yang berada di hadapan kita berwarna
coklat. Keadaan meja itu sudah tersedia dengan bentuk, warna dan
coraknya. Dengan membahasakan “meja ini coklat”, kita menghadirkan
kembali cara berada meja ini dengan membuat batasan-batasan yang
didasarkan pada tanggapan indrawi kita seperti melihat, meraba dan
sebagainya.
Dari contoh yang konkret ini
kita beranjak kepada fungsi yang sama secara lebih abstrak. Bahasa bukan
hanya menghadirkan sesuatu yang ada, tetapi menghadirkan sesuatu yang
sudah tidak ada lagi dan sesuatu yang belum ada. Bahasa memungkinkan
manusia untuk membuat sesuatu yang tidak ada atau yang belum ada menjadi
hadir di hadapannya.
Sesuatu yang dibahasakan itu adalah
sesuatu yang sudah terjadi dan sesuatu yang belum terjadi. Sesuatu yang
sudah terjadi dengan bantuan “bahasa” diingat kembali seperti –
ceritera-ceritera tentang masa lampau satu bangsa atau satu suku.
Sesuatu yang belum
terjadi dengan bantuan “bahasa” diantisipasi keberadaannya, seperti
ramalan-ramalan dan futurologi. Penilaian, pertimbangan, teori dan
rencana serta proyek tentang sesuatu itu baik sesuatu yang sudah terjadi
maupun sesuatu yang belum terjadi melalui “bahasa” mengalami keluasan,
ketajaman dan objektivitasnya; dengan kata lain, bahasa justru
menghadirkan sesuatu itu secara luas, tajam dan objektif.
Akhirnya bahasa juga
berfungsi untuk menghadirkan sesuatu yang tidak pernah merupakan sesuatu
yang real secara objektif. Fungsi bahasa seperti ini terlihat umpamanya
dalam syair-syair dan puisi. Di sana fungsi bahasa bukan untuk
menyampaikan satu berita atau informasi objektif tentang sesuatu.
Realitas sesuatu hal dilukiskan dalam bahasa figuratif, dalam
ungkapan-ungkapan peribahasa, dalam perumpamaan-perumpamaan dan
pepatah-pepatah. Realitas yang sesungguhnya hanya dapat ditangkap dan
dipahami tetapi tidak ditunjuk secara matematis dan pasti. Bahasa-bahasa
ilmiah tentu tidak memainkan fungsi seperti ini.
b. Komunikasi.
Bahasa berfungsi untuk
mengkomunikasikan sesuatu kepada yang lain baik secara verbal (dengan
kata-kata dan ucapan) maupun secara non-verbal seperti isyarat-isyarat
yang dikembangkan untuk komunikasi para bisu-tuli. Sesuatu yang dikomunikasikan melalui bahasa hendaknya sedapat mungkin identis dengan sesuatu itu dalam kenyataannya. Tapi di sini haruslah diakui keterbatasan dari komunikasi verbal, bahwa kata yang diucapkan tidak mengkomunikasikan kenyataan real secara penuh dan lengkap. Satu pengalaman yang dikomunikasikan dan yang dibagi kepada orang lain dalam bahasa selalu lebih sempit, jika dibandingkan dengan kenyataan yang sebenarnya dalam pengalaman orang bersangkutan.
yang dikembangkan untuk komunikasi para bisu-tuli. Sesuatu yang dikomunikasikan melalui bahasa hendaknya sedapat mungkin identis dengan sesuatu itu dalam kenyataannya. Tapi di sini haruslah diakui keterbatasan dari komunikasi verbal, bahwa kata yang diucapkan tidak mengkomunikasikan kenyataan real secara penuh dan lengkap. Satu pengalaman yang dikomunikasikan dan yang dibagi kepada orang lain dalam bahasa selalu lebih sempit, jika dibandingkan dengan kenyataan yang sebenarnya dalam pengalaman orang bersangkutan.
Bahasa yang berfungsi untuk
mengkomunikasikan sesuatu tidak hanya terbatas pada komunikasi
individual. Bahasa menjadi alat komunikasi dari kelompok-kelompok
sosial. Hal ini kentara dalam kontrak-kontrak kerja, kontrak perkawinan,
kontrak negara, dalam organisasi-organisasi sosial. Bahasa yang dipakai
di sana sudah merupakan hasil dari kesepakatan bersama dalam konteks
sosial tertentu. Perumusannya dan terminologi-
terminologi yang dipakai di sana berasal dari hasil kesepakatan itu.
Begitu juga perubahan dan penciptaan bentuk-bentuk baru komunikasi
haruslah melewati proses persetujuan dan persepakatan itu. Fungsi
komunikasi bahasa ini justru mengingatkan dan menyadarkan manusia akan
kenyataan bahwa bahasa termasuk dalam satu institusi sosial yang paling
mendasar, karena di dalam realitas sosial bahasa merupakan alat primer
untuk menjalin dan membentuk hubungan sosial. Interaksi sosial hanya
berarti melalui komunikasi bahasa. Kesewenang-wenangan individual
dibatasi. Malah, setiap individu sudah tercabut dari dunia dan bahasa
pribadinya dan sedari kecil sudah terikat ke dalam bahasa ibu yang sudah
tersedia baginya. Begitu juga dalam hukum kemasyarakatan dan negara,
setiap individu sudah masuk ke dalam rumusan bahasa-bahasa yang sudah
baku untuk memberi tuntunan pada manusia apabila manusia masuk ke dalam
bidang tertentu, seperti bidang hukum, bidang kedokteran dan sebagainya.
Salah satu segi lain dari
fungsi bahasa sebagai alat komunikasi adalah satu corak khas komunikasi
yang mencerminkan status sosial dalam lembaga kemasyarakatan. Komunikasi
seorang murid dengan gurunya berbeda dengan komunikasinya dengan
rekannya. Arti dan maksud yang sama dikomunikasikan dengan bahasa yang
berbeda dalam komunikasi itu. Begitu juga seorang yang berkasta rendah
akan menyapa seseorang yang berkasta tinggi dengan bahasa yang lain dari
pada bahasa yang digunakan untuk menyapa orang berkasta sama. Meskipun
demikian corak khas ini tidak dapat menghilangkan fungsi hakiki dari
bahasa sebagai alat komunikasi melalui satu bahasa yang menjadi milik
bersama.
c. Pengungkapan diri.
Bahasa berfungsi sebagai alat
untuk pengungkapan diri. Melalui bahasa seorang anak pada usia awal
berusaha mengungkapkan apa yang menjadi kehendak dan keinginannya. Ia
melatih untuk mengucapkan kata sebagai ekspresi pernyataan dirinya.
Begitu pula, baik orang yang berbicara maupun orang yang memberi reaksi
terhadap sesuatu hal menyangkut dirinya, menggunakan hahasa untuk
mengeskpresikan kehendak dan pikirannya. Pengungkapan diri melalui
bahasa ini sering muncul secara spontan oleh
karena bakat alamiah, tetapi juga sering “dipelajari” melalui
latihan-latihan bicara atau disiplin-disiplin penuntun seperti latihan
berpidato, menulis dan lain-lain.
Pengungkapan diri melalui
bahasa tidak hanya terbatas pada ungkapan kata-kata, karena dimensi
bahasa lebih luas dari kata-kata. Misalnya, manusia dapat mengungkapkan
rasa sakitnya dengan muka yang menggeliat sambil menjerit jerit,
mengeluh dan berteriak-teriak. Bahasa kesakitan ini ditunjuk dengan
ekspresi diri yang sama, tetapi ucapan-ucapan
jeritan sering berbeda-beda seperti wau,
hei, ai, sakit…dsb. Seruan-seruan ini tidak mengandung susunan gramatis
yang jelas. Meskipun susunan kata dan kalimat tidak mengikuti pola
kalimat serta tata aturan bahasa tertentu, tetapi seruan-seruan itu
turut mempertegas fungsi bahasa tubuh yang menunjuk kepada pengungkapan
diri dalam situasi kesakitan. Sering situasi kesakitan dan kesedihan
dipoles dengan kata-kata dan kalimatkalimat yang indah dan teratur
rapih, seperti nyanyian ratapan (cf. Jes. 38, 10-16), puisi atau bahasa
syair, tarian-tarian yang diiringi oleh bahasa-bahasa puitis dsb.
Semuanya memperlihatkan cara pengungkapan diri baik secara perorangan
seperti penyair, pemikir, penulis dsb. maupun secara kolektif seperti
tarian-tarian adat, nyanyian-nyanyian rakyat dsb. Dalam budaya modern
yang didominasi oleh ilmu pengetahuan dan teknik, alat-alat ungkapan
lewat tarian, nyanyian, puisi, drama, pantun dsb. sudah menciut dan
berkurang, karena alat pengungkapan sekarang sudah dimonopoli oleh
bahasa-bahasa ilmiah yang berisikan hasil pengamatan objektif.
2.1.3. Bahasa sebagai alat dan pengantara.
Bahasa sebagai alat untuk
menghadirkan diri menyentuh realitas manusia itu sendiri. Bahasa
merupakan bagian yang hakiki dari realitas manusia sebagai manusia yang
“berbahasa”. Apabila manusia sadar akan realitas dirinya sebagai
realitas yang memiliki bahasa, maka dia akan mengembangkan realitas
dirinya ini dengan menjalankan fungsi bahasa sebagai “pengantara atau
jembatan” secara tepat dan benar. Apa yang dimaksudkan dengan
“menjalankan fungsi bahasa sebagai pengantara atau jembatan secara tepat
dan benar? Yang dimaksudkan dengan fungsi pengantara atau jembatan dari
bahasa adalah fungsi bahasa yang menjadi penghubung antara realitas
diri sendiri dan realitas yang berada
di luar dirinya. Bahasa menjadi
jembatan antara realitas diri dan realitas di luar diri. Di sinilah
letak fungsi bahasa sebagai alat pengantara.
Ada beberapa situasi yang membahayakan fungsi bahasa sebagai alat pengantara.
Dalam hal menipu. Dalam hal
menipu, bahasa tidak menjadi pengantara kebenaran. Bahasa tidak
mengungkapkan kebenaran realitas diri yang mau disalurkan kepada orang
lain. Kata-kata dan ungkapan-ungkapan yang digunakan di sana
menyembunyikan dan mengelabui realitas diri yang sesungguhnya. Dalam
konteks ini muncul persoalan bahwa bagaimana kita dapat yakin bahwa
bahasa yang disusun secara teratur dan bagus sungguh menghadirkan
kebenaran seutuhnya.
Dalam cara bicara yang melantur-lantur.
Cara bicara yang melantur-lantur adalah cara bicara dengan menggunakan
kata-kata yang tidak mengungkapkan isi dan maksud yang jelas. Kata-kata
sangat sering dibebani dengan arti-arti sampingan yang bersifat banal
atau dengan istilah-istilah asing yang mengaburkan isi pembicaraan.
Dalam situasi ini, fungsi bahasa sebagai pengantara atau jembatan
menjadi kabur.
Bahasa asing. Pengalaman dengan
satu pembicaraan yang diarahkan kepada saya dalam bahasa asing dapat
diciptakan dalam dua situasi yang berbeda: hal itu bergantung kepada
apakah saya mengerti bahasa asing itu secara salah atau secara tepat.
Kalau saya tidak cukup menguasai bahasa asing itu, maka arti dan maskud
yang mau saya ungkapkan lewat bahasa sebagai jembatan atau pengantara
tidak ditangkap atau dimengerti secara baik. Itu berati bahwa dalam
situasi penggunaan bahasa asing ini, fungsi bahasa sebagai pengantara
terganggu. Sebaliknya bila saya mengerti sangat baik bahasa asing, maka
saya perlahanlahan menjadi sadar bahwa isi atau sesuatu yang
dibicarakan dalam bahasa asing hanya dapat diterjemahkan secara “tidak
memuaskan atau tidak mencukupi” ke dalam isi atau sesuatu yang
dibicarakan dari bahasa saya sendiri. Dalam situasi ini, fungsi bahasa
sebagai jembatan atau pengantara hanya dapat dipahami menurut pola
penafsiran yang berkaitan dengan lingkungan hidup masyarakat yang
menggunakan bahasa asing itu.
Sebagai kesimpulan, karena
bahasa merupakan bagian yang hakiki dari manusia, maka dia secara hakiki
pula membentuk dunia manusia, baik dunia manusia dalam
komunikasi dengan dirinya dan dengan sesamanya maupun dunia manusia dalam komunikasinya dengan dunia sekitarnya.
2.2. Sosialitas.
Dimensi dasar lain dari
realitas manusia adalah sosialitas. Realitas “Ada”nya manusia termasuk
realitas sosial. Filsafat berusaha untuk merefleksikan realitas sosial
ini. Di sini tidaklah dimaksudkan untuk merefleksikan struktur kehidupan
bersama dalam masyarakat, tetapi arti dari realitas “Ada” sebagai satu
kebersamaan antar individu dan sebagai pusat pertemuan antar individu.
Karena cara hidup bersama dalam satu kehidupan bermasyarakat berbeda
dari satu budaya ke budaya lain dan juga berbeda dari satu masa ke masa
yang lain, maka dalam refleksi filosofis ini coba dicapai satu rumusan
abstrak dari umum tentang bentuk-bentuk lahiriah dari realitas sosial
ini. Di dalam refleksi ini kita menyebut ungkapan “sosialitas”; hal ini
tidak lain dari pada hidup dan berada dalam satu kebersamaan, dalam satu
masyarakat, dalam satu kelompok, dalam satu kontak satu sarna lain,
pendeknya cara-cara berada yang menunjukkan kehidupan bersama dalam satu
masyarakat, dalam satu kelompok atau dalam satu kontak satu dengan yang
lain.
2.2.1. Fenomen sosial.
Adalah satu fakta universal
bahwa setiap orang hidup dalam satu relasi dengan manusia yang lain.
Sebelum kita mempertanyakan arti dan makna dari relasi sosial ini,
baiklah kita menyadari bahwa relasi sosial itu beraneka ragam benhiknya
dan tak terhitung jumlahnya. Dari kesadaran akan fakta ini terbuktilah
bahwa relasi sosial yang beraneka ragam bentuk ini bukanlah satu hal
tambahan yang muncul kemudian. Bukan demikian. Hampir semua relasi
sosial itu ternyata berkembang dengan sendirinya dari satu tata tertib
sosial tertentu yang sudah ada. Tata tertib sosial yang sudah ada itulah
yang disebut sistem sosial. Di dalam sistem sosial itu sudah terdapat
satu struktur stabil yang di dalamnya relasi dan interaksi sosial
terjalin. Struktur sosial yang stabil ini menjadi tempat terciptanya
relasi dan interaksi sosial dari setiap individu.
Sistem-sistem sosial yang
meliputi berbagai macam relasi dan interaksi sosial dapatlah kita
sebutkan seperti keluarga, kekerabatan, persahabatan, desa, kelompok
kerja,
perusahan, tetangga, paroki, kecamatan, negara dsb. Setiap orang
terlibat dalam berbagai macam relasi sosial dalam sistem-sistem sosial
yang disebutkan ini. Ia adalah anggota satu keluarga, dan pada waktu
yang sama ia merupakan anggota dari salah satu masyarakat desa; ia juga
adalah anggota persekutuan gereja. Bila ia seorang pegawai negri, ia
pada waktu yang sama menjadi anggota satu perkumpulan pegawai
pemerintah, dan rupa-rupa organisasi lainnya. Untuk memahami perbedaan
bentuk relasi seseorang dengan perkumpulan sosial yang ia miliki pada
waktu yang sama ini, perlulah kita mengamati cara khas macam apa yang ia
kembangkan dalam membentuk jalinan sosial di dalam organisasi itu. Cara
khas itu tampil biasanya dalam dua tipe ideal yang terbentuk dari dua
kutub yang saling berlawanan, yaitu relasi sosial yang tumbuh secara
kodrati seperti keluarga dan relasi sosial yang dibangun secara sengaja
seperti persekutuan buruh, relasi sosial dalam satu sistem yang stabil
seperti anggota sebuah desa dan yang tidak stabil, relasi sosial yang
mempunyai tujuan dari dirinya sendiri dan yang bertujuan rasional,
relasi sosial yang dibangun berdasarkan persahabatan dan yang
berdasarkan struktur hirarkis. Cara khas dalam mengembangkan jalinan
sosial ini dapat saja memperlihatkan perbedaan apakah jalinan sosial
yang satu ini bersifat kodrati atau buatan, bersifat stabil atau tidak
stabil dan sebagainya.
Relasi sosial tidak terjadi
di dalam satu ruang tanpa udara, dalam arti bahwa relasi sosial itu
bagaimanapun juga selalu memuat harapan-harapan dan memperlihatkan
perananperanan yang dimainkan seseorang dalam kehidupan bersama. Dan
harapan dan peranan itu bisa terbaca pada bagaimana caranya seseorang
membentuk jalinan sosial itu, entah dalam cara yang relatif berlangsung
lama seperti seorang bapa, seorang guru, seorang pedagang dsb, entah
dalam satu cara yang sementara seperti wasit, kepala desa, gubernur,
camat, presiden. Pendeknya, relasi sosial yang memuat harapan dan yang
memperlihatkan peranan-peranan bukanlah tanpa bentuk. Relasi itu selalu
mengambil bentuk-bentuk tertentu yang merujuk kepada pertanyaan pokok
ini: dengan siapa, kapan, atas cara apa, kemampuan dan keinginan macam
apa relasi sosial seseorang dibentuk? Bentuk-bentuk hubungan sosial yang
merujuk kepada pertanyaan ini ditempa oleh dua aspek mendasar dari
relasi sosial, yaitu secara objektif sudah ada “pola” tingkah laku
sosial yang diikuti oleh setiap individu dan secara subjektif struktur
tingkah laku individu sendiri yang turut memberi warna terhadap relasi
sosialnya. Bentuk-bentuk relasi sosial itu mengandaikan bagaimana si
individu berhubungan dengan manusia lain dan serempak pula bagaimana
yang lain berhubungan dengan dirinya. Di dalam bentuk hubungan sosial
ini pulalah kualitas hubungan sosial itu bisa diukur: apakah
diskriminatif, setara, benci, acuh tak acuh, cinta, enggan, malu dsb.
Dengan demikian segala sesuatu yang berhubungan dengan fakta sosial
seperti yang dilukiskan dalam pokok ini merupakan fenomen sosial yang
menuntun kita untuk mengerti realitas sosial.
2.2.2. Sosiobiologi, Sosiologi dan Filsafat Sosial.
Baik Sosiobiologi, maupun
Sosiologi dan Filsafat Sosial menggeluti manusia sebagai satu realitas
sosial. Sosiobiologi dan Sosiologi sebagai ilmu empiris memusatkan
perhatian pada penelitian terhadap gejala-gejala faktis yang tampak pada
realitas sosial manusia dalam kehidupan bermasyarakat, sedangkan
Filsafat Sosial menggeluti secara kritis-filosofis hakikat, makna, teori
pengetahuan sosial, struktur-dalam dari realitas sosial itu.
Kesulitannya ialah bahwa tidak ada batas yang tajam antara ketiga
sistem pengetahuan itu. Filsafat sosial yang merefleksikan realitas
sosial tidak mungkin tidak mempunyai hubungan dengan Sosiobiologi dan
Sosiologi, begitu juga Sosiologi yang berbicara juga tentang tingkah
laku manusia umpamanya tidak mungkin tidak menyentuh kenyataan faktis
tingkah laku lahiriah manusia dalam relasi sosial itu, begitu juga
sebaliknya. Karena itu, pentinglah di sini untuk membuat pembatasan yang
jelas antara ketiga sistem pengetahuan itu yang sama-sama membicarakan
tema yang sama, yaitu tema tentang fenomen sosial.
Sosiobiologi adalah satu
teori pengetahuan tentang fenomen sosial dengan bertolak dari Biologi.
Dengan kata lain, Sosiobiologi merupakan satu interpretasi ilmiah
tentang populasi dan asal usul tingkah laku biologis baik yang terdapat
pada hewan maupun yang terdapat pada manusia. Populasi di sini tidak
lain dari pada kumpulan individu-individu yang tercipta dalam satu ruang
lingkup geografis tertentu oleh karena perkawinan dan perkembangbiakan.
Dalam penelitian sosiobiologis binatang-binatang yang berasal dari
induk yang sama memiliki separuh dari gen-gennya yang sama
(Chromosom). Bukan hanya binatang yang berasal dari induk yang sama,
juga turunan dari binatang-binatang yang bersangkutan. Turunannya yang
dalam kategori kekerabatan manusia seperti keponakan, kemanakan, juga
mewarisi seperempat gen-gen dari gen induk yang sama, sedangkan turunan
tingat ke dua dalam kekerabatan manusia seperti cucu masih mewarisi
seperdelapan gen-gen yang sama dengan induk sebelumnya. Penelitian
sosiobiologis ini menunjukkan juga bahwa tingkah laku binatang dalam
konteks kehidupan kelompok secara genetis sudah terprogram sedemikian
rupa sehingga arah tingkah laku mereka bisa menuju ke dalam diri
(egosentris) dan bisa juga kepada yang lain. Peneliti tingkah laku singa
berkesimpulan bahwa seekor singa jantan pada umumnya membunuh anak
singa yang tidak berasal dari darahnya sendiri (egosentris) dan
melindungi anak singa yang berasal dari darahnya (altruistis), meskipun
anak-anak singa itu berasal dari induk yang sama. Penelitian
sosiobiologis ini diterapkan juga dalam penelitian terhadap gen-gen dan
tingkah laku biologis pada manusia. Dapatlah dipastikan bahwa
saudara-saudari kandung memiliki di dalam dirinya separuh gen-gen yang
dimiliki orang tuanya, dan kemanakan dan keponakan memiliki seperempat
dari gen-gen orang tua, sedangkan di dalam diri cucu masih tertinggal
seperdelapan gen-gen yang becasal dari nenek dan kakeknya. Juga dalam
tingkah laku biologis sudah terdapat reaksi genetis yang bersifat
egosentris dan altruistis seperti yang diamati dalam tingkah laku
seorang ibu terhadap anak kandungnya dan terhadap anak tirinya atau juga
sebaliknya. Penelitian sosiobiologis memusatkan perhatian pada
penelitian gen-gen dan tingkah laku yang merupakan warisan kodrati, dan
pengembangan lebih lanjut dari ilmu ini bisa ditemui dalam Biochemi,
Genetik dan Fisika.
Kelemahan dari penellitian
sosiobiologis ini ialah bahwa titik tolak penelitiannya berasal dari
premisa filosofis yang memandang asal-usul dan tingkah laku sosial
manusia sebagai yang diwariskan secara biologis semata-mata dari nenek
moyangnya. Kodrat sosial manusia tidak lain dari pada kodrat
biologisnya. Karena itu, asal usul dan tingkah laku sosial manusia sudah
terprogram secara genetis tanpa muatan rohaniah-kultural yang turut
membentuknya. Kelemahan ini diisi oleh satu disiplin ilmu lain yang
melihat bahwa realitas
sosial yang tercermin dalam tingkah laku sosial tidak semata-mata
diwariskan, tetapi dibentuk secara “kultural” melalui kemampuan
“belajar” manusia. Disiplin ilmu ini adalah Sosiologi. Sosiologi
meneliti, fakta-fakta sosial yang terlihat dalam hubungan sosial,
tingkah laku sosial, struktur sosial, bentuk-bentuk tingkah laku sosial,
pendeknya realitas sosial yang dijiwai oleh semangat dan roh yang tidak
bersifat material. Dengan demikian, premisa filosofis yang mendasari
penelitian sosiologis bukanlah satu filsafat materialisme, melainkan
satu filsafat sosial yang terbuka terhadap berbagai macam pendekatan
dan berbagai macam tematisasi filsafiah terhadap realitas sosial.
Beberapa aliran Sosiologi justru merupakan contoh keanekaragaman
pendekatan dan tematisasi terhadap fakta sosial itu seperti teori
konflik Karl Marx dan pengikut-pengikutnya, teori positivisme Augus
Comte, teori pemberian arti terhadap struktur masyarakat yang ideal
(Popper dan H.Albert) analisa terhadap tingkah laku sosial yang berkuasa
dalam kaitannya dengan satu masyarakat yang baik (Adorno, Habermas)
dsb.
Penelitian biologis ini dapat menghantar kita kepada pemahaman terhadap Filsafat
Sosial. Dengan adanya penelitian
sosiologis, kita dapat memperoleh kesimpulan-kesimpulan teoretis yang
menyumbangkan lahirnya beberapa teori ilmu pengetahuan sosial.
Teori-teori ini menyentuh apa yang dapat menjadi sasaran pergelutan
Filsafat Sosial seperti yang sudah kita sebut sebelumnya. Sasaran
pergelutan Filsafat Sosial tersebut berhubungan dengan kompleksitasnya
masalah yang dapat dirumuskan dalam pertanyaan-pertanyaan berikut.
Sejauh mana aku termasuk dalam dunia orang lain atau sejauh mana dunia
orang lain termasuk dalam aku? Sejauh mana masyarakat membentuk satu
unsur konstitutif untuk setiap individuum atau sebaliknya? Apa yang
menjadi persyaratan untuk terciptanya satu tingkah laku sosial secara
berhasil? Pertanyaan-pertanyaan ini membantu untuk memberi arah terhadap
penelitian-penelitian empiris dari disiplin Sosiologi sendiri.
2.2.3. Kritik terhadap posisi-posisi ekstrem.
Satu persoalan Filsafat
Sosial yang mau dipecahkan ialah persoalan tentang “aku, engkau dan
kita”. Sejauh mana “engkau dan kita” sama-sama termasuk dalam “aku”?
Untuk menjelaskan hal ini terdapat dua model yang memperlihatkan dua
posisi utama. Dua posisi utama ini merujuk kepada pemikiran J.J.
Rousseau tentang pengertian Individualisme dan Kolektivisme.
a. Individualisme dan kritik terhadap Individualisme.
Individualisme merupakan satu
bentuk kehidupan bersama yang dibangun berdasarkan atas persetujuan
dari individu-individu yang bergabung di dalamnya dengan tujuan tertentu
yang mau dicapai secara bersama-sama dari para anggotanya. Dia bukan
satu bentuk kehidupan bersama yang bersifat kodrati seperti keluarga.
Kalau pun tidak ada persetujuan yang dirumuskan, bentuk kehidupan
bersama ini tetap ditafsir sebagai satu kumpulan individu-indvidu yang
tercipta seakan-akan ada kesepakatan antara mereka untuk ada
bersama-sama di satu tempat. Realitas “Ada” sebagai satu realitas sosial
dan nilai dari kebersamaan model ini bersifat sekunder, sebab nilai
utamanya adalah individuum. Argumentasi ontologis dan ethis dapat
mendukung konsep Individualisme itu. Argumentasi ontologis dari konsep
Individualisme ini adalah bahwa realitas yang sesungguhnya adalah
individu. Individu-individu merupakan realitas “Ada” yang bersifat awali
dan hakiki, sedangkan kehidupan bersama dan masyarakat hanya dibangun
di atas hubungan antara individu yang satu dan individu yang lain, dan
bentuk hubungan itu bersifat sekunder dan aksidental. Argumentasi ethis
yang mendasari konsep Individualisme ini ialah bahwa individu sebagai
pribadi merupakan nilai tertinggi. Setiap orang mempunyai hak untuk
menentukan dirinya dan berkuasa atas dirinya. Hak pribadi diutamakan di
atas hak-hak yang lain.
Kritik terhadap konsep
Individualisme seperti yang disebut di atas ialah bahwa penafsiran
individualistis itu telah mengabaikan struktur-dalam dari setiap bentuk
kehidupan bersama, struktur-dalam yang tidak boleh direduksi atau
diperkecil nilainya. Di dalam bentuk kehidupan bersama itu tidak hanya
terdapat individu-individu, tetapi persetujuan dan kesepakatan yang
sudah mengikat indvidu-individu untuk berada bersama dalam satu cara
hidup bersama. Hubungan antara individu yang satu dengan individu yang
lain dalam bentuk kehidupan ini bersifat “hakiki”; dengan kata lain,
hubungan “aku”
sebagai satu individu dengan “engkau” telah terikat secara hakiki
menjadi “kita” oleh karena persetujuan dan kesepakatan. Karena itu,
kebersamaan di sana bukanlah terdiri dari individu-individu yang bebas
mutlak, tapi yang terikat satu sama lain melalui hak dan kewajiban
sebagai konsekuensi dari persetujuan dan kesepakatan mereka. Di dalam
konteks ini bagaimana pun juga terdapat fenomen otoritas yang berfungsi
untuk mengatur hak dan kewajiban para anggota yang terlibat dalam
persekutuan bersama. Hak dan kewajiban yang sudah diatur itu menunjukkan
satu bentuk kehidupan sosial yang hanya bertumbuh dalam kebersamaan dan
bukannya bertumbuh oleh karena jasa setiap individu. Otoritas sosial
yang mempunyai fungsi itu bukanlah satu yang muncul kemudian, tetapi
sudah ada secara hakiki, ketika tercipta bentuk kehidupan bersama ini.
b. Kolektivisme dan kritik terhadap kolektivisme.
Kolektivisme bertolak dari
pemahaman bahwa keselunrhan tidak dimengerti sebagai yang terdiri dari
bagian-bagian. Keseluruhan itu merupakan satu yang absolut dan tidak
terbagi dalam bagian-bagian; keseluruhan ada lebih dahulu dari
bagian-bagian. Model dasar dari paham ini adalah organisme yang dilihat
sebagai satu tubuh yang memiliki anggota-anggotanya. Masyarakat dalam
arti ini menjadi satu “korpus sosial atau satu organ sosial”.
Argumentasi ontologis dan ethis dapat mendasari pemahaman Kolektivisme
ini. Argumentasi ontologisnya ialah bahwa realitas sosial sebagai
realitas “Ada” tidak dapat diasalkan dari kumpulan individu-individu
yang berdiri terisolir satu dengan yang lain. Realitas sosial ini
memiliki hukumnya sendiri. Dia memiliki adanya sendiri dan tidak berasal
dari realitas “Ada” setiap individu. Memang bisa dimengerti bahwa
individuindividu itu merupakan unsur-unsur penting dari satu
masyarakat, tetapi kedudukan dan keberadaan masyarakat lebih diutamakan
dari pada individu. Dengan demikian, argumentasi etisnya mendukung
pemahaman ontologis itu, yaitu bahwa kesejahteraan bersama mendahului
kepentingan diri. Bila kesejahteraan bersama tercapai, maka
kesejahteraan dan pemenuhan diri juga terjamin.
Kritik terhadap kolektivisme
terletak dalam kritik melawan interpretasi Kolektivisme yang menempatkan
hakikat kebersamaan lebih tinggi dan lebih bernilai dari
pada individu-individu yang tergabung
di dalamnya. Pandangan Kolektivisme justru tidak memberi ruang
kebebasan untuk setiap individu. Akibatnya ialah bahwa individu yang
bergabung di dalamnya tidak memiliki keputusan penuh untuk menentukan
diri. Hak-hak individu diatur sejalan dengan tuntutan kehidupan bersama.
Konsensus bebas tidak terjamin baik, karena peraturan kehidupan bersama
sudah tercipta lebih dahulu. Dalam paham Kolektivisme ini para pemegang
kuasa atau autoritas harus berusaha memenangkan setiap individu yang
bergabung di dalamnya untuk mengidentifisir diri mereka dengan bentuk
hidup bersama yang diterimanya. Hal ini tentu bukanlah satu hal yang
mudah, karena setiap individu memiliki kemauan dan kehendak bebas untuk
menerima atau menolak tuntutan hidup bersama itu. Tuntutan setiap
individu untuk memiliki kebutuhan dasar dan hak dasar di dalam bentuk
kehidupan bersama bukanlah satu hal yang tidak hakiki. Tetapi paham
Kolektivisme kurang memungkinkan pemenuhan tuntutan individu itu, karena
tuntutan masyarakat yang terwujud dalam hukum dan peraturan masyarakat
lebih tinggi dari pada
tuntutan individu. Paham Kolektivisme ini
mempunyai dampak negatif juga terhadap dunia pendidikan. Pendidikan
anak dalam konteksnya, lalu menjadi satu pendidikan yang membatasi
kebebasan dan ekspresi anak dengan berbagai macam peraturan dan hukum
yang dianuti masyarakat. Anak dipaksa untuk taat dan tunduk buta tanpa
punya kuasa untuk melawan apa yang diajarkan guru. Anak dilihat sebagai
objek pendidikan, dan bukannya subjek yang dicintai dalam proses
pendidikan itu.
Kedua model yang disebut itu
hanya menyadarkan manusia akan hakikat sosial dari manusia sendiri.
Sedari mula manusia sudah menyandang realitas sosial ini sebagai satu
yang hakiki dalam hidupnya. Realitas ini hendaknya diwujudkan sedemikian
sehingga setiap individu dalam penghayatan akan realitas sosialnya
senantiasa bertumbuh mandiri menuju pencapaian jati diri yang utuh
bersama dengan yang lain.
2.2.4. Aku dan Yang Lain.
Secara objektif ungkapan “Aku
dan Yang Lain” menunjukkan adanya satu hubungan antara “aku” sebagai
satu realitas dengan yang lain sebagai satu realitas yang lain. Entah
hubungan ini bersifat berat sebelah, entah hubungan ini bersifat
seimbang, entah
hubungan ini bersifat timbal balik, tapi hubungan semacam ini tetap
berakar dalam hubungan antara realitas yang berbeda. Hubungan ini
mempunyai makna yang berbeda dengan hubungan yang dibentuk berdasarkan
fungsi dan posisi subjek yang mewakili Kata Ganti Diri, sebab ketika
“aku” bercakap-cakap dan berbicara dengan “engkau”, aku dan engkau
merupakan satu Kata Ganti Diri yang menduduki posisi dan memainkan
fungsi tertentu; keduanya membentuk satu hubungan tertentu dalam konteks
realitas mereka yang berbeda. Bentuk hubungan seperti ini belum
mencerminkan hubungan yang sesungguhnya antara “Aku dan Yang Lain”.
Hubungan yang sesungguhnya antara “Aku dan Yang Lain” adalah hubungan
yang mengatasi hubungan subjek-objek, dalam arti bahwa Yang Lain menjadi
sasaran dan objek yang berhadapan dengan aku atau aku sebagai objek
yang berhadapan dengan yang lain. Hubungan yang sesungguhnya itu adalah
hubungan yang bersifat antar-subjek dan antar-personal. Karena itu, di
bawah ini perlu dibicarakan tentang pemahaman akan arti
“Intersubjektivitas, interpersonalitas dan Yang Lain.”
a. Intersubjektivitas dan interpersonalitas.
Berbicara tentang
intersubjektivitas berarti berbicara tentang kebenaran dan tentang
objektivitas. Kebenaran tidak terlepas dari pengenalan subjek akan
kebenaran. Tetapi karena pengenalan akan kebenaran dapat saja berbeda
dari subjek yang satu dengan subjek yang lain, maka setiap pengenalan
harus diuji apakah pengenalan itu sesuai dengan kebenaran objektif atau
tidak. Kebenaran objektif adalah kebenaran yang ada dalam dirinya
sendiri dan menjadi sasaran rujukan pernyataan yang benar. Kebenaran
yang objektif menjadi prinsip dan tuntutan yang berlaku untuk semua
subjek agar dalam setiap pernyataan subjek kebenaran itu sendiri menjadi
tolok ukur untuk semua tanggapan dan pikiran subjektif.
Intersubjektivitas terwujud dalam pengenalan dan pengakuan semua subjek
akan kebenaran objektif itu.
Intersubjektivitas tidak berarti soal hubungan antara subjek yang satu dengan
subjek yang lain. Intersubjektivitas adalah keterkaitan atau jalinan antara subjek yang satu dengan subjek yang lain di atas dasar satu subjek transendental, yaitu satu subjek ideal
yang berdiri melampaui pengenalan, pengalaman dan kepentingan subjek-subjek konkret.
subjek yang lain. Intersubjektivitas adalah keterkaitan atau jalinan antara subjek yang satu dengan subjek yang lain di atas dasar satu subjek transendental, yaitu satu subjek ideal
yang berdiri melampaui pengenalan, pengalaman dan kepentingan subjek-subjek konkret.
Semua subjek yang mempunyai kemampuan
“mengenal” mengambil bagian dalam subjek ideal ini. Dengan demikian,
ketika subjek menjalankan kegiatan untuk mengenal kebenaran,
pengenalannya dengan sendirinya memuat ide tentang subjek ideal ini yang
mengenal kebenaran objektif. Dari subjek ideal ini bergantunglah
subjek-subjek konkret, karena subjek ideal itu merupakan kesatuan
batiniah untuk semua subjek konkret.
Kalau demikian, bagaimana
hubungan antara intersubjektivitas dan interpersonalitas dapat
dijelaskan? Interpersonalitas hanya menjadi mungkin, apabila
intersubjektivitas terwujud. Intersubjektivitas dalam arti di atas tidak
lain dari pada interpersonalitas. Maksudnya, hubungan antar subjek
tidak sekedar hubungan antar subjek-subjek konkret, tetapi hubungan
antar pribadi yang tersirat dalam setiap subjek. Subjek sendiri mewakili
pribadi. Dengan demikian, interpersonalitas mengandaikan
intersubjektivitas. Ideal dari hubungan antar subjek dalam kehidupan
bersama adalah hubungan antar pribadi (persona) atau interpersonalitas.
Subjek-subjek yang terlibat dalam percakapan, dalam pertemuan, dalam
diskusi, dalam kesempatan-kesempatan khusus dan sebagainya sedapat
mungkin mencerminkan hubungan antar pribadi atau interpersonalitas itu.
b. Yang Lain.
Kita bertolak dari pengalaman
konkret. Dalam kehidupan bersama, kenyataannya ialah bahwa diri saya
berhubungan dengan orang pertama, orang kedua, orang ketiga, pendeknya
diri saya menjalin kontak dengan begitu banyak orang. Yang lain di sini
mewakili orang pertama, orang kedua, orang ketiga. Tetapi Yang Lain
adalah diri saya sendiri, ketika orang lain berhadapan dengan saya. Aku
menyebut mereka sebagai “Yang Lain”, dan sebaliknya mereka menyebut
“Aku” sebagai “Yang Lain” pula.
Apa yang menjadi milik dari
“Yang Lain”? Ciri khas macam mana yang dimiliki oleh, “Yang Lain”. Untuk
menunjukkan kekhasan dari “Yang Lain”, kita beranjak dari pengalaman
diri kita sendiri. Kita mengalami diri ketika kita menyatakan “aku”
dalam relasi kita dengan diri kita sendiri dan dalam relasi kita dengan
yang lain. Dengan menyebut “aku”, kita memperlihatkan dunia “aku” dan
mengalaminya “dari dalam”. Pengalaman
diriku bukanlah satu pengalaman yang lengkap, karena, semakin kita
mengalami diri, semakin kita tahu sedikit sekali tentang diri kita. Kita
tidak mengenal siapa kita, siapa “aku” sesungguhnya. Usaha untuk
mengenal diri hanya mungkin apabila kita berjumpa dengan “Yang Lain”.
Dengan kata lain, aku hanya dapat mengenal diriku, ketika aku yang tahu
sedikit sekali tentang diriku berhadapan dengan “Yang Lain” yang
menjelma dalam tubuhnya, dalam perkataannya dan dalam tingkah lakunya.
Dengan demikian terjalin hubungan “Aku dan Yang Lain”. Tetapi hubungan
ini adalah satu hubungan yang sama sekali tidak lengkap, karena “Yang
Lain” juga tidak tampil seluruhnya; ia hanya menjelma sedikit dalam
penampilan-penampilan lahiriah yang disebutkan itu. “Yang Lain” dalam
pengalamanku akhirnya menjadi “Yang Lain” sama sekali, begitu juga “Yang
Lain” ketika berhadapan denganku menyebut “Aku” sebagai “Yang Lain”
sama sekali juga.
Hubunganku dengan diriku
sendiri dan dengan “Yang Lain” memperlihatkan ciri khas tertentu. Hal
itu bergantung kepada cara kita menilai. Satu fakta yang tak dapat
disangkal ialah bahwa setiap orang mencintai dirinya. Aku mencintai
diriku. Sesuatu yang paling dekat dengan diriku adalah diriku sendiri,
hidupku, cintaku, kegemaranku, pikiran dan perasaanku, pendeknya
“duniaku”. Pengalaman awalku terhadap “Yang Lain” mencerminkan
penilaianku terhadap “Yang Lain”. Yang Lain ternyata tidak tampil ramah
terhadapku. Dalam lubuk hati terdalamku, aku melihat “Yang Lain” atau
sebagai ancaman terhadap duniaku atau sebagai pemenuhan duniaku. Karena
itu, aku sedapat mungkin menaklukkan “Yang Lain” agar Yang Lain
bertindak baik terhadapku dan tidak menipuku. Aku menghendaki agar Yang
Lain menghargai dan menerimaku. Begitu juga, perspektif seperti ini
menjadi perspektif “Yang Lain” juga, ketika Yang Lain itu berhadapan
denganku. Yang Lain dapat saja melihatku sebagai ancaman atau sebagai
pemenuhan dirinya. Yang Lain ingin menaklukkanku agar aku bertindak baik
terhadap Yang Lain dan tidak menipunya. Dalam usaha untuk membangun
satu relasi yang saling menghargai dan menerima ini perlu ada ruang
“kepercayaan” yang harus ditempa, agar Yang Lain dapat masuk dengan
leluasa ke dalam duniaku dan begitu juga “aku” dapat masuk ke dalam
dunia Yang Lain dengan leluasa pula. Kepercayaan mengandaikan keberanian, ketrampilan dan risiko.
Aku dan Yang Lain sebetulnya
berdiri di atas basis yang sama yaitu Selbst atau Diri. Aku adalah
Diriku sendiri dan Yang Lain adalah Dirinya sendiri. Hubungan “Aku dan
Yang Lain” hanya memperkokoh jati diri masing-masing, yaitu bahwa Yang
Lain tetap menjadi Yang Lain sama sekali, ketika dia berhadapan denganku
(Diriku menjadi Yang Lain sama sekali untuk dia) atau ketika aku
berhadapan dengan Yang Lain (Dirinya menjadi Yang Lain sama sekali untuk
aku).
1.2.3. Kesejarahan atau Historisitas
Bila kita berbicara tentang
kesejarahan atau historisitas sebagai salah satu dimensi dasar dari
realitas manusia, maka refleksi kita terarah kepada dua hal ini. Di satu
pihak kesejarahan atau historisitas dipandang sebagai faktor penghalang
setiap usaha manusia untuk menetapkan satu pengertian tentang realitas
manusia yang tidak terikat pada waktu. Pikiran dan pemikiran manusia
senantiasa terikat erat dengan situasi historis. Manifestasi pikiran dan
pemikiran manusia juga tampil sangat berbeda dalam perjalanan sejarah.
Adalah satu hal yang sangat sulit untuk menemukan satu pemikiran tentang
manusia terlepas dari konteks historisnya. Di pihak lain, historisitas
atau kesejarahan ini dilihat sebagai satu faktor pendukung, karena di
dalam historisitas terlaksana realisasi diri manusia yang khas untuk
menempatkan diri manusia ke dalam masa sekarang ini melalui hubungan
antara masa sekarang dengan masa depan dan masa lampau. Manusia adalah
satu hakikat yang hidup dalam sejarah atau satu hakikat yang menyejarah.
Dengan kenyataan ini, kita ingin mendekati beberapa tema yang
menyangkut historisitas seperti kesejarahan dari penulisan sejarah, ide
tentang waktu objektif dan waktu subjektif dan kesejarahan atau
historisitas itu sendiri.
2.3.1. Kesejarahan dari penulisan sejarah.
Ilmu Sejarah sebagai satu
ilmu yang meneliti, menulis dan melukiskan sejarah adalah sama seperti
ilmu pengetahuan empiris yang lain. Dia harus tunduk pada hukum
objektivitas. Karena itu ideal dari penulisan sejarahnya adalah bahwa
pemberitaan tentang sesuatu yang sudah terjadi di masa lampau harus
sesuai dengan apa yang sudah terjadi sebagaimana adanya. Penulisan
sejarah bukanlah satu penulisan ceritera dongeng atau legenda. Tetapi
masalahnya ialah bahwa apa yang diteliti dan ditulis tidak menghadirkan
objektivitas seluruhnya dari apa yang sudah terjadi sebagaimana adanya.
Penulis sejarah bagaimanapun juga tidak mengenal seluruhnya apa yang
sudah terjadi. Dengan demikian penulisan sejarah bukanlah satu pekerjaan
yang sekali dibuat. Sejarah tentang apa yang sudah terjadi di masa
lampau selalu perlu dikonstniksi lagi dan ditulis ulang.
Ada dua alasan mengapa
sejarah harus selalu ditulis ulang dan metode pendekatannya harus
senantiasa diperbaharui. Alasan pertama ialah bahwa dengan penemuan
sumber-sumber baru seperti penemuan arsip-arsip atau penyingkapan arti
dari banyak teka-teki yang menyangkut huruf dan bahasa serta penemuan
alat-alat baru dalam menulis sejarah, diperkayalah pengetahuan sejarah.
Pengetahuan tentang sesuatu hal atau peristiwa di masa lampau dengannya
diperluas dan membutuhkan pengkajian ulang. Dengan penemuan-penemuan
seperti itu ternyata bahwa ada beberapa periode atau penggalan sejarah
tertentu dilupakan, dikesampingkan atau tidak mendapat perhatian
seperlunya. Penulisan dan pengkajian ulang peristiwa sejarah itu
menghindari kesimpulankesimpulan yang ditarik secara gegabah atau
secara tergesa-tegesa karena sumber-sumber tentang itu kurang sekali
atau sempit. Alasan yang kedua adalah bahwa setiap sumber tertulis yang
berisikan tentang peristiwa masa lampau tidak pernah selesai
menyampaikan sesuatu. Sumber itu memuat semacam satu objektivitas yang
tidak terkait pada waktu. Karena sumber-sumber itu memuat kenyataan dan
tidak pernah selesai disingkapkan, maka kegiatan penafsiran terhadapnya
menjadi penting dan harus dijalankan secara terus menerus. Kenyataannya
ialah bahwa sumber-sumber tertulis itu juga merupakan hasil dari satu
penafsiran terhadap kenyataan masa lampau, lalu sumber ini juga kemudian
perlu ditafsir lagi sesuai dengan problem-problem baru yang aktual.
Karena itu sering kita menemukan bahwa penafsiran terhadap sumber-sumber
tertulis itu dapat menggeserkan tekanan tertentu sesuai dengan
problem-problem baru. Hal itu bergantung kepada si penulis
, |
sejarah yang hidup dalam epoche tertentu dengan persoalan tertentu.
Tentang satu tema yang sama, seorang penulis sejarah di masa lampau
melihat dan menafsirnya secara lain dari pada penulis sejarah yang
melihat hal itu menurut problem aktual sekarang.
Cara perlukisan sejarah
senantiasa berubah. Perubahan perlukisan sejarah ini mencerminkan adanya
perubahan dalam cara-cara untuk mengerti masa sekarang secara lebih
tepat. Apakah orang menemukan masa sekarang yang penuh dengan
problemproblem? Apakah orang mengalami masa sekarang secara tidak
menyenangkan? Apakah orang terpaksa harus menerima situasi sekarang yang
tidak bisa dielakkannya? Bila perubahan dalam cara-cara perlukisan
sejarah terjadi, maka kita dapat berbicara tentang kemajuan dalam
pengetahuan historis. Kemajuan ini dalam kaca mata sejarawan bukanlah
menunjuk kepada dunia fisika yang memiliki struktur peraturannya, tetapi
menunjuk kepada jaringan yang beranekaragam dari semua peristiwa
konkret. Peristiwa-peristiwa konkret ini bisah dilihat dari
berbagaimacam pendekatan ilmiah (psikologis, sosiologis, ekonomis,
politis dsb.). Tetapi untuk seorang sejarawan, jaringan yang
beranekaragam dari peristiwa-peristiwa konkret ini coba ditempatkan ke
dalam satu situasi historis masa lampau yang melatarbelakangi terjadinya
peristiwa-peristiwa konkret ini. Usaha untuk menempatkan jaringan
peristiwa-peristiwa konkret ini dijalankan melalui tematisasi
bagianbagian tertentu dari peristiwa-peristiwa itu dalam situasi
historis tertentu atau juga tematisasi titik tolak pendekatan tertentu
dalam konteks historis tertentu. Justru usaha inilah yang menempatkan
setiap penulisan sejarah dan penulis sendiri ke dalam satu latar
belakang sejarah dan ideologi sejarah tertentu yang mewarnai
penulisannya. Dengan itu kita berkesimpulan bahwa penulisan sejarah
tentang satu hal berbeda dari penulis yang satu dengan penulis yang
lain, dan kenyataan ini merangsang setiap sejarawan untuk senantiasa
bersikap kritis terhadap penulisan sejarah yang dibuat oleh orang lain
atau juga menjalankan kritik-diri terhadap penulisan sejarah yang dibuat
sendiri.
Kesejarahan menjadi sasaran
penulisan sejarah. Kesejarahan sendiri tentu berbeda dengan sejarah.
Kesejarahan tidak lain dari pada segala sesuatu yang terjadi di masa
lampau sebagaimana adanya; segala sesuatu itu menyangkut satu bangsa,
agama, situasi sosial,
kebudayaan, singkatnya keseluruhan
kemanusiaan dengan segala macam aspeknya. Sejarah adalah di satu pihak
usaha untuk menghadirkan kembali realitas di masa lampau secara objektif
mungkin dan di pihak lain satu bentuk hidup yang menjadi tanggung jawab
budaya sendiri. Kesejarahan merupakan keseluruhan realitas masa lampau
yang terkristalisir dalam sejarah. Manusia menulis sejarah dan bukan
menulis kesejarahan. Motif dasar penulisan sejarah ini adalah minat
dasar terhadap segala sesuatu yang sudah terjadi untuk menghadirkannya
kembali ke dalam masa sekarang dengan tujuan untuk mengatasi
persoalan-persoalan tertentu masa sekarang atau untuk memenuhi kebutuhan
tertentu yang tidak dimiliki pada masa sekarang. Tanpa minat dasar itu
tidak ada usaha untuk menulis sejarah.
2.3.2. Ide tentang waktu objektif dan waktu subjektif.
Penelitian ilmiah tentang
peristiwa masa lampau merupakan satu cara untuk menyoroti masa sekarang
yang terbuka terhadap masa depan dan masa sekarang yang sudah terbentuk
oleh masa lampau. Sejarah sendiri dimungkinkan oleh kesejarahan atau
historisitas dari penghayatan realitas manusia sebagai satu realitas
“Ada” dan dalam ukuran historis tertentu sejarah itu diperlukan oleh
historisitas penghayatan manusia ini.
Bila peristiwa masa lampau
diamati dan diteliti, maka itu berarti bahwa kita menempatkan peristiwa
masa lampau ke dalam kesadaran kita. Peristiwa masa lampau yang
dihadirkan kembali pada masa sekarang pada dasarnya dilatarbelakangi
oleh satu ide tentang waktu objektif, yaitu satu perjalanan waktu yang
mengikuti garis-garis yang diberi ciri khas sebagai yang terjadi lebih
awal, lebih kemudian, kemudian sekali atau yang paling akhir, pendeknya
satu struktur dasar waktu yang di dalamnya peristiwa-peristiwa “terjadi
satu sesudah yang lain”. Struktur dasar dari waktu objektif ini dapat
ditentukan secara
pasti menurut hukum fisika, khususnya Astronomi, dan waktu seperti ini adalah waktu kodrati karena perjalanan waktu didasarkan pada peredaran dan ritme alam seperti siang, malam, hari, minggu, bulan, tahun dan musim. Waktu kodrati masih lagi dilengkapi dengan waktu hasil kesepakatan yang berisikan peristiwa-peristiwa tertentu sebagai titik referensi untuk pembagian waktu. Penanggalan dan kalender dibuat atas dasar peristiwa-peristiwa
tertentu ini yang disepakati sebagai satu penentuan dan perhitungan
waktu, misalnya peristiwa kelahiran Yesus, peristiwa Hijrah Nabi
Muhammad, peristiwa kemerdekaan bangsa Indonesia dan lain-lain.
Pembagian waktu yang berdasarkan atas peristiwa-peristiwa tertentu itu
bisa juga memperlihatkan satu periode, satu epoche atau zaman seperti
pembagian sejarah Indonesia atau sejarah satu bangsa. Waktu hasil
kesepakatan yang berdasarkan peristiwa penting tertentu itu disebut
sebagai waktu sejarah. Pembagian waktu seperti ini masih tetap
didasarkan pada waktu kodrat dan merupakan kosekuensi yang tak terulang
dari perjalanan waktu kodrati. Gambaran waktu yang dikaitkan dengan
waktu kodrati ini menjadi perhatian para pakar sejarawan.pasti menurut hukum fisika, khususnya Astronomi, dan waktu seperti ini adalah waktu kodrati karena perjalanan waktu didasarkan pada peredaran dan ritme alam seperti siang, malam, hari, minggu, bulan, tahun dan musim. Waktu kodrati masih lagi dilengkapi dengan waktu hasil kesepakatan yang berisikan peristiwa-peristiwa tertentu sebagai titik referensi untuk pembagian waktu. Penanggalan dan kalender dibuat atas dasar peristiwa-peristiwa
Tetapi bagaimanapun juga
gambaran waktu seperti itu hanya mungkin ada, karena ia didasarkan pada
satu cara awal kesejarahan yang terkait sangat erat dengan karakter
Subjek dari manusia itu sendiri. Si penulis sejarah sendiri juga
merupakan bagian dari kesejarahan, hidup dalam sejarah dan turut memberi
karakter terhadap kesejarahan itu sendiri. Konsep inilah yang
menghantar kita kepada ide tentang waktu subjektif, yaitu kesejarahan
yang melekat pada subjek itu sendiri. Tanpa subjek, tidak ada gambaran
tentang waktu. Kenyataan ini dapat dijelaskan lebih lanjut tentang arti
waktu berikut ini.
Tidak dapat disangkal bahwa waktu
merupakan kesatuan antara masa lampau, masa sekarang dan masa depan.
Pernyataan ini dapat dimengerti menurut tiga arti mendasar yang berbeda.
Pertama. Waktu
merupakan keseluruhan dari semua momen atau saat, momen masa lampau,
momen sekarang dan momen yang akan datang. Keseluruhan ini merupakan
kesatuan dari satu gambaran tentang waktu itu sendiri, yaitu masa lampau
dan masa depan
disintesekan dengan masa sekarang menjadi
satu waktu. Waktu adalah sintese masa lampau dan masa depan dengan masa
sekarang. Tapi bagaimana ini dapat dijelaskan? Waktu lampau merupakan
satu yang sudah tidak terjadi lagi atau satu yang terlupa, tapi
dibangkitkan kembali oleh “kenangan” dan melalui kenangan, waktu lampau
dihantar
untuk masuk ke dalam masa sekarang. Waktu lampau adalah masa sekarang yang menghadirkan kembali masa lampau. Begitu juga masa depan. Masa depan adalah sesuatu
untuk masuk ke dalam masa sekarang. Waktu lampau adalah masa sekarang yang menghadirkan kembali masa lampau. Begitu juga masa depan. Masa depan adalah sesuatu
yang belum terjadi, tetapi dihadirkan
lebih dahulu melalui “antisipasi” dan dihantar masuk ke dalam masa
sekarang. Masa depan adalah masa sekarang yang mengantisipasi sesuatu
yang belum terjadi. Dengan gambaran ini, masa sekarang mendapat tekanan
istimewa. Kedua dimensi yang lain, yaitu masa lampau dan masa depan,
tersintese dalam masa sekarang. Tetapi mengapa masa sekarang mendapat
tekanan istimewa dalam gambaran waktu yang demikian? Alasanya ialah
Subjek sendiri atau waktu yang terikat erat dengan subjek. Waktu
Sekarang adalah Kekinian dari Subjek yang sedang ingat akan sesuatu,
subjek yang sedang berantisipasi dan subjek yang sedang menyibukkan diri
dengan sesuatu. Waktu sekarang adalah aktivita subjek. Hal ini berarti
ganda. Di satu pihak, masa sekarang merupakan titik tolak untuk dua
dimensi yang berjalan bertolak belakang, yaitti dimensi masa lampau dan
masa depan. Masa lampau dan masa depan berakar pada masa sekarang.
Masing-masingnya, baik masa lampau maupun masa depan, adalah masa
sekarang yang terhayati dari subjek. Dengan kata lain, tanpa subjek
ketiga masa itu tidak punya arti. Di pihak lain di dalam Subjek terdapat
jelas korelasi antara masa lampau dan kenangan akannya, masa depan dan
antisipasi akannya, masa sekarang dan kepasrahan atau penyerahan diri ke
dalamnya. Hal ini sejalan dengan apa yang dijelaskan Agustinus dalam
Confessiones XI, 14 dst., bahwa masa lampau, masa depan dan masa
sekarang hanya ada untuk satu “hakikat” yang mampu ingat, mampu
berantisipasi dan yang mampu memberi perhatian. Penjelasan di atas
menghantar kita kepada kesimpulan bahwa waktu bukanlah produk dari
kegiatan subjek, tapi waktu tidak bisa ada tanpa subjek.
Kedua. Bagaimana masa
depan, masa sekarang dan masa lampau selalu ada di dalam satu kesatuan:
antisipasi untuk masa depan, perhatian untuk masa sekarang dan kenangan
untiik masa lampau? Kita mengambil contoh sebuah melodi. Satu melodi
merupakan satu kesatuan yang tersusun dari setiap nada. Bila kita
mendengar beberapa nada dari satu melodi yang kita kenal, maka pada
waktu yang sama kita “terarah tetap pada atau menaruh perhatian pada”
nada itu dan serempak “mengharapkan” munculnya nada-nada lain yang
membangun melodi itu. Dengan mendengar, memperhatikan dan mengharapkan,
terciptalah satu gambaran keseluruhan dari melodi itu. Keseluruhan
itulah yang adalah peristiwa melodi sendiri. Keseluruhan peristiwa itu
sendiri menempati masa sekarang yang meliputi peralihan nada yang satu
ke nada yang lain. Dengan demikian masa sekarang adalah momen ketika
setiap nada terdengar pada saat itu di dalam perwujudan melodi itu, tapi
juga keseluruhan peristiwa melodi. Keseluruhan itu mencakup juga
antisipasi menuju pemenuhan keseluruhan melodi dan sekaligus juga momen
dari sebagian nada yang sudah terdengar. Dari contoh ini kegiatan
“menaruh perhatian” yang dijalankan pada masa sekarang mendasari
kenangan akan satu peristiwa yang sudah terjadi dan antisipasi akan satu
peristiwa yang akan terjadi. Tindakan itu dilihat sebagai korelasi yang
membangun satu kesatuan antara masa lampau, masa sekarang dan masa
depan. Tindakan itu sendiri adalah bentuk batiniah atau bentuk dalam
dari peristiwa-peristiwa yang berjalan secara objektif di hadapan
seluruh perhatian dan kesadaran manusia.
Ketiga. Arti ketiga
dikaitkan dengan persoalan: Apakah bentuk waktu untuk satu perlukisan
objektif tentang sesuatu yang terjadi sudah selalu dan hanis merupakan
waktu batiniah (waktu objektif) dari peristiwa yang terjadi. Memang
terdapat perbedaan antara waktu yang termasuk dalam proses yang
digambarkan secara objektif dan waktu yang termasuk dalam
peristiwa-peristiwa subjek. Bila waktu itu termasuk dalam peristiwa
subjek, maka bagaimanapun juga waktu termasuk dalam kehidupan subjek
sebagaimana tersedia dalam kesadaran subjek sendiri. Kita mengambil
contoh ketika kita berhadapan dengan sebuah drama di atas panggung.
Drama itu mencerminkan perjalanan hidup kita yang terdiri dari fase
awal, tengah dan akhir. Perjalanan hidup itu merupakan satu keseluruhan.
Tetapi kita bukan hanya memperhatikan fase hidup kita sendiri,
melainkan momen-momen hidup yang sering kita lupa atau tidak kita sadari
justru masuk dalam perhatian orang lain. Mereka turut memberi gambaran
terhadap sejarah hidup kita. Dengan demikian kita melihat bahwa ada
perbedaan antara waktu sebagai bentuk gambaran (baik gambaran yang saya
buat sendiri maupun gambaran yang dibuat orang lain tentang saya) dan
waktu sebagai bentuk kehidupan yang memiliki struktur dan realitasnya
sendiri yang terpisah dari subjek. Persoalannya ialah bahwa sejauh mana
saya menghidupi waktuku. Sejauh saya memiliki kemungkinan dan dapat
rtirjudkan kemungkinan itu, maka sejauh itu
pula saya mengalami masa depan. Dan sejauh saya tahu bahwa saya atas
cara tertentu sudah ada dan kemungkinan-kemungkinan tertentu sudah
terwujud dalam diri saya, sejauh itu pula saya mengalami masa lampau.
Begitu pula, sejauh saya menggenggam dan menangkap
kemungkinan-kemungkinan tertentu, sejauh itu saya mengalami masa
sekarang. Masa depan saya adalah kemungkinan bagi saya, masa lampau
adalah satu keharusan, dan masa sekarang adalah kenyataan yang tidak
lengkap.
2.3.3. Kesejarahan sendiri atau historisitas.
Kesejarahan menandai
pengertian dasar tentang manusia dan dunianya. Kesejarahan dalam arti
ini adalah kesejarahan dalam arti antropologis. Selain itu, kesejarahan
menandai juga karakter dari satu budaya yang khas. Dalam arti yang
kedua, kesejarahan adalah kesejarahan dalam arti budaya. Kita cuma
membahas kesejarahan dalam arti antropologis.
Kesejarahan dalam arti antropologis
memperlihatkan “dialektika” kesejarahan sendiri: dialektika antara masa
lampau dan masa depan dengan masa sekarang. Ungkapan “kesejarahan” dari
realitas manusia dimaksudkan kenyataan bahwa manusia yang hidup di saat
ini tidak hanya memiliki masa lampau di belakangnya dan masa depan di
hadapannya, tetapi juga selalu mengembangkan satu hubungan bagaimana ia
memiliki masa lampau di
belakangnya, masa depan di hadapannya dan
masa sekarang di dalamnya. Hubungan itu terdiri dari
tanggapan-tanggapan, pertimbangan, penilaian serta keputusan-keputusan
dan kegiatan konkret sekarang entah secara sadar atau tidak, entah
secara bebas atau tidak. Hubungan itu menyangkut baik sejarah kehidupan
individual maupun kolektif.
Kita hidup dalam masa
sekarang ini. Masa sekarang ini pada hakikatnya merupakan satu aktus
atau kegiatan yang memiliki masa lampau dan masa depan. Dari ini
dapatlah dibedakan dua hal: menempatkan penghayatan masa sekarang ke
dalam gambaran masa lampau atau masa depan dan merintangi penghayatan
masa sekarang dengan menghilangkan masa lampau atau masa depan. Dalam hal pertama,
manusia memindahkan atau memasukkan diri ke dalam masa lampau atau masa
depan. Ia tidak hidup dalam masa sekarang. Orang hidup dalam khayalan
dan menecnukan nilai hidupnya di masa lampau (pengalaman nostalgia) atau
di masa depan (impian masa depan). Sejauh
hal ini mempunyai pengaruh positif terhadap tindakan masa sekarang,
sejauh itu pula ia menemukan nilai masa sekarang yang punyai arti.
Tetapi apabila khayalan itu tetap ada tanpa punya hubungan yang berarti
dengan masa sekarang, maka sebetulnya masa lampau atau masa depan
menutupi realitas hidup yang sekarang. Orang lari kepada dunia khayalan.
Pada hal, masa sekarang merupakan masa yang konkret dan penting; ia
punya nilai yang berbeda dengan masa lampau dan masa depan. Karena itu
keputusan untuk menghayati masa sekarang secara tepat dan bijaksana
adalah keputusan untuk memanfaatkan kesempatan dan kemungkinan yang
sudah berbeda dengan yang sebelumnya dan yang akan datang. Masa sekarang
akhirnya menjadi medium perbuatan dan hidup konkret seseorang, ketika
seseorang memutuskan untuk mengisinya secara menguntungkan atau
membahagiakan. Dalam hal kedua, masa sekarang yang sejati tidak
hanya ditentukan oleh pembedaannya dengan masa lampau dan masa depan,
tetapi juga oleh kenyataan bahwa masa lampau dan masa depan
“terputus”dari penghayatan terhadap masa sekarang. Masa sekarang yang
sejati kehilangan masa lampau dan masa depan. Itu berarti bahwa dengan
kehilangan dimensi itu semua perbuatan yang konkret senantiasa berada
dalam atau masuk ke dalam sesuatu yang baru; perbuatan itu turut memberi
arti baru terhadap masa lampau dan masa depan. Ungkapan “kehilangan
masa lampau” tidak lain dari pada satu fenomen yang menunjukkan bahwa
masa lampau terputus dari penghayatan terhadap masa sekarang, atau
dengan kata lain, untuk menghayati masa sekarang masa lampau tidak
diperlukan. Manusia memberi penilaian negatif terhadap pengalaman masa
lampaunya yang buruk dan tidak mau mengintegrirnya ke dalam kehidupannya
yang sekarang. Dengan pengalaman masa lampau yang buruk, ia seakan-akan
memulai “nol” untuk satu hidup baru. Bila ia melihat kenyataan masa
lampau itu dengan mata positif, maka ia mulai berpikir dan merenung
kembali untuk melangkah maju dengan perasaan terbuka. Begitu juga,
ungkapan “kehilangan masa depan” dimaksudkan fenomen yang menunjukkan
bahwa hubungan antara masa sekarang dan masa depan menjadi terputus,
atau dengan kata lain, untuk menghayati masa sekarang masa depan tidak
diperlukan. Manusia tidak memiliki masa depan; ia kehilangan harapan.
Masa sekarang menjadi satu masa yang tertutup.Konsekuensinya ialah bahwa manusia tidak menemukan arti terhadap hidup, kerja dan perjuangannya di masa sekarang. Konsekuensi lebih lanjut juga ialah bahwa hubungan masa depan dengan masa lampau terputus, karena tidak ada jembatan antara masa lampau dan masa depannya.
Dialektika kesejarahan di
sini dapatlah disimpulkan dari kenyataan bahwa di dalam diri subjek,
hubungan antara masa lampau, masa sekarang dan masa depan dikembangkan,
dan masing-masingnya hanya punya arti apabila masa sekarang meresapi dua
dimensi yang lain dan serempak pula diresapi oleh dua dimensi yang
lain. Masa sekarang tidak punya arti tanpa masa lampau dan masa depan,
begitu juga masa lampau dan masa depan tidak punya arti tanpa masa
sekarang.
2.4. Kejasmanian
Ide penuntun yang menentukan
penafsiran kita tentang fenomen antropologis “kejasmanian” adalah ide
tentang, subjektivitas. Subjektivitas adalah penghayatan relasi terhadap
diri sendiri dan serempak relasi terhadap yang lain. Yang lain bisa
berupa manusia lain, makhluk hidup lain atau bisa juga benda-benda lain.
Sejauh yang lain itu, misalnya manusia lain, tetap berada sebagai yang
lain, sejauh itu pula yang lain tetap berada sebagai yang lain untuk
saya. Tetapi ada sesuatu yang tidak jelas baik bila dilihat dari yang
lain maupun dilihat dari sudut saya; hal itu adalah tubuh. Untuk
mengartikan kejasmanian tubuh, kita perlu bertolak dari “subjektivitas”.
2.4.1. Prapengertian tentang kejasmanian dengan bertolak dari bahasa.
Bila kita berbicara tentang tubuh
jasmani, kita perlu memiliki gambaran tentang satu tubuh jasmani yang
tidak terpisah-pisahkan dari anggota-anggota tubuh yang lain. Seluruh
anggota tubuh membangun satu tubuh jasmani yang hidup, yaitu satu figur
tubuh jasmani yang hidup-hidup. Itulah letak realitas tubuh jasmaniah.
Karena itu, gambaran kita tentang
realitas itu menjadi berarti apabila kita
menganalisa realitas itu melalui prapengertian tentangnya.
Prapengertian ini memberi kita arah jelas yang dapat kita tematisir
menurut bahasa, yaitu a). Bahasa metaforis tubuh; b). penangkapan figur
jasmaniah melalui bahasa;
c). ruang lingkup pemahaman tentang “tubuh”; d). problematika
metodologis tentang misteri kejasmanian: seberapa jauh tubuh merupakan
satu fenomen?
a). Bahasa Metaforis tentang tubuh.
Kita menemukan begitu banyak
kata yang mengungkapkan bagian-bagian dari tubuh, bahkan gerak-gerik
tubuh. Kata-kata itu menunjuk kepada berbagai macam realitas yang
memperlihatkan fungsi dan cara beradanya. Kita menyebut beberapa contoh.
Kata-kata yang menunjuk kepada bagian-bagian tubuh: tangan, kepala,
bahu, dada, hati dsb. dan kata-kata yang menunjuk kepada gerak-gerik
tubuh: lari, berdiri, tidur, jalan, duduk dsb. Kata-kata yang memiliki
arti dasar ini dapat saja berarti banyak, jika kata-kata itu dipakai
dalam arti metaforis. Contoh: kepala suku, kepala pasukan, kepala
pemerintahan dsb; begitu juga gerak-gerik tubuh mempunyai arti metaforis
seperti misalnya melarikan diri, memperdirikan rumah, meniduri
perempuan, menjalani hukuman, mendudukkan perkara dsb. Kata-kata yang
mengungkapkan arti metaforis disebut bahasa metaforis (meta-phora:
pengalihan). Di dalam bahasa metaforis arti dasar tentang tubuh sama
sekali tidak hilang, meskipun artinya sudah menunjuk kepada kenyataan
atau barang lain. Arti yang berbeda-beda itu dalam bahasa metaforis
tubuh sama sekali tidak hanya memperlihatkan adanya struktur analogi
antara arti dasar dan arti-arti lain yang diperoleh dari bahasa
metaforis tubuh, juga tidak hanya memperlihatkan betapa mudahnya arti
dasar dari kata tertentu untuk tubuh dapat dialihkan ke dalam arti lain
melalui bahasa metaforis, tetapi juga mempertegas bahwa justru di dalam
perbedaan-perbedaan arti yang diperoleh dari bahasa metaforis arti
dasarnya tetap menjadi prinsip kesatuannya.
b). Penangkapan figur jasmaniah melalui bahasa.
Dengan bertolak dari analisa
bahasa, kita dapat menangkap satu kesatuan antara tubuh dan roh. Setiap
kata merupakan susunan dari fonem-fonem (bunyi suara: setiap huruf
mewakili satu bunyi suara tertentu) dan monem (kesatuan terkecil yang
punya arti tertentu dan yang turut membentuk fonem-fonem). Bila orang
mengtingkapkan bunyi suara tertentu, maka orang terus menangkap arti
yang terkandung dalam bunyi suara itu; demikian
halnya juga ketika orang mengucapkan satu kata sebagai hasil bentukan bunyi suara itu.
Orang langsung menangkap arti yang terkandung dalam kata itu.
Kesatuan antara tanda yang menunjukkan arti dan arti yang terkandung di
dalamnya begitu erat sehingga menghilangkan tanda berarti menghilangkan
artinya. Keduanya merupakan satu mata uang dengan sisi yang berbeda:
Kesatuan seperti inilah yang dapat kita bayangkan tentang kesatuan tubuh
dan roh. Bila kita menyebut nama seorang yang kita kenal seperti
presiden “Abdurahman Wahid”, maka nama ini menunjuk kepada satu figur
jasmaniah yang sekaligus juga mencerminkan elemen rohaniah yang melekat
pada figur jasmaniah orang itu.halnya juga ketika orang mengucapkan satu kata sebagai hasil bentukan bunyi suara itu.
Pertanyaan lebih lanjut
tentang “tubuh” ialah bahwa apakah “tubuh” merupakan satu-fenomen dan
sejauh mana “tubuh” merupakan satu fenomen? Tubuh memang jelas merupakan
satu fenomen seperti benda-benda lain. Orang bisa memandang tubuh dan
berbicara tentang tubuh sebagai sesuatu yang memiliki ukuran “besar,
tinggi, rendah, pendek dsb.”, dan juga sebagai sesuatu yang tampak
indah, jelek, tampan, cantik dsb. Yang pertama merupakan fenomen ukuran
fisik, dan yang kedua merupakan fenomen estetis. Tetapi bagaimana
“tubuh” itu menjadi satu fenomen? Bila orang berkata dalam ungkapan “dia
adalah orang yang ringan tangan”, maka ungkapan “ringan tangan” sebagai
bagian dari tubuh menunjukkan perbuatan dan sikap dari keseluruhan
manusia yang suka menolong sesama. Fenomen “tubuh” – dalam hal ini
“ringan tangan” – mengungkapkan sikap suka menolong, meskipun dalam
fakta fisis tidak ada gejala itu. Si pengamat mengatakan orang yang
demikian sebagai orang yang “ringan tangan”, ketika dia memperoleh
pengalaman akan sikap atau perbuatan manusia yang “ringan tangan” itu
dan ketika dia bertemu dengan orang bersangkutan yang berada di sana
dengan figur tubuh tertentu. Fenomen “tubuh” akhimya menunjuk kepada
kehadiran keseluruhan pribadi tertentu.
2.4.2. Reduksi tubuh (der Leib) kepada badan (der Korper).
Dalam pemakaian bahasa
sehari-hari tidak ada pembedaan tajam dan tetap antara tubuh dan badan.
Arti keduanya sering dicampur baurkan dalam pemakaian. Misalnya,
tubuhnya mengandung penyakit atau badannya penuh dengan penyakit.
Meskipun
demikian, keduanya menunjuk kepada realitas yang berbeda. Badan
merupakan bagian dari ruang yang dapat diukur dalam Geometri atau dapat
dipelajari dalam dunia fisik. Badan terbentuk dari berbagai macam
sel-sel, molekul-molekul dan zat-zat kimiawi lainnya, dan unsur-unsur
ini membangun satu figur atau raut muka yang tetap atau dapat berubah
sesuai dengan usia. Gejala-gejala badan, strukturnya dan bentuk badan
dapat diteliti, diamati dan ditafsir dalam dunia ilmu pengetahuan
seperti geometri, antropologi ragawi, fisika, biologi, ilmu kimiawi dsb.
Hakikat badan adalah satu hakikat kodrati yang menjadi objek penelitian
ilmu pengetahuan. Tubuh merupakan keseluruhan manusia yang tampak dalam
struktur jasmaniahnya. Tetapi pengertian ini sering hilang karena tubuh
sering diidentikan dengan badan. Pengertian tubuh direduksikan kepada
pengertian badan.
Beberapa pemikir yang
berbicara tentang kejasmanian manusia memberi pemahaman kepada kita
bahwa reduksi tubuh kepada badan dapat dicermati dalam pemikiran
filsafiah mereka. Descartes mengerti tubuh dan badan dalam konteks
materi. Hakikat dari materi adalah merentang atau keluasan (rex extensa)
dan gerakan. Sifat kerentangan dan gerakan dari materi itu dapat
diamati dalam matematika dan geometri. Segala sifat khas itu hanya masuk
dalam dunia indra kita dan mempenganihi dunia indra kita, tetapi tidak
bisa ditangkap ke dalam satu sistem rasional kita. Kita hanya dapat
memandang, mengamati dan menangkapnya dalam hal raut muka, bentuk,
warna, bau, dsb. Tidak heran bahwa Descartes membedakan dua cara
penerimaan atau tanggapan yang berkenaan dengan tubuh manusia: memandang
dengan pikiran (imaginare) dan menanggapi dengan indra (sentire).
Materi dipertentangkan dengan Roh (Geist). Tidak ada satu ruang kosong
untuk materi, tetapi tidak punya sifat khas batiniah di dalam materi,
yaitu sifat khas atau daya yang menjadi prinsip penyatuan dari dalam.
Gerakan materi hanya berjalan secara mekanis seperti angin puting
beliung (Cf. Emerich Coreth, p. 30.). Dalam konteks pemahaman tentang
materi ini, tubuh dan badan termasuk dalam materi yang bergerak secara
mekanis, tetapi katena ada unsur jiwa (kesadaran atau res cogitans),
maka terjalin hubungan antara jiwa-badan yang mempunyai penjelasan
tersendiri menurutnya. Satu kesimpulan yang ditarik dari konsep
Descartes ialah bahwa bagaimanapun juga tubuh
dan badan diidentikan dengan mesin yang berfungsi secara mekanis, dan
kedua-duanya berhubungan dengan jiwa (jiwa-badan) dalam satu hubungan
timbal balik dengan pusatnya pada otak.
Kritik terhadap pemikiran
Descartes terletak dalam pemisahan yang tajam antara “adanya” manusia
dengan realitas materi yang dikenakan pada tubuh dan badan manusia.
Faktor budi pada manusia yang memiliki kemampuan kritis untuk melihat
dirinya dan menyadari dirinya memperlihatkan adanya perbedaan jelas
bahwa gerakan dan rentangan yang terdapat dalam materi sama sekali tidak
sama dengan gerakan dan rentangan pada tubuh manusia. Gerakan dan
proses rentangan pada tubuh manusia selalu berada dalam kombinasi atau
hubungan dengan jiwa. Hubungan itu begitu intim dalam diri manusia,
sehingga tidak mungkin tipe motorik dan mekanis pada materi diidentikan
dengan tipe motorik dan mekanis pada tubuh manusia. Bagaimana hubungan
yang saling mempengaruhi tubuh dan jiwa dapat dijelaskan secara
rasional, Descartes tidak menjelaskannya secara tepat. Meskipun
demikian, sumbangan luar biasa dari paham Descartes untuk perkembangan
ekplorasi terhadap tubuh manusia luar biasa. Penelitian terhadap tubuh
manusia sebagai satu materi membawa kemajuan di bidang obat-obatan yang
digunakan untuk penyembuhan penyakit-penyakit tubuh.
Paham Descartes tentang
jiwa-badan mempengaruhi juga paham filsafiah Spinoza tentang tubuh
manusia. Dalam pandangan Spinoza paham dualistis jiwa-badan pada
Descartes dijelaskan secara lain dan agak lunak. Spinoza berpendapat
bahwa hanya ada satu “Substansi” yang merangkum seluruh realitas (Anton
Bakker, p. 96 bdk. Coreth, p. 43-44 Substansi itu hanyalah Allah saja.
Substansi itu memiliki atribut-atribut yang dari
padanya keluarlah modus-modus (cara-cara berada). Modus-modus itu berparalel satu
sama lain secara mekanis. Tubuh merupakan satu modus rentangan atau perluasan, sedangkan jiwa juga merupakan satu modus berpikir. Tubuh dan jiwa memiliki kegiatan yang tidak punya sangkut paut satu dengan yang lain, tetapi paralel secara otomatis di bawah satu substansi yang mempersatukan keduanya. Pandangan Spinoza berhaluan monistis dalam konsepnya tentang jiwa-badan, tetapi kritik yang ditujukan kepada
Descartes berlaku juga untuk Spinoza. Reduksi realitas tubuh kepada
badan masih nyata dalam konsep jiwa-badannya. Tubuh dan badan adalah
sama dalam arti bahwa keduanya merupakan materi itu sendiri sebagai satu
modus dari substansi yang satu.padanya keluarlah modus-modus (cara-cara berada). Modus-modus itu berparalel satu
sama lain secara mekanis. Tubuh merupakan satu modus rentangan atau perluasan, sedangkan jiwa juga merupakan satu modus berpikir. Tubuh dan jiwa memiliki kegiatan yang tidak punya sangkut paut satu dengan yang lain, tetapi paralel secara otomatis di bawah satu substansi yang mempersatukan keduanya. Pandangan Spinoza berhaluan monistis dalam konsepnya tentang jiwa-badan, tetapi kritik yang ditujukan kepada
2.4.3. Reintegrasi badan ke dalam tubuh.
Reintegrasi badan ke dalam
tubuh terwujud melalui “aku sebagai subjek”. Di dalam aku, keduanya
terbentuk dalam satu kesatuan yang erat. Hal ini digambarkan sebagai
seorang pelaut yang berada dalam kapal lautnya. Si pelaut bersatu erat
dengan kapalnya, tapi memiliki distansi dengan kapalnya. Dia bisa
mengamati-amati kapalnya apakah ada beberapa bagian kapal yang telah
rusak. Atau juga satu kesatuan antara tubuh dan badan di dalam aku
sebagai subjek digambarkan sebagai subjek yang merasa lapar, sakit atau
haus dsb. Perasaan lapar, sakit dan haus ditangkap melalui pernyataan
atau tanggapan tubuh. Kodrat tubuh mengajarkan bahwa si subjek merasa
lapar, haus atau sakit. Dengan demikian, rasa lapar atau sakit itu
menjadi satu sinyal atau tanda agar si subjek mengambil tindakan yang
perlu untuk menjawabinya. Si subjek memperoleh pengenalan bahwa badannya
sakit, meskipun dia sendiri bukan seorang dokter. Reintegrasi itu
dimungkinkan oleh salah satu gejala yang disebut “Mekanisme badan sebagai spiritualisme tekhnomorfis”.
Aku sebagai subjek memiliki kemampuan untuk membebaskan diri dari kekuasaan
kodrat materi yang melekat pada badan
kita. Kekuasaan kodrat materi ini merupakan satu kekuatan gelap yang
menguasai manusia. Kekuatan ini dengan sendirinya berjalan secara
mekanis sesuai dengan hukum kodrat materi itu sendiri. Dengan demikian
badan kita yang adalah kodrat alamiah tidak luput dari proses mekanis
material yang dapat saja berbahaya dan dapat saja berguna. Itulah hukum
mekanisme alam yang merupakan bagian integral dari manusia. Tetapi
berkat kemampuan dan kehendak manusia, teknik dan ilmu pengetahuan yang
secara langsung berhubungan dengan kodrat alamiah badan kita, dapat
dikembangkan untuk membebaskan mekanisme kodrat material alamiah yang
mengancam hidup manusia. Ketika teknik dan ilmu pengetahuan tercipta
untuk pembebasan itu, ketika itu pula teknik dan ilmu itu jatuh ke dalam
proses mekanis-material yang berfungsi menurut hukum kodrat materi
juga. Teknik itu sendiri tidak memiliki hakikat, tetapi hasil dari
proses aku sebagai subjek dalam mengenal dan membebaskan diri dari
genggaman mekanisme materi yang melekat pada badan. Proses mekanisme
materi pada badan ini hanya mungkin didasarkan pada satu elemen rohaniah
yang berdiri di luar kerja materi. Seandainya tidak ada elemen ini,
maka mekanisme itu berjalan buta, dan manusia tidak mungkin menciptakan
teknik dan instrumen yang dapat mengubah proses mekanisme. Dikatakan
bahwa mekanisme itu sendiri adalah spiritualisme yang tekhnomorfis,
karena perubahan-perubahan bentuk dan teknik yang dihasilkan oleh
kesanggupan subjek melahirkan mekanisme material alamiah baru, dan hal
ini pun hanya menjadi mungkin oleh karena kesanggupan subjek itu yang
dikarakterisir dengan kesanggupan rohaniah.
2.4.4. Realitas Kejasmanian (Leiblich-Sein).
Realitas kejasmanian berlaku
hanya untuk pengertian realitas tubuh dan bukan untuk pengertian badan,
karena realitas tubuh berkaitan erat dengan subjek dan subjektivitas.
Realitas tubuh menghadirkan seluruh kepribadian subjek. Hal ini berarti
bahwa realitas tubuh bersifat unik dan individual, sedangkan realitas
badan yang disamakan dengan benda dan mesin dapat saja bersifat
kolektif. Realitas tubuh hanya merupakan realitas “aku sebagai subjek
yang menjasmani”.
Untuk mentematisir secara
filsafiah realitas kejasmanian yang ditujukan kepada realitas tubuh,
perlulah diperhatian dua bidang ini, yaitu di bidang perlukisan terhadap
cara-cara bagaimana realitas tubuh dialami, dan di bidang pemberian
arti ontologis terhadap pengalaman realitas yang demikian.
Dimensi kejasmanian dalam ruang.
Berbicara tentang dimensi
kejasmanian dalam ruang berarti berbicara tentang cara-cara bagaimana
realitas tubuh atau realitas kejasmanian dialami. Realitas kejasmanian
yang berada dalam waktu sudah dibicarakan dalam tema tentang
historisitas. Di sini kita mentematisir realitas kejasmanian yang berada
dalam ruang.
Ruang dialami bukan sebagai
sesuatu yang mutlak dan yang memiliki satu kesatuan. Ruang dialami
sebagai yang banyak. Ruang berhubungan dengan sesuatu yang ada di
dalamnya atau sesuatu yang dapat ada
di dalamnya. Ruang ada untuk sesuatu. Dengan demikian, bila sesuatu itu
adalah aku sebagai subjek, maka ruang itu ada untuk aku sebagai subjek.
Perlukisan tentang ruang untuk subjek lalu tidak sama dengan perlukisan
ilmiah tentang ruang seperti dalam Geometri dan Physik, karena
perlukisan ruang dalam Geometri dan Physik tidak mengenal ruang atas,
ruang bawah, kiri, kanan, luas, sempit, dekat atau jauh. Ruang dalam
Geometri dan Physik tidak dibedakan dari ruang yang satu dan ruang yang
lain. Ruang semacam ini berada di luar pembedaan ruang, di dalam dan di
luar. Pemahaman ruang seperti,ini tidak sama dengan pemahaman ruang satu
subjek.
Pemahaman ruang satu subjek
berarti pemahaman tentang cara bagaimana si subjek berada dan hidup
dalam ruang. Bagi si subjek – tentu bagi kita semua sebagai subjek –
setiap titik pusat yang dapat membangun satu hubungan bertolak dari
titik pijak yang dilambangkan dengan titik nol, tempat dia berdiri dan
berada. Titik pijak ini memungkinkan adanya satu sistem koordinasi semua
dimensi, karena titik pijak itu sendiri mengarah ke banyak dimensi.
Dimensi-dimensi yang keluar dari titik pijak tempat berdirinya si subjek
bisa saja mengarah ke atas, ke bawah, ke kanan, ke kiri, ke dalam dan
ke luar. Arah-arah yang berbeda-beda, bahkan arah-arah yang saling
bertentangan seperti kiri dan kanan, atas dan bawah, justru mempunyai
arti mendasar untuk pembentukan ruang, karena dengan adanya arah-arah
itu si subjek mulai membuka satu ruang gerak yang bebas dan juga
mengukur ruang gerak itu, baik ruang gerak yang menyentuh luasnya maupun
isinya. Realitas kejasmanian si subjek memang mengorganisir arah gerak
yang berbeda-beda itu dan serempak pula memberi arah atau orientasi
keberadaan jasmaniahnya.
Bila kita berpikir tentana
ruang, maka kita pertama-tama terfiksir pada kesadaran kita akan ruang
yang kita alami, ruang yang kita rasakan atau juga ruang yang kita ukur.
Kita dapat mengalami ruang sebagai yang sangat luas atau juga yang
sangat sempit. Kita dapat mengalami ruang sebagai yang berbentuk segi
empat atau ruang yang bersudut-sudut. Bukan hanya ruang yang kita alami
secara konkret, tetapi juga ruang yang dapat kita bayangkan dalam
imaginasi kita, misalnya satu ruang yang kita bayangkan sebagai ruang
gerak ideal bila kita berdoa atau bekerja atau juga hidup. Pendeknya,
terdapat banyak ruang
yang di dalamnya kita hidup. Banyak ruang yang kita alami
mengandaikan batas-batas pengalaman akan ruang saya dan ruang hidupmu.
Batas-batas ini baik bersifat fisis seperti bilik saya dan bilikmu, atau
ruang ibadat kristen dan ruang ibadat muslim, maupun juga bersifat
simbolik seperti ruang hidup pribadi saya yang tidak dimasuki oleh
siapapun dan ruang hidup pribadimu yang tidak bisa saya masuki, atau
ruang hidup keluarga yang satu dengan yang lain dsb. Batas-batas ruang
ini baik yang bersifat fisis maupun simbolis menunjukkan bahwa di dalam
batas-batas itu ruang tersebut hanyalah milik dari subjek yang
mengalaminya.
Pengalaman ruang seperti di
atas baik secara fisis maupun dalam imaginasi tidak lagi terbatas pada
kehadiran fisis dalam arti kehadiran badan saya di satu tempat.
Pengalaman ruang si subjek mencakup juga kehadiran seluruh dimensi
kejasmanian subjek. Meskipun badan saya berada di tempat ini, tetapi
pengalaman saya akan ruang jauh lebih luas dari ruang tempat badan saya
berada. Hal ini kentara misalnya, ketika saya merencanakan untuk membuat
satu perjalanan ke tempat lain. Ketika saya membuat rencana itu,
pengalaman saya akan ruang sudah melibatkan juga ruang tempat tujuan
perjalanan saya. Dimensi kejasmanian saya sudah lebih luas dari ruang
tempat badan saya berada.
Ruang dikaitkan dengan
pengalaman subjek di dalam tubuhnya. Subjek berada dalam tubuhnya.
Melalui tubuhnya si subjek mengalami bahwa dia bergerak dari satu titik
pusat tertentu menuju arah-arah tertentu. Tetapi titik pusat itu tidak
berada secara otomatis. Dia tercipta melalui proses belajar dan latihan
agar si subjek mempunyai satu sistem ruang gerak yang dapat menampilkan
dirinya secara transparan. Melalui tubuh jasmaniah, di dalam tubuh
jasmaniah dan dengan tubuh itu si subjek dapat menyembunyikan diri,
tetapi juga dapat mengungkapkan diri secara jelas. Juga si subjek yang
sakit payah dan si subjek yang sehat walafiat dapat memperlihatkan
pengalamannya di dalam tubuh kejasmaniannya secara transparan. Subjek
yang sakit berada di dalam tubuh yang tampak kurus, pucat dsb.,
sedangkan subjek yang sehat walafiat berada di dalam tubuh yang tampak
segar, bugar, kuat dsb. Pengalaman subjek di dalam tubuhnya termasuk
pengalaman subjek sebagai
pengalaman akan ruang. Tubuh subjek merupakan satu tempat atau ruang
yang harus selalu sudah diterimanya untuk dapat menerima ruang-ruang
lain. Karena si subjek pada akhirnya berada di dalam tubuhnya sedemikian
sehingga dia sendiri adalah tubuhnya sendiri, maka dia dapat berada di
dalam banyak ruangan.
Pemberian arti ontologis terhadap realitas kejasmanian.
Salah satu cabang ilmu
pengetahuan yang menyibukkan diri dengan tubuh manusia adalah ilmu
pengetahuan obat-obatan atau farmasi. Perkembangan pengetahuan di bidang
ini begitu pesat sehingga penyakit-penyakit yang dulunya dipandang
sebagai penyakit turunan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan kini
dengan bantuan obat-obatan dapat dengan mudah disembuhkan. Tetapi
betapapun canggihnya perkembangan pengetahuan obat-obatan, pengetahuan
semacam ini hanya berhenti pada usaha untuk mengobati tubuh yang sakit.
Objek dari ilmu pengetahuan obat-obatan adalah satu organisme yang sakit
atau tubuh jasmaniah yang sakit; itu berarti bahwa tubuh jasmaniah yang
demikian dapat diteliti, diraba, dipegang, dioperasi, disuntik,
ditambal dsb.; pendeknya, satu tubuh jasmaniah yang diperlakukan sebagai
satu benda, satu mesin atau juga satu kumpulan unsur kimiawi.
Teori-teori tentang pengobatan dan tentang struktur fisis tubuh
jasmaniah tidak mengungkapkan korelasi antara tubuh jasmaniah itu dengan
keseluruhan subjek yang menyandang tubuh jasmaniahnya. Teori-teori itu
hanya merupakan teori fisio-biologis yang belum menyentuh dimensi
realitas kejasmanian sebagai satu realitas “ada” secara jasmaniah dari
realitas manusia.
Pemahaman di atas berakar
pada filsafat Descartes yang masih menonjolkan dualisme antara “res
extensa” yang dikenakan pada tubuh jasmaniah dan “res cogitans” yang
ditujukan kepada kesadaran. Ilmu pengetahuan alam, terutama ilmu
obat-obatan dan biologi, belum berhasil mengkonstruksikan hubungan
antara keduanya itu. Masih tinggal satu problem filosofis yang harus
direfleksikan. Problem filosofisnya terletak dalam usaha untuk
mentematisir satu bidang yang merupakan campuran antara res extensa dan
res cogitansnya; problem itu tidak lain dari pada menyentuh apa yang
menjadi hakikat terdalam yang dapat mempersatukan kedua unsur itu. Di
sinilah letak pentingnya ontologi yang
berasaha untuk merefleksikan satu inti sari yang menjadi basis untuk
rex extensa dan res cogitans. Inti sari itu ditemukan dalam fenomen “aku
sebagai subjek yang mengkonstitusikan diri”.
Aku sebagai subjek mengkonstitusikan
dirinya melalui satu realitas kejasmanian dalam dua aspek, yaitu aku
sebagai “yang mempunyai tubuh” (das Leib-Haben) dan aku sebagai “yang
adalah tubuh (das Leib-Sein). Aku sebagai yang mempunyai tubuh berakar
di dalam aku sebagai yang adalah tubuh. Yang pertama – sebagai yang
mempunyai tubuh – berhubungan dengan tubuh dalam fungsi
fisio-biologisnya, sedangkan yang kedua – aku yang adalah tubuh –
berhubungan dengan seluruh realitas subjek yang adalah realitas tubuh
jasmaniah. Justru di dalam satu kesatuan antara “aku sebagai yang
mempunyai tubuh” dan “aku sebagai yang adalah tubuh” terletak realitas
kejasmanian subjek. Penetapan arti ontologis terhadap realitas
kejasmanian dibuat dan direfleksikan dalam usaha untuk mensistematisir
satu kesatuan antara aku sebagai subjek yang mempunyai tubuh dan yang
adalah tubuh.
3. ELEMEN ROHANIAH DARI PERWUJUDAN KEBERADAAN MANUSIA.
Kerohanian manusia
merupakan satu kemampuan konstitutif dalam relasi manusia baik dalam
relasi manusia dengan dirinya maupun dalam relasi manusia dengan dunia
di luarnya. Kemampuan konstitutif dalam relasi ini ditandai dengan apa
yang disebut “kesadaran dan kebebasan”; kedua unsur inilah yang mau
dibahas dalam seluruh bab ini.
3.1. Kesadaran rohaniah.
3.1.1. Fenomen Kesadaran.
Langkah untuk menafsirkan
fenomen kesadaran diawali dengan pengalaman akan fenomen kesadaran itu
sendiri. Pengalaman menunjukkan bahwa kesadaran merupakan satu fakta
atau kenyataan, yaitu bahwa kesadaran itu sendiri memang ada. Kita
memang tidak langsung mentematisir fenomen ini; kita hanya memahaminya
dengan cara menanalisa pengalaman “ketidaksadaran”, menganalisa struktur
tanggapan kesadaran dan menganalisa penolakan terhadap kesalahan
penafsiran.
Pengalaman “ketidaksadaran” dan keajaiban kesadaran.
Manusia mengalami bahwa dia
tidak sadar, ketika dia sedang tidur, atau ketika dia sedang dibius
untuk menjalani satu operasi tubuh atau juga ketika dia jatuh pingsan
dengan tidak sadarkan diri. Dalam keadaan yang demikian, dia tidak tahu
apa-apa tentang segala sesuatu yang melingkupinya. Dari keadaan dan
tingkah laku yang tidak sadar, orang lain mengalami bahwa dia memang
tidak sadar. Dengan pengalaman seperti ini, kita belum bisa menjelaskan
hakikat dari kesadaran, tetapi kita dapat menunjukkan fenomen kesadaran
dengan menyaksikan terjadinya peralihan dari keadaan tidak sadar kepada
keadaan sadar. Peralihan itu dapat kita alami langsung ketika kita
terjaga dari tidur nyenyak atau ketika kita mengalami bahwa orang yang
jatuh pingsan tiba-tiba menjadi sadar lagi. Kita mengalami sesuatu
secara sadar. Dengan pengalaman ini, kita dapat merumuskan apa itu
kesadaran.
Kesadaran pada dasarnya merupakan
satu cara hidup manusia. Dia mirip dengan kekuasaan dan tampil secara
tidak menonjol. Sebagaimana udara penting untuk pernapasan kita, begitu
juga kesadaran penting untuk hidup kita. Kesadaran tidak dapat ditangkap
dengan indra, dan munculnya di hadapan kita seakan-akan muncul dari
ketiadaan.
Di sanalah justru letak
keajaiban kesadaran. Kesadaran merupakan sesuatu yang sangat
mengagumkan. Mengapa dikatakan demikian? Apa yang dapat kita tangkap dan
amati adalah isi-isi kesadaran dan bukannya kesadaran sendiri. Isi-isi
kesadaran itu berbeda satu dengan yang lain dan terdiri dari berbagai
macam hal. Misalnya, saya sadar akan kehadiran seseorang yang berada
berhadapan dengan saya. Kehadiran seseorang di hadapan saya merupakan
isi dari kesadaran saya. Begitu juga, saya sadar bahwa saya sedang
membaca buku. Isi kesadaran saya adalah kegiatan saya dalam membaca
buku. Isi kesadaran tidak lain dari pada sasaran atau objek-objek
kesadaran. Isi-isi kesadaran ini selain berasal dari saya dan disatukan
oleh aku sebagai subjek, juga dapat ditemui dalam subjek-subjek yang
lain. Dengan demikian ada isi-isi kesadaran yan, saya miliki dan isi-isi
kesadaran yang dimiliki oleh subjek yang lain. Di sinilah komunikasi
dan hubungan antara isi-isi kesadaran subjek yang satu dengan subjek
yang lain terbentuk, dan pada akhirnva isi-isi kesadaran itu menjadi
satu kesadaran kolektif yang dapat diamati sebagai satu fenomen
kesadaran. Justru di sinilah letak keajaibannya bahwa isi-isi kesadaran
itu dapt ditematisir, tetapi si subjek tidak dapat menangkap secara
jelas kesadaran itu sendiri.
Bila isi-isi kesadaran itu
dapat ditangkap, pertanyaan kita ialah bahwa apa itu realitas
sesungguhnya. Apakah realitas itu adalah keseluruhan segala sesuatu
sebagaima adanya dan berhubungan satu sama lain tanpa keterkaitannya
dengan kesadaran si subjek, atau segala sesuatu yang berhubungan dengan
kesadaran si subjek? Dengan kata lain, apakah realitas itu adalah objek
di dalam dirinya (realitas an sich) atau objek yang masuk dalam
kesadaran subjek? Pertanyaan ini menjadi tugas ontologi untuk
mensistematisirnya, tetapi dalam hubungan dengan filsafat antropologi
pertanyaan-pertanyaan itu merupakan alat bantuan manusia untuk
menggeluti persoalan kesadaran, atau lebih luas dikatakan,
pertanyaan-pertanyaan itu berkaitan dengan persoalan dunia si subjek
yang sadar. Kita
tidak bisa menangkap seluruh realitas an sich di luar diri si subjek; realitas itu hanya masuk
perlahan-lahan atau si subjek menjadi
sadar perlahan-lahan akan realitas di luar. Dalam proses “menjadi sadar
perlahan-lahan” realitas yang sesungguhnya menurut filsafat manusia
adalah realitas yang ada untuk si subjek. Realitas ini tidak pernah
berada di luar subjek, dan dengan demikian menjadi sadar terhadapnya
adalah satu proses kesadaran untuk mengalami realitas itu, menanggapinya
dan mengamatinya. Proses menjadi sadar ini hanya bisa berfitngsi
sebagai penggambaran terhadap satu kesadaran yang bersifat formal. Di
sinilah letak keagungan dan keajaiban kesadaran bahwa proses menjadi
sadar diberi bentuk oleh adanya realitas kesadaran. Dengan kata lain,
“menjadi sadar dan sadar akan” (bewußt-werden dan bewußt-sein atau to
become conscious dan to be cunscious) bersatu erat, dan kedua elemen itu
memperlihatkan satu cara berada dari realitas kesadaran itu sendiri.
Struktur tanggapan kesadaran.
Kita bertolak dari satu objek
yang ditanggapi oleh kesadaran si subjek. Tanggapan kesadaran itu
bersifat visual, yaitu ketika si subjek melihat sesuatu benda, ia
memberi tanggapan visual terhadap benda itu secara sadar. Si subjek
melihat sebuah objek, misalnya sekuntum bunga mawar yang sedang mekar.
Ketika si subjek melihat dan menyaksikan hal itu, si subjek menjadi
sadar akan objek yang berhadapan dengan subjek. Itulah bentuk pertama
kesadaran. Dengan cara ini, si subjek berada dekat dengan objek dan
menjadi sadar akan adanya objek. Di dalam proses “menjadi sadar” akan
objek, kesadaran si subjek muncul. Bila tidak ada objek yang berhadapan
dengan subjek, maka tentu tidak ada tanggapan kesadaran. Begitu juga
sebaliknya, bila tidak ada intensionalitas (kesadaran yang bersifat
intensional) kesadaran, maka tidak terjadi juga proses menjadi sadar
akan objek yang berhadapan dengan subjek. Objek yang ditanggapi dan
kesadaran yang bersifat intensional merupakan dua elemen yang
konstitutif dalam proses “menjadi sadar”. Dari proses ini dapatlah
tercipta hubungan yang berkembang menjadi satu refleksi kesadaran diri
si subjek.
Tetapi kesadaran diri subjek tidak hanya berhenti pada refleksi subjek tentang
objek yang berhadapan langsung dengan dirinya. Refleksi kesadaran diri subjek dapat menyentuh ingatan atau kenangan si subjek akan objek yang sudah dilihatnya dulu. Misalnya, si subjek telah melihat kapal tertentu itu di pelabuhan. Si subjek sekarang ingat bahwa dia melihat kapal tertentu itu di pelahuhan itu. Isi kesadaran di satu pihak adalah kapal itu dulu dan di lain pihak adalah perbuatan melihat kapal itu dulu. Kapal dan perbuatan melihat kapal itu dulu merupakan satu hubungan yang dibangun di atas dasar refleksi kesadaran atas objek kapal yang ditanggapi, tetapi refleksi kesadaran ini adalah refleksi kesadaran atas satu realitas objek yang sudah menjadi pusat perhatian utama di dalam diri subjek sendiri.
objek yang berhadapan langsung dengan dirinya. Refleksi kesadaran diri subjek dapat menyentuh ingatan atau kenangan si subjek akan objek yang sudah dilihatnya dulu. Misalnya, si subjek telah melihat kapal tertentu itu di pelabuhan. Si subjek sekarang ingat bahwa dia melihat kapal tertentu itu di pelahuhan itu. Isi kesadaran di satu pihak adalah kapal itu dulu dan di lain pihak adalah perbuatan melihat kapal itu dulu. Kapal dan perbuatan melihat kapal itu dulu merupakan satu hubungan yang dibangun di atas dasar refleksi kesadaran atas objek kapal yang ditanggapi, tetapi refleksi kesadaran ini adalah refleksi kesadaran atas satu realitas objek yang sudah menjadi pusat perhatian utama di dalam diri subjek sendiri.
Proses refleksi kesadaran
atas realitas objek yang sudah mendapat perhatian utama di dalam diri
subjek hanya menjadi mungkin, karena ada sesuatu unsur hakiki awali yang
termasuk dalam kesadaran itu sendiri.
Unsur awali itu adalah satu gejala “ada dekat dengan dirinya sendiri”
(das Bei-sich-sein). Apa yang dimaksukan dengan “ada dekat dengan
dirinya sendiri”? Dalam tata urutan waktu, kesatuan dengan sesuatu objek
yang sudah ditanggapi selalu terjadi lebih dahulu dari pada perbuatan
tanggapan atau perbuatan melihat. Bila kita rujuk kepada contoh di atas,
maka kesatuan subjek dengan kapal yang ditanggapi secara visual terjadi
atau terbentuk lebih dahulu dari pada perbuatan melihat kapal itu.
Tetapi dalam tata urutan realitas subjek sebagai realitas “ada”,
perbuatan tanggapan didasarkan pada “ada dekat dengan dirinya” dari
subjek yang menanggapi objek, karena si subjek sendiri memasukkan diri
baik ke dalam objek yang dapat ditanggapi maupun dalam refleksi dirinya
sendiri.
Gejala “berada dekat dengan
dirinya sendiri” merupakan akar kesadaran. Realitas gejala ini dari
dirinya sendiri bukan sesuatu yang sadar, bukan juga termasuk dalam
ciri-ciri khas phisis dan psikis tertentu yang dimiliki si subjek.
Kesadaran diri terisi oleh realitas gejala ini, dan bersama dengannya
kesadaran diri merupakan bentuk tertentu dari kesadaran yang dalam
keseluruhannya hanya dapat dimungkinkan oleh realitas “berada dekat
dengan dirinya”. Dengan kata lain, realitas “berada dekat dengan
dirinya” memungkinkan semua
kesadaran yang konkret. Dia sendiri bukanlah objek dari proses
“menjadi sadar”, melainkan objek dari satu pengenalan atau pengetahuan
abstrak-spekulatif yang bergerak majusecara halus dari sesuatu yang didasari kepada sesuatu yang mendasari (Bdk. Teori pengetahuan menurut Platon, cf. Coreth, pp. 73 dst.)
Penolakan terhadap interpretasi yang keliru.
Di dalam proses tanggapan
terdapat kesatuan antara objek yang ditanggapi dan subjek yang
menanggapi, atau kesatuan antara objek dan subjek. Dengan menyebutkan
kata “tanggapan” tersirat korelasi pengertian antara subjek yang
menanggapi dan objek yang ditanggapi. Korelasi ini terjadi dalam satu
peristiwa ketika subjek berhadapan dengan objek dan membangun sahi
kesatuan identitas yang mengagumkan, yaitu identitas subjek sebagaimana
adanya dan identitas objek sebagaimana adanya. Persoalannya ialah bahwa
sejauh mana identitas keduanya dapat dikenal sebagaimana-mestinya dalam
relasi subjek-
objek itu? Subjek yang menanggapi selalu
melibatkan objek yang menjadi sasaran keterarahan kesadaran subjek, dan
objek yang ditanggapi selalu melibatkan kegiatan tanggapan si subjek.
Untuk mengerti sesungguhnya dan menafsir identitas subjek dan identitas
objek, kita perlu menanggalkan hubungan antara subjek dan objek, karena
baik subjek maupun objek mempunyai cara tertentu dalam membangun relasi
satu sama lain. Tetapi kita terjebak dalam apa yang disebut sebagai
kekeliruan pemberian arti atau kekeliruan interpretasi yang
objektivistis dan subjektivistis. Dalam terminologi umum kita tersandung
dalam apa yang disebut objektivisme dan subjektivisme.
Objektivisme merupakan satu
proses pemahaman dan penafsiran bahwa objek yang ditanggapi subjek itu
adalah objek dalam realitasnya yang sesungguhnya. Hal ini sangat kentara
dalam teori-teori ilnu pengetahuan, terutama dalam physika, kimiawi dan
physiologi. Teori-teori ilmu pengetahuan tentang tanggapan si subjek
terhadap objek, terutama biologi, fisika, kimiawi dsb. seperti
penjelasan optik seluibungan dengan fungsi mata. Penjelasan biologis
tentang struktur tubuh dan fungsi-fungsi organ tubuh, hanya menjelaskan
fungsi dan proses kerja organ-organ tubuh, tetapi tidak menjelaskan
realitas objektif yang termuat dalam tanggapan si subjek itu sendiri.
Kita mengambil contoh
tentang seorang yang melihat “sebatang pohon pisang”. Ketika pengalaman indrawisubjek, misalnya matanya, berhadapan dengan realitas “pisang”, lensa mata yang mengandung gelombang sinar terarah kepada realitas pohon “pisang” dan lensa ini membangun jaringan dengan sistem saraf sentral di otak, kemudian realitas pisang itu terproyeksi ke dalam keseluruhan tanggapan indrawi si subjek yang pada gilirannya membentuk kesan-kesan dan gambaran tentang realitas “pisang”. Hasil kerja tanggapan optik dan hasil berfungsinya seluruh sistem saraf dan kerja organ tubuh ketika berhadapan dengan realitas pisang pada akhirnya membentuk gambaran tentang “pisang”. Dengan demikian pengetahuan objektif tentang pisang adalah realitas pisang yang sudah masuk dalam proses tanggapan subjek dan bukannya realitas pisang itu sendiri.
Pengaruh terhadap pemberian
arti yang keliru terhadap objek, atau objektivisme dalam terminologi di
atas, dapat kita simak dari filsafat empirisme David Hume (1711-1776).
Hume berpendapat bahwa isi kesadaran itu bersumber pada apa yang
disebutnya “kesan-kesan dan ide-ide” (cf. Harry Hamersma: Tokoh-tokoh
Filsafat Barat Modern dan
Emerich Coreth, p.70 dst.). Kesan-kesan
adalah hasil rekaman pengalaman indrawi yang langsung ketika subjek
menanggapi sebuah objek yang dilihat, dipegang atau diraba atau dirasa
secara langsung. Ide-ide bukanlah hasil dari satu pengertian yang diolah
oleh akal budi, tetapi gambaran lebih lanjut yang berasal dari
pengenalan indrawi. Gambaran ini sebetulnya diciptakan kembali oleh
karena ingatan (kumpulan kesan) si subjek dan kemampuan kesadaran untuk
menciptakan gambaran. Kesadaran sendiri adalah deretan kontinu dari
kesan-kesan. Kemampuan untuk menciptakan gambaran terealisir dalam
pembentukan kombinasi dan asosiasi. Kombinasi merupakan gambaran tentang
satu objek, gambaran yang tersusun dari kumpulan ide-ide, sedangkan
asosiasi merupakan gambaran-gambaran yang dimunculkan oleh karena adanya
gambaran-gambaran lain. Pertanyaan kita ialah bahwa apakah objek dalam
arti realnya dapat dirumuskan seobjektif mungkin?
Lawan dari objektivisme
adalah subjektivisme. Subjektivisme merupakan satu proses pemahaman dan
penafsiran bahwa realitas objek yang ditanggapi bukanlah objek dalam
arti sesungguhnya, tapi semata-mata gambaran subjek tentang objek.
Gambaran
tentang objek ini hanyalah peristiwa psikis di dalam diri subjek,
peristiwa psikis yang membangun satu realitas objek yang mirip dengan
realitas objek sebagaimana adanya. Dengan demikian objek yang benar sama
sekali berbeda dengan objek yang ditanggapi subjek. Ada dua argumentasi
subjektif yang membenarkan atau mempertegas pendirian itn. Pertama,
objek yang ditanggapi subjek sesungguhnya terjebak di dalam penipuan
indrawi (kamuflase pengalaman indrawi), dan dari itu disimpulkan bahwa
sudah ada pembauran antara gambaran yang dihasilkan oleh pengalaman
indrawi tentang objek itu dan objek yang digambarkan dalam refleksi
budi. Hal inilah yang membuat kita ragu-ragu untuk memperlihatkan apa
objek itu dalam realitas sesungguhnya. Idealnya bahwa kita coba
menghilangkan balutan-balutan atau penipuan indrawi untuk mencapai
realitas objek sesungguhnya. Tapi apakah hal ini mungkin? Kedua, ketika
objek itu ditanggapi oleh subjek, ketika itu pula objek itu bergantung
kepada cara-cara bagaimana organ-organ indrawi kita menanggapinya.
Organ-organ indrawi kita sudah secara physis-biologis teroganisir dan
terkonsolidir untuk memberi respons terhadap objek yang ditanggapi itu.
Dengan cara ini, kita perlu membedakan cara-cara penampilan realitas
objektif dalam organ-organ indrawi kita dari cara-cara realitas objektif
yang dijamin dalam organ-organ indrawi kita. Dengan kata lain, ada beda
antara cara organ-organ indrawi dalam menangkap
realitas objektif dan cara-cara realitas
objektif untuk terserap dalam organ-organ indrawi. Dua argumen ini
memang tajam, tetapi bisa menghantar orang untuk bersikap skeptis bahwa
apa ada realitas objek sesungguhnya atau apa ada realitas objek in sich.
Untuk menjembatani
objektivisme dan subjektivisme, kita merujuk kepada satu fenomen
kesadaran yang mampu membuat refleksi tentang hubungan antara objek yang
ditanggapi dengan subjek yang menanggapi. Objek yang ditanggapi dan
subjek yang ditanggapi harus dipahami sebagai yang identik. Kesatuan
identitas antara kedua dalam refleksi kesadaran bisa membawa kesimpulan
bahwa objek yang ditanggapi dan subjek yang menanggapi adalah identik.
Hal ini dijelaskan demikian, bahwa kesadaran sendiri besifat immanen dan
transenden. Kesadaran bersifat imanen, ketika kesadaran itu yang
dilengkapi dengan organ-organ indrawi melekat dan terikat pada objek
yang berhadapan
dengannya. Ketika itu, kesadaran memberi tempat atau membiarkan diri
diisi oleh objek yang ditanggapi. Ia menjadi satu dengan objek yang
ditanggapi. Tetapi ketika dia immanen di dalam objek, ketika itu pula
kesadaran membebaskan diri dari keterikatannya dengan objek yang
ditanggapi. Inilah sifat transendennya, yaitu bahwa kesadaran mampu
untuk keluar dari kurungan objek yang ditanggapi; ia mentransendir objek
yang ditanggapi itu.
3.1.2. Dimensi-dimensi kesadaran.
Beberapa fenomen kesadaran
yang disebut sebelumnya perlu dilengkapi lagi dengan menyebutkan
beberapa dimensi kesadaran. Dimensi-dimensi ini adalah spontanitas dan
rezeptivitas dalam kesadaran; kesadaran teoretis dan kesadaran praktis;
jenjang-jenjang kesadaran; kesadaran diri dan kesadaran terhadap yang
lain. Kita coba menjelaskan dimensi-dimensi itu pada bagian berikutnya.
Spontanitas dan rezeptivitas dalam kesadaran.
Proses tanggapan terhadap
objek dan pengetahuan tentang objek itu berjalan bersamaan. Pengetahuan
tentang objek itu tidak mungkin ada bila tidak ada tanggapan, begitu
juga tanggapan hanya bisa dipahami melalui pemahaman dan pengenalan
terhadap objek. Proses tanggapan dan pengenalan dilukiskan sebagai satu
proses kesadaran untuk menerobos masuk ke dalam realitas objek yang
sesungguhnya. Realitas objek sebagaimana adanya tampil atau masuk ke
dalam daya tanggap dan pengenalan si subjek. Di dalam proses ini
terjadilah apa yang disebut “rezeptivitas” (passivitas) dan
“spontanitas” (aktivitas).
Rezeptivitas adalah proses
penerimaan kesadaran terhadap realitas objek yang berhadapan dengan
subjek. Proses ini lebih menonjolkan keadaan pasif dari kesadaran,
karena sebelum subjek mengenal objek, objek itu sudah mengimbas
kesadaran melalui
satu bentuk tertentu. Rezeptivitas menunjuk kepada kesadaran yang terkena imbas secara tidak terelakkan (pasif) oleh objek. Ketika kesadaran terkena imbas oleh objek, pada
waktu yang sama secara spontan kesadaran menjadi aktif untuk membuat penentuan, menetapkan pembedaan dan memberi arti terhadap objek yang ditanggapi. Dalam proses
selanjutnya objek akhirnya menjadi pusat perhatian kesadaran, dan
untuk selanjutnya objek itu diolah dan direfleksikan oleh kesadaran.
Kegiatan kesadaran inilah yang disebut “spontanitas”. Pengertian tentang
kebenaran dan kepalsuan atau tentang keadekuatan dan ketidakadekuatan
terletak di dalam usaha kedua kemampuan itu, yaitu rezeptivitas dan
spontanitas, untuk mereproduksikan dan merekonstruksikan realitas objek
di dalanl kesadaran sesuai atau tidak sesuai dengan realitas objek
sebagairnana adanya.satu bentuk tertentu. Rezeptivitas menunjuk kepada kesadaran yang terkena imbas secara tidak terelakkan (pasif) oleh objek. Ketika kesadaran terkena imbas oleh objek, pada
waktu yang sama secara spontan kesadaran menjadi aktif untuk membuat penentuan, menetapkan pembedaan dan memberi arti terhadap objek yang ditanggapi. Dalam proses
Untuk menjelaskan
rezeptivitas dan spontanitas dalam kesadaran, kita boleh merujuk kepada
filsafat pengetahuan Immanuel Kant dalam karya Kant “Kritik Budi Murni”
(Kritik der reinen Vernunft, singkatannya “KrV”). Kant dalam uraian
filsafiah tentang ajaran-ajaran pokok transendental yang dituangkan
dalam tema “estetika transendental dan logik transendental” berpendapat
bahwa pengenalan manusia terhadah sesuatu memiliki tiga kemampuan utama:
pertama, kemampuan rezeptivitas atau keindrawian; kedua, kemampuan
spontanitas atau daya nalar; ketiga, kemampuan akal budi murni.
Rezeptivitas adalah kemampuan subjek untuk menerima gambaran dengan cara
bagaimana si subjek terimbas oleh objek-objek. Objek-objek yang
mengimbasi subjek terjadi melalui pandangan atau penglihatan subjek, dan
ketika subjek memandang objek, pada saat yang sama secara serempak
kemampuan kedua, yaitu daya nalar, menciptakan “pengertian”. Ada satu
kesatuan fungsional yang harus ada antara daya rezeptivitas dan daya
nalar. Kemampuan rezeptivitas didasarkan pada satu persyaratan a priori
yang muncul dalam bentuk murni, yaitu ruang dan waktu, sedangkan
kemampuan spontanitas didasarkan pada budi murni yang menghantar manusia
dalam refleksi lebih lanjut untuk membuat kesimpulan-kesimpulan.
Kemampuan ketiga sebetulnya kemampuan budi untuk membuat kesimpulan.
Memang ada ulasan panjang lebar dari Kant tentang hubungan antar,
rezeptivitas, spontanitas dan daya akal budi untuk membuat kesimpulan,
tetapi untuk pokok kita di sini, dimensi kesadaran subjek itu memuat
daya rezeptivitas melalui pengalaman indrawi, daya spontanitas dan daya
penyimpulan melalui pengenalan budi. Heideggcr kemudian menjabarkan
pengertian subjek menurut Kant ke dalam tiga karakter: aku
mengalami (merasa); aku berpikir; aku bermoral (Cf. Heidegger, Martin: Die Grundprobleme der Phänomenologie, p.172-219.)
Kemampuan rezeptivitas dan
spontanitas dapat dipahami dalam proses kegiatan “tanya-jawab”. Bila
kita bertanya tentang sesuatu hal, maka pertanyaan kita sendiri sudah
mengandaikan adanya bahan atau objek atau sesuatu hal yang ingin
diketahui. Pertanyaan sendiri mendapat arah tertentu, dan ke arah itu,
sebuah jawaban diharapkan. Jawaban-jawaban terhadap pertanyaan itu
berupa kemungkinan-kemungkinan atau hipotese-hipotese. Ada
hipotese-hipotese yang kebenarannya teruji dalam jawaban-jawaban pasti,
tetapi ada hipotese-hipotese yang tetap tinggal sebagai kemungkinan yang
tidak terealisir. Yang pertama lebih menyangkut hipotese yang dapat
ditarik dari pengalaman-pengalaman konkret, sedangkan yang kedua lebih
menyangkut hipotese yang melekat pada objek sendiri yang sebagiannya tak
dapat terjangkau oleh subjek; dengan kata lain, dalam hipotese jenis
kedua tinggal curna pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab oleh si
subjek. Pertanyaan lebih menunjukkan kemampuan rezeptivitas subjek,
karena objek terimbas pada subjek dan memukau subjek untuk ingin tahu
tentang objek, sedangkan jawaban lebih menunjukkan kemampuan spontanitas
subjek, karena objek yang terimbas pada subjek mau dipahami dan
dijelaskan. Proses tanya jawab ini secara ontologis tetap berjalan
sejauh subjek ada dan bergiat.
Kesadaran Teoretis dan Kesadaran Praktis.
Kesadaran teoretis dan
kesadaran praktis termasuk juga dalam dimensi-dimensi yang berasal dari
kesadaran sendiri. Kesadaran teoretis lebih berhubungan dengan
pengetahuan dan pengenalan, sedangkan kesadaran praktis lebih berkaitan
dengan baik-buruknya sesuatu untuk subjek. Kesadaran teoretis berasal
dari kegiatan subjek untuk memperoleh pengetahuan dan pengenalan akan
sesuatu. Dasar dari pengetahuan dan pengenalan ini menurut Aristoteles
adalah tanggapan indrawi, terutama pengalaman yang dihasilkan oleh
kegiatan “melihat dan mendengar”. Pengetahuan dan pengenalan termuat di
dalam tanggapan indrawi, terutama ketika si subjek memandang atau
mendengar sesuatu. Kesadaran teoretis yang berpusat pada kegiatan subjek
untuk tahu tentang sesuatu tidak
selamanya berorientasi pada kegunaan dan tujuan dari pengetahuan itu.
Kegiatan untuk mengetahui dan mengenal objek berjalan otonom, dalam
arti bahwa proses pencaharian pengetahuan dan pencapaian pengetahuan
yang benar tidak bergantung pada apakah pengetahuan itu punya manfaat
atau tidak. Proses ini lebih tertuju kepada usaha untuk mengenal dan
mengatahui “mengapa” (alasan, dasar, sebab) sesuatu terjadi dan dialami.
Kesadaran teoretis merupakan kegiatan kesadaran untuk mengetahui dan
mengenal hakikat sesuatu, dengan kata lain untuk mengetahui dan mengenal
“apa itu sesuatu di dalam dirinya”.
Di samping kesadaran teoretis
terdapat pula kesadaran praktis. Kesadaran praktis berorientasi pada
usaha untuk mengalami apakah sesuatu itu baik atau buruk untuk saya,
berkenan atau tidak berkenan untuk saya. Kesadaran praktis tidak
mempersoalkan apakah sesuatu ada sebagaimana adanya. Dalam kesadaran
semacam ini muncullah kemungkinan-kemungkinan dan kewajiban-kewajiban
untuk mempertanyakan apakah sesuatu itu berguna dan bermanfaat untuk
saya. Si subjek ketika berhadapan dengan objek tidak berdiri sebagai
penonton saja, tetapi terlibat di dalam objek, malah mengalami objek
sebagai satu kesempatan, ancaman, tawaran atau juga sebagai satu situasi
yang berbahaya. Si subjek menjadi sadar akan tertimpanya objek ke atas
dirinya. Kualitas sesuatu yang disadari tidak terletak di dalam realitas
objek sebagaimana adanya, tetapi di dalam baik-buruknya atau berkenan
tidaknya objek itu untuk diri si subjek.
Kesadaran praktis, yang
memiliki kutub objektif dan subjektif seperti pada kesadaran teoretis,
bergiat dalam dua cara yang mendasar; dua cara ini dalam situasi konret
meresap satu sama lain. Dua cara itu adalah cara teknis-praktis
(pragmatis) dan cara moral-praktis. Cara teknis-praktis – disebut juga
kesadaran teknis-praktis – berhuhungan dengan teknik “know-how”. Di
dalam cara “know-how” ini realitas objek diketahui untuk tujuan tertentu
di masa depan. Pengetahuan terhadapnya dengan tujuan tertentu itu
melibatkan alat untuk mencapai tujuan dan cara-cara untuk merealisir
tujuan itu. Dengan demikian, melalui kesadaran teknis-praktis, si subjek
perlu menanggapi situasi, memahami kesanggupan diri untuk bertindak
secara tepat agar tujuannya dapat tercapai sesuai dengan harapan dan
keinginan. Kesadaran teknis-praktis diperluas dan dikembangkan melalui
usaha untuk memperoleh pengetahuan dan menerapkan pengetahuan untuk
tujuan tertentu. Cara moral-teknis – disebut juga kesadaran moral-teknis
– berhubungan dengan penilaian terhadap tujuan perbuatan yang hendak
dicapai. Kesadaran semacam ini mengambil bentuk dasar dalam apa yang
disebut “suara hati”; suara hati berfungsi untuk menawarkan, mengundang,
memerintahkan dan melarang subjek bertindak.
Baik kesadaran teknis-praktis
maupun kesadaran moral-praktis dapat mengungkapkan diri dalam
kalimat-kalimat atau pernyataan-pernyataan yang menurut strukturnya
tidak memperlihatkan perbedaannya dengan kalimat-kalimat atau
pernyataan-pernyataan teoretisnya. Hal ini tidak berarti bahwa orang
mengabaikan adanya perbedaan antara kalimat-kalimat teoretis dan
kalimat-kalimat praktis. Kalimat-kalimat teoretis lebih mengungkapkan
pengetahuan dan pemahaman teoretis, sedangkan kalimat-kalimat praktis
lebih menonjolkan pengetahuan dan pemahaman akan hal-hal praktis. Bisa
saja terjadi bahwa seorang yang mempunyai pengetahuan intelektual yang
tinggi tentang hal-hal tertentu secara teoretis, tidak mampu bergaul
secara luwes dengan orang-orang sekitar atau tidak mampu mengerti
hal-hal praktis seperti memperbaiki mobil yang rusak. Seorang yang ahli
di bidang biologi dan obat-obatan secara teoretis, tetapi tidak pandai
untuk membuat operasi atau menyembuhkan orang sakit. Contoh-contoh yang
disebut di atas mau menunjukkan kepada kita bahwa ada orang yang trampil
dalam bidang kesadaran teknis-praktis, tetapi belum tentu maju di
bidang kesadaran teoretis, atau juga berkembang di bidang kesadaran
moral-teknis. Karena itu penting sekali adanya pendidikan kesadaran
dalam dimensi-dimensi itu menuju pembentukan satu budaya kesadaran yang
bersifat seimbang antara kesadaran teoretis dan kesadaran praktis-teknis
dan kesadaran praktis-moral.
Jenjang-jenjang penyadaran.
Pada bagian sebelumnya, kita
sudah membicarakan soal struktur kesadaran. Psikoanalisa, khususnya
psikologi Jung dan Freud, menemukan satu struktur dasar untuk psike atau
jiwa manusia, yaitu psike tak-sadar dan psike yang sadar. Kesadaran
manusia
menurut mereka berakar pada psike tak-sadar. Baik psike tak-sadar
maupun psike yang sadar (kesadaran) memang merupakan dimensi rohaniah
kesadaran manusia dan memberi satu dimensi esensial pada realitas
manusia sebagai satu realitas “ada”. Dimensi ini disebut saja sebagai
“aku sebagai subjek yang sadar”.
Dalam pokok ini, kita menyoroti kegiatan
kesadaran dalam arti sempit, yaitu terbatas pada proses kegiatan psike
yang sadar. Kegiatan yang paling sentral dari kesadaran dalam level ini
adalah kegiatan “mengerti” dan kegiatan “menghendaki”. Dalam ungkapan
sederhana, soal mengerti adalah soal “tahu dan paham”, sedangkan soal
“menghendaki” adalah soal “mau”. Mengerti dan menghendaki meliputi semua
unsur yang terdapat dalam diri subjek: unsur badaniah, otak,
pencernaan, naluri, nafsu-nafsu, afektivitas, ingatan, imaginasi, akal
budi, ide, cinta, bahasa dsb. Semua aspek ini memiliki satu inti, suatu
cakrawala atau satu struktur pokok yang menempatkan semuanya ke dalam
satu perspektif. Dalam refleksi filosofis, coba diselidiki apa yang
menjadi struktur dasar pengertian dan struktur dasar kehendak. Mana saja
unsur-unsur yang mewujudkan kegiatan pengertian secara hakiki dan mana
saja unsur-unsur yang mewujudkan kegiatan kehendak secara hakiki,
terutama bila kegiatan keduanya bersentuhan dengan soal pengertian yang
benar dan yang salah atau juga kehendak yang baik dan kehendak yang
jahat. Di dalam epistemologi (filsafat pengetahuan) direfleksikan unsur
normatif yang menjadi pemberi arah untuk kegiatan pengertian dan di
dalam filsafat moral direfleksikan unsur normatif yang menjadi pemberi
arah untuk kegiatan kehendak.
Pengertian dan penghendakan
itu merupakan inti sari dari kegiatan kesadaran. Karena kegiatan
keduanya melibatkan semua unsur dalam diri subjek, maka prosesnya
berjalan secara berjenjang sesuai dengan empat taraf dalam perkembangan
subjek, mulai dari kesadaran yang samar-samar menuju kepada taraf
kesadaran yang paling cerah. Empat taraf itu adalah taraf anorganis atau
fisiko-kemis; taraf biotos atau vegetatif; taraf psikis atau sensitif;
taraf formal-manusiawi kesadaran (Antropologi Metafisik, Anton Baker, p.
188-200). Pada taraf anorganis atau fisiko-kemis, kegiatan-kegiatan
dalam diri subjek mengikuti garis-garis aksi-reaksi fisiko kemis. Proses
ini meliputi dunia atom-atom, kerja
molekul-molekul seperti proses fisiko-kemis dalam mata, telinga, otak
dan kelenjar-kelenjar yang dimiliki si subjek. Pada taraf biotos atau
vegetatif, kegiatan-kegiatan berjalan seperti kegiatan dalam dunia
tumbuh-tumbuhan. Proses kegiatannya berpusat pada aksi-reaksi pada
bidang sel-sel yang membawa hidup, jaringan dan organ tubuh, seperti
peredaran darah, urat syaraf, pernafasan, lebih-lebih reaksi-reaksi
biotis dalam panca indra ketika berhadapan dengan dunia di luar dirinya.
Dalam taraf psikis atau sensitif, kegiatan-kegiatan berpusat pada
aksi-reaksi naluri, persepsi dan nafsu-nafsu seperti yang ditemukan pada
binatang. Kegiatan kesadaran terjadi dalam proses instinktif dan
emosional yang sudah berdiri melampaui reaksi-reaksi panca indra. Daya
hidup sensitivitas digiatkan. Dalam taraf formal-manusiawi kesadaran,
kegiatan-kegiatan terarah kepada refleksi dan penghendakan. Refleksi
lebih merupakan kegiatan, “cipta”, yaitu kegiatan pemahaman. Pikiran,
akal, budi, intelek tidak boleh dipisahkan dari kegiatan pemahaman.
Penghendakan lebih merupakan kegiatan “karsa”, yaitu kegiatan-kegiatan
yang dapat menghasilkan keutamaan-keutamaan seperti cinta, kebaikan,
kelembutan hati, kesetiaan dsb. dan yang dapat menghasilkan
kejahatan-kejahatan seperti benci, iri hati, ketakutan, cemburu dsb.
Kegiatan dalam taraf keempat inilah yang menjadi kekhasan manusia.
Keempat taraf itu dalam
proses kegiatan kesadaran tidak berjalan secara terpisah, tetapi
berjalan dalam satu kesatuan. Kegiatan dalam taraf yang paling rendah,
yaitu kegiatan anorganis atau fisiko-kernis melibatkan juga kegiatan
dalam taraf tertinggi, yaitu kegiatan formal-manusiawi kesadaran; begitu
juga kegiatan kesadaran dalam taraf tertinggi mengikutsertakan juga
kegiatan dalam taraf yang lebih rendah. Meskipun demikian, setiap
kegiatan kesadaran yang dilakukan oleh subjek yang sadar menonjolkan
satu kegiatan yang dominan dalam taraf tertentu. Keempat taraf itu dalam
proses kesadaran manusia merupakan bagian yang integral dari realitas
manusia sebagai satu subjek yang sadar. Fungsi-fungsi dari masing-masing
bidang dari taraf yang paling rendah sampai yang paling tinggi dapat
dikatakan sebagai fungsi yang saling berintegrasi. Bila melihat seorang
yang sedang senyum, maka kegiatan kesadarannya melibatkan seluruh
kontraksi otot dan bentuk muka yang membentuk satu senyuman dan
sekaligus juga memantulkan perasaan dan
kesadaran dalam taraf yang tertinggi. Dengan demikian, dapatlah
dikatakan bahwa kegiatan kesadaran subjek memuat hubungan yang intrinsik
antara taraf-taraf itu, dalam arti bahwa taraf yang paling tinggi hanya
dapat berfungsi semaksimal dan seoptimal karena dia berakar dalam taraf
yang paling rendah, dan taraf yang paling rendah hanya dapat berfungsi
semaksimal dan seoptimal karena dia diresapi dan dijiwai oleh taraf yang
paling tinggi. Mana dari keempat taraf itu dianggap paling penting? Itu
bergantung pada sudut pandangan si subjek yang sadar. Taraf yang paling
rendah dapat saja dipandang sebagai yang paling penting, karena dia
merupakan landasan untuk kegiatan pengertian dan kehendak. “Tetapi juga
taraf yang paling tinggi dapat saja dipandang sebagai yang paling
penting karena dia menjiwai dan mewarnai segala taraf yang lain dan
memberi ciri manusiawi kepada semua taraf yang lain.
Kesadaran diri dan kesadaran dari diri yang lain.
Kesadaran diri dan kesadaran
dari diri yang lain mengandaikan adanya subjek-subjek yang sadar.
Kesadaran dari diri yang lain sebetulnya bentuk kesadaran diri dalam
arti tertentu, yaitu ketika subjek yang lain memandang dirinya dalam
relasinya dengan subjek di luar dirinya. Kesadaran diri dan kesadaran
dari diri yang lain hanya terwujud dalam satu relasi dan komunikasi
antar kesadaran, dan relasi dan komunikasi ini dimungkinkan oleh
intensionalitas kesadaran itu sendiri. Kesadaran sendiri bersifat
terbuka dan terarah, dan dalam disposisi yang demikian kegiatannya dapat
mentransendir diri untuk keluar dari dirinya dan membangun komunikasi
dengan subjek lain di luarnya. Dalam
relasi dan komunikasi antar subjek, kegiatan keempat taraf dalam subjek berjalan secara menyatu.
relasi dan komunikasi antar subjek, kegiatan keempat taraf dalam subjek berjalan secara menyatu.
Pengertian dan penghendakan
yang merupakan inti dari kegiatan kesadaran berfungsi secara khas dalam
relasi dan komunikasi antar subjek itu. Pengertian lebih
terarah kepada kegiatan untuk memahami yang lain, sedangkan penghendakan lebih terarah kepada kegiatan untuk menghargai yang lain. Dengan kata yang lain, kegiatan pengertian dan penghendakan dalam relasi dan komunikasi dengan yang lain berpusat pada kegiatan untuk “mengakui dan menerima yang lain”. Ketika aku menyadari diriku, ketika itu pula
terarah kepada kegiatan untuk memahami yang lain, sedangkan penghendakan lebih terarah kepada kegiatan untuk menghargai yang lain. Dengan kata yang lain, kegiatan pengertian dan penghendakan dalam relasi dan komunikasi dengan yang lain berpusat pada kegiatan untuk “mengakui dan menerima yang lain”. Ketika aku menyadari diriku, ketika itu pula
aku mengakui dan menerima subjek yang
lain. Mengerti dan menerima diriku berarti mengerti dan menerima diri
yang lain. Karakter-karakter khas yang mernberi warna pada relasi
seperti ini dapat ditemui dalam satu relasi dan dalam satu komunikasi
yang bersifat timbal-balik, bersifat saling memuat dan saling
mengkonstitusikan diri dalam relasi subjek-objek, bersifat universal dan
singular, bersifat bersatu dalam perbedaan dan perhedaan dalam
persatuan.
Komunikasi yang bersifat
timbal-balik berarti bahwa subjek yang satu dan subjek yang lain berdiri
sejajar sebagai partner yang saling memberi response terhadap satu sama
lain. Yang satu bertindak sebagai agen yang aktif dan yang lain berlaku
sebagai penerima yang pasif, tetapi pada gilirannya yang satu berlaku
sebagai penerima yang pasif dan yang lain bertindak sebagai agen yang
aktif. Hubungan timbal-balik mencerminkan huhungan yang saling mengakui
dan saling menerima. Hubungan ini dikarenakan oleh kesadaran
masing-masing yang memiliki sifat intensional, imanen-transenden,
reseptif dan spontan, aktif dan pasif.
Komunikasi yang bersifat
saling memuat dan saling mengkonstitusikan diri dalam relasi
subjek-objek berarti bahwa subjek yang lain diakui dan diterima sebagai
realitas objek yang lain sama sekali dengan seluruh arti dan harga
dirinya ketika berhadapan dengan aku sebagai subjek, dan pada gilirannya
otonomitas yang lain dengan seluruh realitas dirinya hanya dapat saya
akui dan terima ketika saya terlibat secara aktif menangkap, mengerti
dan menghargai subjek yang lain dan ketika itu pula subjek yang lain
mengakui dan menerima diri saya sebagai realitas objek yang lain dari
padanya. Dalam komunikasi ini, aku sebagai subjek mengkonstitusikan
keberadaan yang lain sebagai subjek, dan dalam hubungan subjek dengan
subjek, karakter hubungan subjek-objek
saling termuat: aku menerima yang lain sebagai realitas objek sebagaimana adanya dan begitu pula dia sebagai subjek yang lain menerima saya sebagai realitas objek sebagaimana adanya saya.
saling termuat: aku menerima yang lain sebagai realitas objek sebagaimana adanya dan begitu pula dia sebagai subjek yang lain menerima saya sebagai realitas objek sebagaimana adanya saya.
Komunikasi yang bersifat
universal dan singular berarti bahwa subjek-subjek yang membangun relasi
dan komunikasi tetap memiliki karakter universal dan singular. Dalam
komunikasi singularitas setiap subjek
tetap ada; keunikannya diakui dan bertahan. Begitu pula dalam relasi
itu, ketermasukan si subjek dalam keseluruhan kemanusiaan diterima dan
dipertahankan. Ketika subjek mengakui dan menerima subjek yang lain,
ketika itu pula subjek mengakui dan menerima keunikan masing-masing dan
serentak pula menerima dan mengakui ketermasukan masing-masing subjek
dalam keseluruhan realitas kemanusiaan.
Komunikasi yang bersifat
bersatu dalam perbedaan dan berbeda dalam persatuan berarti bahwa
komunikasi yang dibangun antar subjek mencerminkan kesatuan antara
mereka dengan tidak menghilangkan perbedaan antara mereka. Perbedaan
lebih menekankan otonomitas, kemandirian, jati diri yang unik, sedangkan
kesatuan lebih menonjolkan saling ketermuatan antara subjek dengan
objek atau kesatuan dalam identitas. Saling mengakui dan menerima antar
subjek berarti saling mengintegrasikan diri ke dalam satu kesatuan yang
lebih penuh dengan tidak melenyapkan jati diri yang unik dari
masing-masing.
Kesadaran diri dan kesadaran
dari diri yang lain dipahami dalam relasi dan komunikasi antara subjek,
relasi dan komunikasi antar pribadi. Pengembangan dan pemenuhan relasi
seperti ini dapat menghantar kepada pemahaman tentang komunikasi
subjek-subjek konkret kepada subjek transendental yang memiliki juga
satu kesadaran imanen-transenden, dan dalam bahasa religius subjek
transendental itu dikenakan kepada
realitas ilahi.
3.1.3 Pengandaian ontologis kesadaran.
Di dalam kesadaran realitas
“ada” (das Sein atau Being) menjadi sadar sendiri. Realitas “ada”
sendiri menjadi sumber kesadaran. Realitas “ada” menjadi sadar, aktif
dan bergiat. Heidegeer mencirikan realitas “ada” itu sebagai “yang
menampakkan diri” dan sekaligus “yang menyembunyikan diri”. Ia hadir
tetapi juga tersembunyi. Baru di dalam eksistensi manusia, realitas
“ada” menjadi hadir dan menampakkan diri. Tugas filsafat adalah untuk
menemukan secara konkret makna realitas “ada” dan membiarkan realitas
“ada” berbicara, karena realitas “ada” ini merupakan satu kebenaran.
Kesadaran termasuk dalam
realitas “ada”. Tetapi dia tidak identik dengan realitas, “ada”, karena
manusia sebagai subjek yang sadar cuma modus dari “yang ada” dan disebut
sebagai “Das Dasein”, yang berarti bahwa realitas “ada” hadir di sana,
di dalam dunia. Manusia adalah realitas “ada” yang sedang hadir di sana
di dalam dunia dan mampu untuk sadar akan realitas adanya (eksistensi)
dan bertanya tentang makna realitas adanya sebagai manusia. Justru
inilah letak pengandaian ontologis kesadaran, yaitu bahwa kesadaran
hanya ada karena berasal dari realitas “ada”. Kesadaran bersama dengan
segala macam kegiatan dan tingkatan kesadaran merupakan eksplisitasi
yang nyata dari realitas “ada”. Kesadaran subjek memiliki kemampuan
untuk menempatkan seluruh subjek ke bawah realitas “ada”. Dia berada di
dalam lingkungan realitas “ada”.
Pertanyaan pokok ialah bahwa
bagaimana si subjek berada dalam lingkungan realitas “ada” seperti itu
supaya jati diri kesadaran dengan segala macam kegiatan dan tingkatannya
dapat terealisir di dalam lingkungan realitas “ada” itu? Jawabannya
ialah bahwa harus ada satu prinsip yang secara hakiki melandasi subjek
untuk termasuk ke dalam lingkungan realitas “ada”; atau untuk menjadikan
realitas “ada” sebagai milik subjek. Sebagaimana disebutkan sebelumnya
bahwa realitas ada berkarakter ganda, yaitu menampakkan diri dan
serempak menyembunyikan diri. Tugas si subjek adalah untuk mengusahakan
agar realitas ada menjadi semakin tampak dalam diri subjek dan serempak
pula untuk mempertahankan agar realitas ada tetap tersembunyi.
Kenyataannya bahwa si subjek selalu berada dalam satu perspektif yang
terbatas baik dalam kegiatan kesadaran teoritis menyangkut pengetahuan
dan pengenalan maupun dalam kegiatan kesadaran praktis menyangkut etika
dan keyakinan. Tetapi karena setiap subjek adalah satu hakikat yang
mempunyai kemampuan untuk menempatkan diri ke dalam realitas “ada”, maka
dia juga mempunyai kemampuan untuk menembus masuk melihat realitas
“ada” melalui perspektif yang terbatas itu, bahkan melalui
perspektif-perspektif yang dangkal dan tak berarti sekalipun. Dalam
proses untuk melihat secara lebih mendalam realitas “ada” melalui
perspektif keberadaan manusia, manusia sebagai subjek justru berusaha
selalu untuk memberi makna terhadap realitas “ada”.
3.2. Kebebasan kehendak.
3.2.1. Isi ungkapan “kebebasan kehendak”.
Ada begitu banyak diskusi
tentang ada tidaknya kebebasan. Orang sering mencampuradukkan pengertian
kebebasan dengan kehendak bebas (kebebasan kehendak) Pada mulanya kata
“bebas” mengandung arti sosial. Kata sifat “bebas” dan kata benda
“kebebasan” menunjuk kepada status atau kedudukan seseorang dalam
masyarakat. Kata itu dikenakan untuk kelompok bangsawan dan tuan-tuan
penguasa dalam masyarakat. Mereka adalah kelompok elit masyarakat.
Mereka bertindak bebas, dalam arti bahwa mereka bertindak sesuai dengan
apa yang mereka inginkan, sernentara rakyat biasa, khususnya para budak,
“harus” bertindak sesuai dengan apa yang diinginkan atasan atau
majikannya. Dari sana terciptalah pengertian kebebasan sebagai “menjadi
tuan atas diri sendiri dengan mengikuti hukumnya sendiri”.
a. Pengertian yang berbeda tentang kebebasan.
Kata “kebebasan” menandakan
adanya kuasa subjek untuk bertindak. Dalam pengertian ini kebebasan
memiliki tiga arti yang dapat kita bedakan. Pertama kebebasan berarti
bertindak menurut kemauan dan kehendak sendiri, dengan kata lain bisa
bertindak sesuka hati. Bila kita berkata kepada seseorang: “Anda bebas
menaruh sepeda anda di tempat ini”, itu berarti bahwa dia boleh
bertindak menurut apa yang dia kehendaki untuk menempatkan sepedanya di
tempat ini. Dia mempunyai hak untuk bertindak. Tidak ada satu
hukum moralis atau satu ketentuan
yuristis yang membatasi perbuatannya. Kebebasan pers, kebebasan
beragama, kebebasan berkoalisi, kebebasan berorganisasi dsb. termasuk
dalam bidang ini.
Kedua, kebebasan berarti
kebebasan bertindak. Orang yang bebas tidak merasa terhalang untuk
melakukan apa yang sudah menjadi tekadnya untuk dilakukan. Paksaan
lahiriah dan paksaan batiniah tidak lagi dialami oleh orang yang
bersangkutan. Kebebasan merupakan satu pelepasan dari tekanan lahiriah
atau juga dari tekanan batiniah, atau juga dari tekanan yang bersifat
legal seperti penjara atau juga tekanan yang bersifat ilegal seperti
korban perang pada rakyat sipil. Dalam arti ini untuk orang yang
meringkuk dalam penjara atau untuk orang yang ditangkap dalam perang
dsb. kebebasan dialami sebagai tindakan pelepasan tekanan itu. Dengan
tindakan pelepasan tekanan itu, orang yang bersangkutan menjadi orang
yang bebas.
Ketiga, kebebasan berarti
kehendak atau kemauan. Kehendak perlu kita bedakan dari keharusan dan
keinginan. Keharusan tampil dalam dua bentuk, yaitu keharusan yang
bersyarat dan keharusan yang tak
bersyarat. Keharusan bersyarat secara relatif dapat dihadapkan dengan
kemauan. Contoh: Saya harus membayar pajak. Jika saya tidak membayar
pajak, maka saya akan dikena denda karena saya tidak mempunyai andil
untuk membangun kesejahteraan bersama. Keharusan di sini tidak berasal
dari kehendakku, tetapi dari satu kerugian yang bakal menimpa saya jika
saya tidak membayar pajak. Keharusan tak bersyarat selalu
dipertentangkan dengan kehendak. Contoh: Saya harus mengendarai mobil di
sebelah kiri di Indonesia. Keharusan yang demikian berada di luar
lingkungan kekuasaan kehendak saya. Tidak ada jalan lain selain harus
bertindak demikian. Keinginan berbeda dari kehendak. Keinginan merupakan
tahap pendahulu menuju kehendak. Keinginan bermain dengan
kemungkinan-kemungkinan untuk berusaha mencapai sesuatu atau untuk
mengusahakan sesuatu yang dapat dicapai. Bila sesuatu itu berkenan untuk
saya, saya ingin memperolehnya, dan sesuatu yang ingin diperoleh itu
belum tentu sesuatu yang dapat dicapai dalam realitas hidup. Keinginan
memang tidak sama dengan kehendak, tetapi kehendak adalah sesuatu yang
lebih dari pada keinginan semata, meskipun dalam bahasa sehari-hari,
kehendak dan keinginan disamakan. Kehendak selalu berhubungan dengan
perbuatan yang punya arti untuk subjek entah langsung atau tidak
langsung, dan kehendak itu tampaknya menuntun perbuatan saya. Kehendak
yang asli selalu mengarah kepada perbuatan sejauh kehendak itu sama
sekali tidak terkena paksaan.
Dengan demikian, kehendak
pada tingkat tertentu mempunyai sisi ganda. Di satu pihak, kehendak
merupakan sikap keberpalinganku yang aktif ke arah satu nilai atau
sebaliknya, sikap keberpalinganku yang aktif untuk menjauhi satu nilai.
Di dalam keterbukaanku yang terarah ke nilai yang merebut perhatianku
justru terciptalah keputusan
yang merupakan perbuatan kehendak itu sendiri. Di pihak lain, kehendak
merupakan gerakan otomatis tubuh yang mengungkapkan atau menyalurkan
satu keputusan, misalnya mengacungkan tangan ke atas untuk mengungkapkan
kehendak untuk mulai berbicara, dsb. Kehendak ini bukanlah satu
perbuatan, tetapi berhubungan dengan tindakan atau perbuatan. Atas cara
ini, sava tidak lagi mempunyai sikap kesediaan yang diantarai oleh
kehendak, karena sikap kesediaan ini tidak menghantar saya kepada
perbuatan. Kehendak adalah satu modifikasi langsung dari cara saya
berada baik secara aktif maupun secara pasif; dia tidak pernah merupakan
satu tindakan aktif yang langsung, tetapi cuma alat bantuan, sama
seperti kedudukannya dalam kalimat hanya sebagai kata kerja “bantu”
(wollen, müssen, können, sollen).
b. Kebebasan Kehendak.
Apa yang dimaksudkan dengan
kebebasan kehendak? Kebebasan kehendak adalah satu kemampuan prinsipiil
dalam diri manusia untuk mengambil keputusan sendiri atau menentukan
sikap tertentu, dan kemampuan ini keluar dari kesadaran bebas atau
persetujuan bebas yang mengarah semata-mata kepada kebaikan. Kebebasan
kehendak sering diartikan sebagai pilihan bebas (kebebasan untuk
memilih), kebabasan untuk bersikap sewenang-wenang, putusan bebas, atau
juga kebebasan psikologis dsb. Tidak ada keseragaman terminologi dalam
bidang filsafat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar