Senin, 07 Desember 2015

Jurnal PENGANTAR KE DALAM FILSAFAT MANUSIA

PENGANTAR KE DALAM FILSAFAT MANUSIA

            Sejak manusia menyibukkan diri dengan kegiatan berpikirnya, pertanyaan-pertanyaan tentang manusia ditonjolkan kembali, seperti pertanyaan tentang hakikat manusia, tentang asal usul manusia dan tentang nasib manusia serta tentang ketentuan hidupnya. Pasti pertanyaan-pertanyaan ini muncul dalam banyak cara dan orang juga berusaha menjawabnya dengan banyak cara pula. Tetapi dalam waktu yang agak lama pertanyaan-pertanyaan tentang itu tidak mendapat perhatian, karena ada soal lain yang lebih mendesak. Meskipun demikian pertanyaan tentang manusia tidak pernah akan hilang, karena manusia sendiri adalah makhluk yang merasa senantiasa “tidak pasti”; ia tetap bertanya tentang dirinya. Ia adalah satu makhluk yang bertanya
            Salah satu jawaban terhadap pertanyaan tentang diri manusia ialah bahwa manusia adalah satu hakikat yang aneh. Di satu pihak ia bersifat luhur, agung dan mulia, tetapi di pihak lain ia juga bersifat hina rendah dan tak berarti. Apabila orang mengamati pemakaian sehari-hari dengan menyebut kata bendanya “manusia” (Mensch) atau kata sifatnya “manusiawi”, maka orang dapat menemukan arti yang luhur, tetapi juga dalam konteks tertentu orang dapat menemukan arti yang hina dan rendah. Kalau orang mengatakan “seorang penjahat juga manusia”, atau “sikapnya betul tidak manusiawi”, maka arti dan nilai dari “manusia” betul bersifat agung dan luhur. Tetapi bila orang menemukan bahwa
seorang imam yang jatuh dengan wanita lalu orang mengatakan “imam juga seorang manusia” atau juga uskup adalah seorang manusia, bila uskup salah dan keliru”, maka keagungan dan keluhuran manusia tidak boleh disanjung berlebih-lebihan. Nilai dan artinya perlu diturunkan dan direndahkan. Dengan demikian manusia menyandang nama yang kaya
dan mulia sekaligus juga miskin dan hina. Apakah itu kebetulan?
            Dalam lingkungan kebudayaan Eropa ada dua teks yang menarik perhatian para pengamat filsafat manusia. Teks itu menggerakkan kita untuk melacak artinya. Teks pertama berasal dari satu nyanyian yang diangkat dari “Antigone” Sophocles. Nyanyian ini  dalam terjemahan Holderlin (penyair Jerman 1770- 1843) bermula dengan
“Ungeheuer ist viel” (Sang raksasa adalah banyak). Sang raksasa itu dimaksudkan “manusia”. Dan teks nyanyian itu menunjukkan di satu pihak keheranan atau kekaguman atas manusia. Manusia itu lebih dari binatang-binatang, dan di pihak lain menunjukkan kedahsyatan atau kegentaran (Schrecken) tentang manusia. Manusia itu menakutkan dan menggentarkan (homo homini lupus). Teks yang kedua berasal dari Mz.8 yang berbicara tentang kesadaran akan kekecilan manusia dan kefanaannya jika dibandingkan dengan peredaran bintang yang berjalan kekal. Dalam kekecilan itu, pertanyaan diajukan kepada Penciptanya: “Apakah itu manusia atau apa artinya manusia, sehingga Engkau memperhatikannya?” Hidup manusia: sikap, kemampuan dan seluruh keberadaannya merentang dari yang paling rendah sampai kepada hal yang saling bertentangan di dalam dirinya. Dalam lingkungan kebudayaan kita, kita bisa mengambil ajaran Paguyuban Sumarah, salah satu aliran Kebatinan yang didirikan di Yogyakarta pada tahun 1950 oleh
dokter Soerono Prodjohoesodo. Aliran ini mengajarkan bahwa manusia itu terdiri dari badan wadag (jasmani), badan Nafsu dan Jiwa atau Roh. Penjelasannya dapat dilihat dalam buku “Konsepsi tentang Manusia dalam Kebatinan Jawa”, oleh Dr. Harun Hadiwijono (p.104-105).
            Persoalan hidup manusia dewasa ini adalah bahwa manusia sampai kini “belum mengenal diri” secara penuh. Hal ini dikaitkan dengan persoalan kodrat manusia itu sendiri. Apa kodrat manusia yang sebenarnya? Duluh “Natur atau Kodrat” dialami sebagai sesuatu yang harus dijinakkan. Kodrat itu begitu berkuasa dan ganas sehingga manusia perlu mengolahnya secara lebih baik. Sekarang ketika kodrat manusia diatasi dan ditaklukkan untuk menjamin keberadaan manusia, kodrat itu sendiri yang melingkupi kita dialami sebagai satu gudang persediaan yang hampir habis. Ilmu pengetahuan dan teknik membuka eksplorasi dan eskperimen besar-besaran tentang lingkungan kodrat manusia. Lingkungan kodrati diatur, diciptakan dan direkayasa menurut kemampuan dan kemauan manusia. Penciptaan bayi dengan “cloning” merupakan bagian dari ekploitasi, eksplorasi dan eksperimen terhadap kodrat manusia. Pertanyaan etis terhadap semua percobaan ini ialah bahwa apakah percobaan-percobaan itu yang bisa dikenakan pada manusia dapat
dipertanggungjawabkan secara etis, dan apakah dengan itu manusia dapat menemukan jati­dirinya yang sesungguhnya. Ada jawaban pro-kontra, tetapi persoalan filosofis aktual akan menjadi muncul ketika kita bertanya “siapa itu manusia dan apa hakikatnya”? Apakah manusia itu memiliki unsur kerohanian? Kekejaman di abad 20, genoside dan peperangan­peperangan yang membawa korban jutaan orang menimbulkan kesadaran manusia kembali untuk bertanya tentang dirinya. Manusia ragu-ragu tentang gambaran yang ia miliki sekarang tentang dirinya. Dia sebetulnya tiba pada satu kesadaran diri yang menetapkan bahwa dia sendiri sebenarnya “tidak tahu” apa-apa tentang hakikat dirinya atau jati-dirinya, tidak tahu untuk apa dia hidup dan bagaimana dia harus hidup.
            Dengan bertolak dari kesadaran diri itu, pertanyaan tentang “hakikat” manusia sendiri lalu menjadi pertanyaan sentral dari filsafat: Apa yang menjadi hakikat manusia? Semula pertanyaan filosofis ini hanya terbatas pada satu bidang kecil yang memuat informasi tentang manusia. Tetapi lama kelamaan dengan pesatnya perkembangan pengetahuan, penelitian tentang manusia berkembang pesat menunit sudut pandangan yang berbeda-beda dari ilmu pengetahuan, dan pada akhirnya bangkit juga minat untuk mempersoalkan “Ada” dari manusia. Tematisasi tentang problem “Ada” dari manusia ini justru berjalan melampaui penelitian-penelitian empiris yang digeluti selama ini. Justru usaha untuk beranjak keluar dari bidang empiris ini menghantar orang untuk menggeluti manusia dalam perspektif “filsafat” yang disebut “Filsafat Manusia atau Antropologi Filsafat”. Filsafat Manusia lalu menjadi salah satu disiplin filsafiah. Objek filsafat manusia lalu tidak hanya berpusat pada hakikat manusia yang mau diteliti seeskstensif mungkin dan seintensif mungkin, yaitu bentuk khas realitas “adanya”, struktur batiniah dan dinamikanya, tetapi juga sistematisasi seluruh pengetahuan tentang manusia seperti kritik pengetahuan,
metafisika pengetahuan, pendasaran etik dsb. Satu pendekatan yang tidak boleh diabaikan dalam filsafat manusia ini juga yaitu pendekatan ontologis yang berusaha mensintesekan semua pengetahuan manusia itu secara sistematis dengan merujuk kepada apa yang menjadi inti atau hakikat dari manusia.
            Diktat kuliah ini berjudul “Antropologi Filsafat”. Ia memuat cara-cara pengenalan yang berpusat sekitar persoalan tentang “hakikat manusia”: bentuk khas dari realitas “Ada” manusia; struktur dalamnya dan dinamikanya dsb. Judul itu tidak mewakili aliran tertentu seperti aliran terkemuka dari filsuf Max Scheler (1928); Helmuth Plesner (1928) dan Arnold Gehlen (1940), tetapi terbuka untuk semua pendekatan yang bergelut tentang kekhasan manusia sedari penelitian biologis tentang manusia sampai kepada pertanyaan sentral tentang manusia dalam filsafat. Tentu dengan jelas harus dibedakan Antropologi Filsafat dan Antropologi sendiri. Antropologi sendiri berhubungan dengan kegiatan penelitian empiris-positif semata tentang bidang tertentu seperti Antropologi ragawi tentang tubuh manusia dan Antropologi Budaya yang meneliti kebudayaan manusia dan Etnologi yang meneliti ras dan suku tertentu.
            Pertanyaan antropologis di dalam diktat kuliah diolah menurut pertanyaan­pertanyaan yang bertolak dari satu bidang kepada bidang yang lain, tetapi tetap selalu disadari bahwa jawaban terhadap pertanyaan yang satu selalu berakhir dengan jawaban yang tidak memuaskan. Pertanyaan-pertanyaan itu menyentuh juga pertanyaan ilmu pengetahuan. Kesulitan pendekatan itu menunjuk kepada perlunya ada teori pendekatan ontologis di satu pihak dan di pihak lain refleksi pndekatan pragmatis-ilmiah (bagian pertama). Kedua momen pendekatan ini bertemu di dalam unsur subjektivitas yang hendaknya menjadi prinsip untuk mengorganisir seluruh perlukisan tentang manusia. Dan ini hanya tercipta di dalam usaha untuk memperjelas dan menginterpretasi dimensi dasar manusia yang berada di dalam dunia (In-der-Welt-Sein). Interpretasi dan penjelasan
tentang dimensi dasar ini ditelaah dalam model-teori dari ilmu-ilmu kemanusiaan yang dipilih (bagian kedua). Lebih dalam dari pada itu, lebih masuk ke dalam intisarinya diperkenalkan satu analisa terhadap cara-cara dasar dari subjektivitas manusia yang dituangkan dalam ungkapan “kesadaran dan kebebasan kehendak” (bagian ketiga). Akhirnya pertanyaan itu berpusat pada usaha untuk mencari kesatuan yang paling mendasar dan mencari makna yang dapat direalisir dalam keseluruhan Realitas keberadaan manusia (bagian keempat).
            Karena manusia dalam gambaran tua merupakan mikrokosmos, maka usaha untuk mengungkapkan gagasan dasar yang menyangkut pertanyaan antropologis tidak dilihat sebagai satu yang mendesak. Bukan juga dituntut bahwa orang harus memberi sumbangan penelitiannya, tetapi diharapakan bahwa pembaca yang menggunakan buku kecil dapat bertanya lebih lanjut lagi secara kritis dan dapat menemukan jawabannya sendiri dan mengenalnya. Tidaklah cukup orang hanya bergelut satu kali tentang soal-soal itu, tetapi selalu berulang menggelutinya supaya si pembaca secara sadar dengan penuh gembira dapat menemukan jawabannya sendiri. Yang diutamakan di sini adalah usaha bersama dari yang lain untuk turut memberi pertimbangan tentang masalah kemanusiaan.
1. PERTANYAAN TENTANG PENDEKATAN YANG TEPAT.
           Situasi atau keadaan yang menjadi titik tolak pertanyaan kita tentang manusia adalah ketidak-tahuan, yaitu satu kekurangan pengetahuan kita tentang diri kita, entah kekurangan
pengetahuan yang bersifat eksistensial atau hipotetis. Kita tidak tahu tentang diri kita. Kita
mempersoalkan pengetahuan tentang diri kita. Dari mana kita tahu tentang diri kita. Bagaimana kita tahu tentang diri kita? Bidang pertama yang menjadi sasaran perhatian kita adalah Ilmu Pengetahuan dan dalam arti yang sempit Ilmu Pengetahuan alam, karena Ilmu Pengetahuan alam menggeluti dunia kodrat termasuk kodrat manusia secara objektif, teliti dan tepat.
1.1. Pendekatan dalam konteks Biologi Perbandingan.
           Ilmu pengetahuan alam yang berbicara tentang manusia dapat kita temui dalam ilmu Biologi, Fisika dan ilmu Kimia. Kalau kita mengurutkan ilmu pengetahuan alam tersebut
menurut derajat penelitian terhadap manusia, maka tampaklah bahwa ilmu pengetahuan pertama yang berbicara tentang manusia adalah “Biologi”. Di dalam Fisika dan ilmu Kimia, manusia hanya bisa tampil sebagai objek penelitian, sejauh manusia merupakan satu tubuh
dalam ruang (Fisika), yaitu bentuk tubuh, tipe tubuh, gerakan mekanis dalam tubuh dsb, atau satu kompleksitas ikatan-ikatan kimiawi dan proses-proses kimiawi (ilmu Kimia). Kedua bidang ini ternyata lebih sempit dari pada Biologi, karena keduanya berfokus pada
penelitian terhadap realitas manusia sebagai satu benda fisis dan kemis. Objek dari Biologi adalah makhluk hidup, yaitu satu realitas kehidupan dari makhluk-makhluk hidup; bidang
ini menyentuh seluruh bidang kehidupan makhluk hidup yang sudah dikelompokkan menurut posisinya dalam ruang. Salah satu dari keseluruhan realitas kehidupan yang menempati satu posisi tertentu dalam ruang disebut atau memikul nama “manusia” (homo sapiens). Pada taraf berikut, pertanyaan lebih lanjut ialah bahwa sejauh mana semua hasil penelitian biologis yang ditunjang oleh penelitian ilmu pengetahuan Fisika dan Kimiawi dapat memberikan gambaran yang tepat tentang realitas manusia? Apakah realitas ontologis makhluk hidup yang tidak dapat direduksi kepada sesuatu yang anorganis dapat sesuai dengan kekhususan metodologis biologis dalam hadapannya dengan ilmu Kimiawi dan Fisika.
            Dengan bantuan metode Biologi yang berbicara tentang manusia, kita dapat menemukan perbandingan antara individu dari satu jenis atau spesies dengan individu dari spesies yang lain. Tapi dengan cara tertentu hasil perbandingan itu akan menunjukkan bahwa dari perbedaan-perbedaan yang ada ditemui satu kesamaan yang besar sekali atau keserupaan yang jelas dari antara spesies itu. Dan bila kita memperhatikan secara teliti kesamaan dan keserupaan spesies itu, kita bisa melihat keistimewaan yang memperlihatkan perbedaan antara mereka juga.
            Penetapan pertama tentang manusia, tentang siapa dia, justru terletak dalam ketermasukan manusia ke dalam sistem dari makhluk hidup. Bila kita menempatkan manusia dalam konteks makhluk hidup, maka dia bisa digolongkan sebagai binatang menyusu (tidak seperti binatang amfibi), dan dalam kelompok binatang menyusu, manusia tergolong dalam binatang menyusu tingkat tertinggi (bukan seperti binatang pengerat), dan
dalam kelompok binatang menyusu tingkat tertinggi, manusia termasuk dalam kelompok manusia kera (antropoide) dan tidak seperti binatang menyusu tingkat tertinggi lain seperti kera. Dan dalam kekerabatan yang lebih dekat dengan antropoide manusia tergolong ke dalam cimpase, Gorilla atau Orang-Utan. Dengan penelitian metodis tentang pengelompokkan seperti ini kita makin lama makin menemukan keistimewaan manusia dan
mengartikan keistimewaan itu secara analogis. Bila kita perlahan melepaskan kesamaan, keserupaan dan kekerabatan biologis itu, kita menemukan juga kekhasan serta keistimewaan tertentu dalam spesies tadi. Kekhasan yang terpenting dalam manusia sejauh penelitian biologis dapat ditonjolkan dalam tiga titik tolak berikut ini: titik-tolak anatomis­morfologis; titik tolak ontogenitis dan titik tolak ethologis.
1.1.1. Keistimewaan anatomis-morfologis.
            Keistimewaan anatomis-morfologis terletak dalam anatomi tubuh dan postur atau bentuk tubuh. Keistimewaan anatomi tubuh dan bentuk tubuh manusia hanya bisa ditangkap bila dibandingkan dengan anatomi tubuh dan bentuk tubuh binatang yang menyerupai manusia. Binatang yang menyerupai manusia dalam penelitian biologis adalah manusia-kera dan secara lebih khusus Simpase. Menurut penelitian biologi-molekular, jumlah kromosom simpase berangka 48, sedangkan pada manusia 46. Perbedaan struktur biomolekular antara manusia dan simpase hanyalah 1, 5 persen (Franz Dähler: Pijar Peradaban manusia, hh. 41-42). Manusia-kera memiliki ciri-ciri yana dapat kita saksikan demikian: tulang punggung berbentuk  “S”, dan tulang punggung yang berbentuk demikian
berada pada sisi bawah bagian tubuh; pinggul kurang tegak; persendian pangkal paha dan
sendi lutut tidak merentang secara penuh; kaki melengkung dsb. Semua itu sesuai dengan sikap tegak yang dimiliki secara tetap oleh manusia sebagai satu-satunya binatang menyusu. Korelasi sikap yang tegap itu tidak lain dari pada satu pembebasan bagian tubuh paling depan untuk bergerak sendiri dan pembentukan kaki untuk berdiri tegak. Sesuai dengan cara hidup manusia-kera di atas pohon-pohon, tangan manusia-kera (dalam perbandingannya dengan manusia) berbentuk seperti kait dan agak menyorok serta dilengkapi dengan ibu jari yang kecil dan yang tidak dapat melawan secara baik. Sebaliknya, tangan manusia tampak kurang terspesialisir dan terdiferensiasir dengan bergerak maju secara ringan. Tangan manusia tidak cocok untuk menerkam dengan sekuat tenaga, tapi cocok dan peka untuk bekerja trampil dan tepat.
            Tangan manusiayang bergerak bebas – oleh Aristoteles disebut “alat kerja dari alat kerja” – mempunyai hubungan erat dengan pembentukan tengkorak. Mata yang melihat ke
depan dan sering membelalak serta dahi dengan moncong khas pada wajah manusia-kera masih tampak teraksentuir juga pada manusia. Itu berarti bahwa muka dan alat peraba manusia masih punya arti yang dominan melebihi indra pencium. Gigi geraham tetap tumpul, begitu juga urat-urat untuk rahang yang sangat kuat. Kekuatan-kekuatan ini terkompensir dengan kemampuan tangan untuk membawa atau mengangkut benda-benda objek dari satu tempat ke tempat yang lain dan kemampuan untuk menghasilkan alat dan senjata. Melalui itu kompleksitas dari organ-organ tubuh yang menghasilkan suara berubah sedemikian sehingga terjadi kemungkinan pembentukan suara yang akhirnya tampil dalam bentuk “bahasa” pada manusia. Dahi yang tampak tidak lagi berfungsi untuk memperkuat daya pengunyah “tidak mengancing”. Tengkorak dahi dapat membesar dan memberi tempat untuk bentuk dahi yang lebih besar.
            Otak yang merupakan bagian terpenting dari seluruh sistem syaraf sentral memainkan peranan yang menentukan untuk struktur organisasi makhluk hidup yang lebih tinggi. Peranan itu sejalan dengan evolusi yang mencakup proses penyempurnaan peranan itu. Manusia tidak lagi memiliki bagian-bagian otak seperti pada manusia kera. Tetapi volume dari otak manusia lebih besar dari otak manusia kera. Volume atau isi otak manusia sekitar 1300cm3 kalau dibandingkan dengan Gorilla yang memiliki isi otak sekitar 500 cm3. Lebih jelas lagi dalam hal berat otak. Ada perbedaan yang mencolok antara manusia dan manusia kera. Pada manusia, otak utama (otak kecil) yang lebih tua dan yang bertanggung jawab untuk reaksi afektif dan instinktif mempunyai arti yang sudah teredusir, jika dibandingkan dengan otak besar yang relatif muda dan yang memungkinkan fungsi­fungsi yang lebih tinggi. Otak besar yang relatif muda ini berkembang luar biasa kuat. Teristimewa jaringan jaringan saraf yang kuat menjadi tebal. Informasi lain diminta untuk lihat dalam literatur-literatur lain.
            Keistimewaan anatomi dan bentuk tubuh manusia dalam perbandingannya dengan manusia-kera menunjukkan adanya evolusi perkembangan makhluk hidup. Anatomi dan
bentuk tubuh manusia dalam perspektif filsafat manusia hanyalah jenjang-jenjang; perkembangan yang belum menyimpulkan adanya keluarbiasaan dan kelebihan kedudukan
manusia dalam skala evolusi. Evolusi manusia dapat dilambangkan sebagai panah yang terlepas dan bergerak menuju sasaran, yaitu masa depan. Tidak ada sesuatu pun yang berhenti di masa lampau, masa sekarang, tetapi senantiasa berkembang ke depan. Masa depan adalah bahasa evolusi.
1. 1. 2. Posisi khas ontogenetis.
            Posisi khas ontogenetis pada manusia dalam perbandingan dengan binatang menyusu terlihat dalam fase kelahiran sejak berada dalam kandungan sampai kepada masa awal sesudah kelahiran. Kelahiran merupakan saat peralihan kehidupan dari kehidupan dalam kandung ibu kepada keterpisahannya dari kandungan ibu untuk masuk ke dalam dunia dan memiliki “Dasein” (realitas “ada”) tersendiri. Semua binatang menyusu lain memiliki masa mengandung yang agak lama sesuai dengan tingkat perkembangannya yang berbeda-beda. Biasanya masa mengandung berlangsung 21 dan 22 bulan; manusia sebetulnya memiliki masa mengandung seperti ini, tapi sampai sekarang yang diketahui, manusia dikandung selama 9 bulan. Pengamatan yang lain lagi selain masa mengandung ini tertuju kepada saat langsung sesudah kelahiran. Hampir semua binatang mengalami kematangan segera untuk berdiri sendiri sesudah lahir. Mereka memiliki kematangan yang cepat dengan perkembangan kemampuan yang perlu untuk berada sendiri. Pada bayi manusia, organisasi otot dan saraf berkembang perlahan dan bisa berlangsung sampai sekitar satu tahun. Portmann melukiskan tahun-tahun pertama hidup manusia sebagai ,”tahun ekstra-uterin embrio”. Arti dari anomalitas ini terletak di dalam kenyataan bahwa dengan cara itu penempaan sosio-kultural dari bayi bersangkutan merasuk masuk ke dalam stadium embrional yang belum lengkap. Di dalam waktu 9 sampai 11 bulan dari tahun pertama terbentuk tiga unsur penting secara serempak untuk hidup manusia: kesanggupan untuk menggunakan alat; bahasa yang khas dan sikap yang tegap. Dalam semua usaha ini pembawaan lahir dan dorongan alamiah berpengaruh satu sama lain untuk meniru keadaan sekitarnya dengan cara meresapkannya secara membatin. Hal serupa tidak mungkin berlaku
untuk binatang menyusu dalam tingkat lebih tinggi selain manusia. Fase di dalam kandungan ibu itu sudah merupakan fase penentu untuk mengorganisir sistem urat- saraf,
dan dalam situasi yang jauh dari kontaknya dengan dunia luar, seluruh organisasi instink diatur dan dibangun secara kokoh.
            Posisi khas ontogenetis yang ditemui pada manusia tidak menyelesaikan persoalan juga tentang kekhasan manusia, karena posisi khas ontogenetis bisa ditemui juga pada gorila. Fakta biologis yang memperlihatkan kekhasan ontogenetis pada manusia, gorilla, kera, babi dsb. belum memberi kesimpulan bahwa hakikat manusia berbeda dengan binatang.
1.1.3. Keistimewaan struktur tingkah laku atau sikap.
            Biologi perbandingan coba menyoroti struktur tingkah laku pada binatang dan struktur tingkah laku pada manusia. Struktur tingkah laku pada binatang dan pada manusia memiliki struktur dasar yang sama. Dalam jumlah yang tak terhitung banyaknya setiap makhluk hidup (binatang dan manusia) menjawabi situasi yang punya arti tertentu dan yang dirangsang secara biologis dari luar tanpa pengalaman sebelumnya, tanpa percobaan dan kekeliruan. Makhluk hidup menjawabi itu dengan cara yang berarti, dan menerima rangsangan itu dengan cara khas dan jelas. Mereka mempunyai kemampuan untuk membentuk dan mengatur semua data pengalaman indrawi ke dalam satu reaksi tertentu, dan hal ini justru memungkinkan satu kesempatan optimal dalam setiap situasi untuk bertindak secara tepat. Apakah struktur dasar ini dilengkapi juga dengan keistimewaan struktur tingkah laku pada masing-masingnya, baik pada binatang maupun pada manusia?
            Kita melihat lebih dahulu struktur tingkah laku pada binatang. Untuk binatang perubahan-perubahan di dalam lingkungan hidup, yaitu perubahan yang ada di dalam dirinya sendiri, dikenal melalui skemata-skemata yang menimbulkan reaksinya secara sesuai, karena di dalamnya sudah terdapat kesediaan batiniah-naluriah yang dikendalikan secara hormonal. Reaksi bagian yang satu terintegrir ke dalam reaksi bagian yang lain, dan hal itu membangun satu mata rantai tindakan yang punya arti tertentu. Setiap bagian reaksi yang terintegrir satu sama lain itu justru menghantar kepada tujuan akhir tertentu yang sementara sifatnya seperti pemuasan, perkawinan, penetapan posisi dsb. Setiap bagian reaksi ini dihasilkan lagi oleh satu rangsangan atau stimulus baru. Jadi terdapat satu
hierarki: Dari tujuan umum yang meliputi segalanya seperti tujuan pengakuan atau pertahanan diri dan jenisnya, sampai kepada tujuan khusus seperti pemuasan terhadap kebutuhan pokok dan pengembangbiakan dsb; untuk pemenuhan kebutuhan dasar ini sebagian tujuan khusus harus dicapai, misalnya untuk pengembang biakan si jantan harus mengalahkan saingannya dengan cara mengejar-ngejar, mengancam atau menggigit dsb. Faktor yang menentukan di sini ialah bahwa setiap binatang tidak pertama-tama “harus” belajar membuat seleksi terhadap tingkah laku yang berarti di dalam setiap situasi, tetapi setiap binatang semacam “sudah” tahu secara hormonal, yaitu bertindak seakan-akan dia sudah selalu tahu bagaimana dia harus memberi reaksi dan bertingkah laku. Dengan demikian tidaklah tertutup kemungkinan bahwa tingkah laku binatang itu dapat juga ditentukan oleh faktor-faktor yang tidak berasal dari warisan kelahiran; hal ini misalnya terdapat pada binatang verterbrata (binatang yang beruas tulang belakang), terutama pada jenisnya yang lebih tinggi. Pada binatang itu terdapat faktor “penempaan” atau penggemblengan dan faktor “belajar”. Faktor penempaan atau penggemblengan terjadi ketika kesan-kesan indrawi mempunyai pengaruh, dan dampak pada organ tertentu dari tubuh di dalam satu fase kehidupan tertentu yang sensibel. Dampaknya ialah bahwa kesan­kesan indrawi itu akan tetap menjadi ransangan yang menimbulkan reaksi dalam tempat­tempat rangsangan tertentu pada tubuh. Ahli etologi (ahli tentang tingkah laku binatang) menjelaskan bahwa melalui “proses tempaan itu” misalnya hubungan antara anak-induk menjadi stabil, orientasi seksual ditetapkan (tipe-tipe persahabatan: heteroseksualitas dan homoseksualitas). Cara-cara untuk memberi reaksi baru dapat diperoleh, ketika cara-cara bereaksi itu bersenyawa satu sama lain sesuai dorongan-dorongan melalui rasa sakit dan nafsu yang selalu terulang. Semakin tinggi berkembangnya jenis binatang tertentu, semakin mampu dia mengumpulkan pengalaman-pengalaman melalui “percobaan dan kekeliruan”, begitu juga semakin mampu dia mengubah tingkah lakunya lewat “belajar”, yaitu dengan cara mengambil alih tingkah laku dari yang lain. Perlengkapan instink menjadi kaku dan diperluas oleh peristiwa tempaan itu dan oleh tingkah laku yang dipelajari itu.
            Pada manusia ikatan automatis antara stimulus dan response berada di bawah pengawasan akal. Memang di satu pihak di dalam diri manusia tidaklah dapat dibedakan dengan jelas mana kerja instink dan mana rangsangan yang ditimbulkan oleh objek dari luar, tapi instink dan rangsangan dari luar dapat ditransformir oleh akal sedemikian sehingga pada tingkat tertentu manusia dapat membedakan dorongan-dorongan yang bekerja pada bidang yang berbeda-beda seperti dorongan makan untuk pertahanan hidup, dorongan seksual untuk pengembangbiakkan dsb. Tapi satu kenyataan yang harus diakui ialah bahwa semua dorongan yang bekerja dalam bidang yang berbeda-beda itu tidak dapat ditaksir dan tidak dapat diperhitungkan, sebab semua dorongan itu selalu terselimut dengan motif-motif tertentu yang berpengaruh dalam seluruh tingkah laku seperti dorongan seksual diselimuti juga oleh motif-motif prestise dana.
            Perbedaan utama yang terpenting adalah unsur terbaru baik dari pihak dorongan­dorongan maupun dari pihak objek-objek yang berkorespondensi dengan dorongan­dorongan itu. Manusia mampu bukan hanya untuk merasakan objek-objek yang berhadapan atau bersentuhan dengannya sebagai., kompleksitas rangsangan-rangsangan, tetapi juga untuk mengartikan dan menghargai objek-objek itu menurut realitas “Ada” yang melekat padanya, realitas apa adanya. Sampai pada taraf itu, manusia jtistru membangunkan satu etik dan satu ontologi yang kritis. Kemampuan dan dorongan untuk ,tingkah laku semacam itu berhubungan dengan satu tujuan yang berada melampaui tujuan dirinya sendiri dan melampaui tujuan untuk mempertahankan jenisnya. Karena itu manusia dapat mengelakkan perkembangbiakan demi kepentingan tujuan-tujuan yang lain; manusia dapat dengan sadar mengakhiri hidupnya atau dengan sadar mengarahkan perhatiannya pada hal-hal penting lainnya.
            Biologi perbandingan menunjukkan keistimewaan struktur tingkah laku pada manusia bahwa struktur tingkah laku manusia berada di bawah pengawasan akal. Kenyataan ini bermaksud untuk menunjukkan bahwa realitas manusia sudah memiliki (perbedaan hakiki dari binatang meskipun ada kesamaan dan keserupaan mendasar antara
keduanya dalam menjawab rangsangan dari luar secara intinktif. Tetapi kekhasan yang
dilukiskan itu belum juga menyelesaikan persoalan tentang akal manusia itu sendiri, apakah akal itu bersifat material atau tidak. Di antara binatang ada juga semacam “akal” yang menjadi pengawas tingkah laku mereka ketika kita memperhatikan bahwa mereka mempunyai kemampuan “belajar” dan dapat keliru seperti yang dilukiskan tadi.
1.2. Problematika pendekatan.
            Melalui tiga jalan pendekatan biologis yang disebutkan sebelumnya untuk masuk ke dalam pemahaman tentang hakikat manusia, orang dapat membuat satu kesimpulan umum bahwa biologi perbandingan justru menempatkan manusia sederajat dengan binatang. Memang ada perbedaan-perbedaan khas pada manusia seperti yang ditunjuk dalam ketiga pendekatan itu, tetapi hasil-hasil penelitian biologis memperlihatkan tidak adanya perbedaan esensial yang menyangkut hakikat hidup makhluk hidup seperti binatang dan manusia. Pertanyaan filosofis; muncul untuk mengkonfrontir metode pendekatan biologi perbandingan, yaitu bahwa apakah hakikat manusia itu sama dengan binatang; apakah manusia sederajat dengan binatang atau lain dari binatang. Di sanalah letak paradoksnya, yaitu bahwa manusia sederajat dengan binatang, di satu pihak dalam konteks biologi perbandingan dan di pihak lain berbeda dengan binatang dalam konteks penelitian terhadap keistimewaan-keistimewaan yang disebut di atas.
            Orang coba memecahkan paradoks yang disebut terakhir itu (sederajat dengan binatang atau berbeda dengan binatang?) dengan merujuk kembali pada data-data yang dihasilkan biologi perbandingan, khususnya data-data tentang usaha makhluk hidup seperti manusia dan binatang, untuk memenuhi kebutuhan pokoknya dan untuk mencapai tujuan pertahanan diri dan jenisnya. Pendekatan pertama untuk mengatasi paradoks itu berpusat pada konsepsi yang melihat manusia sebagai “hakikat yang cacat” sebagaimana ditandaskan oleh Arnold Gehlen. Bila manusia itu dilihat sebagai satu “hakikat yang
cacat”, maka seluruh kekurangan atau cacat cela yang melekat padanya dikompensasikan oleh kemampuan dirinya untuk menutup kembali cacat celanya itu. Misalnya, manusia mengkompensir kekurangan-kekurangan dengan berpakaian untuk menutup tubuhnya yang kekurangan buluh, dengan bersenjata seperti pentungan dan senjata atom manusia
mengkompensir senjata gigi yang tidak tajam dan mengambil alih ketrampilan “mencuri” pada binatang, atau dengan membentuk institut sosial ia (manusia) sebetulnya mengkompensir daya-daya instink yang terorganisir di dalam dirinya seperti yang terjadi dalam binatang. Tentu saja cacat yang digambarkan itu berhubungan dengan perlengkapan­perlengkapan yang ada pada binatang dalam rangka pemenuhan kebutuhan pokok dan pertahanan dirinya serta jenisnya. Tampak bahwa memang kompensasi itu tidak berjalan menurut satu norma khas manusia, tetapi satu daya pengimbang yang harus ada demi pemenuhan kebutuhan pokok dan pertahanan diri manusia. Dengan demikian di balik konsepsi tentang manusia sebagai hakikat yang cacat ini terletak satu pemahaman bahwa sebetulnya manusia itu sederajat dengan binatang. Kekhasan-kekhasan yang dimilikinya tidak lain dari pada kompensasi terhadap kekurangan-kekurangan yang ia miliki dalam proses pemenuhan kebutuhan, pertahanan diri dan jenisnya. Kelemahan dari konsepsi manusia sebagai hakikat yang cacat ialah bahwa konsepsi ini justru menempatkan cara binatang sebagai ukuran yang dikenakan pada manusia. Ukuran itu ditarik dari cara binatang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, untuk mempertahankan hidupnya dan melanjutkan turunannya. Kita menafsirkan tingkah laku dan susunan badan dari binatang dengan ungkapan-ungkapan yang antropomorfisme, yaitu ungkapan-ungkapan tentang binatang seakan-akan binatang itu adalah manusia; dengan ungkapan-ungkapan itu pula kita mendapat kesulitan untuk secara kritis menentukan batas-batas antropomorfisme. Sebaliknya juga, kita coba mengartikan tingkah laku manusia dengan merujuk kepada tingkah laku yang telah ditafsirkan dari dunia binatang. Atas cara ini terciptalah pengertian kita tentang binatang dan juga pengertian kita tentang manusia tanpa satu pengetahuan yang diteliti secara objektif. Juga indikasi tentang asal usul yang sama antara manusia dan manusia-kera dengan bertolak dari satu ikatan jenis yang sama hanya menjamin identitas kedua bentuk kehidupan itu menurut hakikatnya. Itu hanya bisa diandaikan bila dalam perjalanan evolusi tak terjadi sesuatupun yang baru. Karena itu orang mau tidak mau menyetujui pendapat W. Schulz: “Dorongan untuk mempertahankan diri menurut pendapat Gehlen pada dasarnya berfungsi sebagai satu prinsip abstrak yang menjadi titik tolak dan
sasaran untuk interpretasi”. Secara lebih tajam dikatakan: “Gehlen bertolak dari satu metafisika biologis.”
            Pendekatan kedua dari paradoks tersebut, bahwa manusia merupakan satu dari binatang dan secara serempak berbeda dari binatang, berasal dari pandangan Dualisme yang melihat manusia sebagai yang terdiri dari dua komponen, yaitu tubuh yang dikendalikan oleh dorongan-dorongan naluri seperti pada binatang dan Roh yang merupakan kekhususannya. Pandangan Dualisme ini coba diperlunak oleh gagasan Max Scheler dalam karyanya “Die Stellung des Menschen im Kosmos”. Max Scheler berpendapat bahwa kekhususan atau kekhasan pada manusia ialah kemampuannya untuk mengatakan “Tidak” kepada dorongan-dorongan naluriah. Kemampuan untuk mengatakan “tidak” kepada dorongan-dorongan itu adalah Roh yang keberadaannya sudah terserap di dalam dorongan dan naluri-naluri. Karena itu di dalam lapisan terdalam dari eksistensi manusia, di dalam lapisan tersebut yang menjadi milik bersama dari semua dorongan hidup, manusia justru sudah memiliki kemampuan vital roh. Eksistensi roh ini merentang dari ruang lingkup yang gelap di dalam lapisan terdalam dari manusia menuju tingkat kesadaran sampai ke tingkat kesadaran yang paling cerah pada puncak tertinggi yang disebut ‘PRIBADI” sebagai bentuk eksistensi yang menjadi milik khas manusia. Tempat metafisis yang melingkupi realitas hakikat manusia menurut Scheler terletak di antara dua ujung kutub, yaitu antara realitas ilahi dan realitas kebinatangan atau antara dunia ilahi dan dunia binatang. Manusia bcrdiri sebagai jembatan penghubung antara kedua realitas itu, dan satu fenomen yang menunjukkan bidang kontak itu adalah rasa malu. Rasa malu hanya secara hakiki terdapat pada manusia. Dunia binatang dan dunia ilahi tidak mengenal rasa malu. Namun pandangan Max Scheler tidak menghilangkan sama sekali unsur dualistis dalam konsep tentang manusia, karena tubuh dan roh masih merupakan dua unsur yang dapat dibedakan. Problem Dualisme tidak membantu kita untuk menangkap kesatuan manusia itu secara utuh. Dualisme sering meremehkan kenyataan bahwa tubuh manusia sama sekali lain dari pada binatang, baik dalam bentuk atau figurnya yang khas, yang di dalamnya “jiwa” manusia menemukan ungkapannya yang luar biasa, maupun dalam caranya yang khas untuk
memiliki satu badan. Manusia bukanlah setengah binatang, setengah malaikat, tetapi “manusia sebagai satu keseluruhan yang utuh.”
            Untuk melihat manusia sebagai satu keseluruhan yang utuh itu, cara penglihatan biologis (optik biologis) harus direlativir untuk mengesampingkan cara pendekatan yang mereduksi realitas manusia kepada realitas makhluk hidup lain seperti manusia-kera. Cara pendekatan seperti itu bukanlah satu-satunya pendekatan dan juga, bukanlah satu cara utama yang kita pakai untuk melukiskan hakikat manusia. Dari sisi fenomen-fenomen masih terdapat banyak pendekatan ilmu pengetahuan tentang manusia, pendekatan-pendekatan yang harus diperhatikan seperti Ethnologi, Psikologi, Medizin, Sosiologi, Ilmu Agama, Ilmu Musik dsb. Ilmu-ilmu pengetahuan ini mempelajari bentuk-bentuk dan dasar-dasar perbuatan manusia, bentuk-bentuk dan dasar-dasar dari pergaulan manusia satu dengan yang lain, hasil usahanya, dan juga struktur batiniah dari hasil-hasil ciptaannya yang khas, juga struktur batiniah si ilmiawan sendiri. Kalau kita berpegang teguh pada ilmu-ilmu pengetahuan itu, maka kita harus melakukan itu dengan kesadaran bahwa ilmu-ilmu pengetahuan itu menyusun juga apa yang perlu untuk interpretasinya, yaitu menyusun pengalaman-pengalaman hidup yang biasa. Dari sisi gejala-gejala yang dapat dimengerti haruslah ditemukan satu bidang yang bisa lolos dari dilemma yang dilukiskan itu, karena dilema itu didasarkan pada pandangan bahwa baik manusia maupun manusia-kera (dan binatang-binatang serupa) dimengerti dalam konteks pengertian umum tentang dunia binatang dengan tidak memperhitungkan lebih dahulu elemen khas manusia, sehingga untuk menentukan hakikat manusia terjadilah proses reduksionisme biologis atau Dualisme sebagai jalan pemecahannya.
            Bidang teoretis yang menjadi dasar untuk pengolahan tentang hakikat manusia secara adekuat adalah bidang Ontologi. Bidang ini membicarakan manusia sebagai “satu realitas Ada” secara tersendiri. Realitas “Ada” dari manusia berbeda dari realitas “ada” dari
binatang. Karena itu pendekatan ontologis tentang manusia justru mengalahkan pendekatan biologi perbandingan yang diuraikan sebelumnya. Di dalam bidan ontologis haruslah dipenuhi tiga tuntutan berikut.
  1. Harus ada satu pengertian umum yang mencakup baik dunia binatang dengan cara hidupnya yang berbeda-beda maupun dunia manusia dengan kekhasannya. Pengertian umum itu hanya dapat dikonstruksikan dari pengertian ontologis yaitu pengertian yang dirumuskan dalam bentuk satu kata, term atau rumusan, tapi pengertian yang dirumuskan itu harus mewakili segala bidang kehidupan. Satu pengertian umum yang mencakup baik dunia binatang maupun dunia manusia dapat ditemui dalam rumusan bahasa Indonesia “lmakhluk hidup”. Malaikat dan roh tidak tercakup dalam pengertian itu. Sedangkan kata “zoon” dalam bahasa Yunani menunjuk kepada dunia binatang, dunia manusia bahkan dunia ilahi, tetapi tidak termasuk dunia tumbuh-tumbuhan. Dalam bahasa Jerman, kata “Lebewesen” (makhluk hidup) cuma mencakup dunia tumbuh-tumbuhan, binatang dan dunia manusia, sedangkan dunia ilahi cuma dimengerti dalam arti metaphoris. Kedua pengertian itu (Zoon dan Lebewesen) tidak cocok untuk diterima sebagai satu pengertian ontologis, karena pengertian ontologis justru menuntut pemahaman yang memperlihatkan pembedaan ontologis antara makhluk-makhluk hidup itu, juga pembedaan ontologis antara manusia dan binatang. Karena itu orang memilih saja ungkapan yang berasal dari satu kata buatan yang diciptakan sendiri oleh para pengamat filsafat manusia, yaitu Subjek dan subjektivitas, yang akan dibicarakan kemudian.
  2. Pertanyaan tentang hakikat dari sesuatu hal harus berkaitan dengan pertanyaan tentang ada tidaknya pembatasan antara hakikat sesuatu hal dengan hakikat hal yang lain, misalnya antara hakikat seekor binatang dan hakikat seorang manusia. Dengan kata lain, apakah realitas “Ada” pada satu makhluk berbeda dengan realitas “Ada” pada makhluk lain. Ontologi berusaha menggeluti soal itu, dan kalau ada perbedaan antara realitas “Ada”, maka dalam Ontologi orang perlu merefleksikan juga apakah ada ide terakhir yang mencakup segala-galanya. Ide terakhir itu adalah ide tentang Realitas “Ada”, yang berdiri melampaui semua penampilan lahiriah dari realitas “Ada” yang berbeda-beda itu. Dan kalau tidak ada perbedaan antara Realitas “Ada” dalam setiap makhluk, maka pertanyaan lebih lanjut dalam Ontologi ialah bahwa Realitas “Ada” macam mana yang dapat direfleksikan pada manusia. Ontologi yang berbicara tentang hakikat makhluk hidup atau Realitas “Ada” dalam makhluk hidup tentu berhubungan erat dengan Filsafat Antropologi, dan bila Ontologi bergelut tentang hakikat atau Realitas “Ada” dalam diri manusia, Ontologi semacam ini merupakan bagian dari Filsafat Antropologi .
  3. Pengertian tentang hakikat manusia merupakan hasil dari satu penafsiran tentang fenomen-fenomen (gejala-gejala) yang tampak dari manusia. Dengan demikian kegiatan menafsir yang dijalankan oleh manusia yang satu hanya terbatas pada daya teropongnya yang bersifat sebagian. Kegiatan menafsir itu selalu bergantung kepada situasi dan kondisi si penafsir. Justru keterbatasan kegiatan menafsir inilah yang mencerminkan masalah “Fenomenologi” dan “Ontologi”: Sejauh mana penafsiran terhadap fenomen-fenomen yang tampak dalam diri manusia menyentuh sesuatu yang menjadi inti atau hakikat atau Realitas “Ada” dalam manusia itu.
1.3. Pengertian tentang Subjek.
            Kata “Subjek” berasal dari bahasa Latin: Sub + iacere (di bawah + melemparkan, menundukkan). Kata jadian yang berasal dari “sub+iacere” adalah “subicere”: melemparkan atau meletakkan ke bawah. Dalam pengertian filosofis kata “subjek” dikenakan kepada manusia sebagai satu hakikat yang memiliki realitas keberadaan (das Seiende) tersendiri. Dengan bertolak dari pengertian bahasa dan pengertian ontologis tentang realitas keberadaannya, kita coba memperkenalkan satu pengertian tentang Subjektivitas sebagai realisasi kesatuan dan Subjektivitas sebagai “Sesuatu yang berada dalam dunia”.
1.3.1. Subjektivitas sebagai satu realisasi kesatuan.
            Subjektivitas bertolak dari ide tentang sesuatu sebagai satu realitas “ada” (das Sein = Realitas “Ada” = Realitas yang benar) dan tentang kesatuan yang melengkapi dan mengokohkan realitas “ada” itu. Antara realitas “ada” dan kesatuan terjalin hubungan yang saling mendukung. Di mana kita menemukan “realitas ada”, di sana kita juga menemukan kesatuan, begitu juga sebaliknya, di mana kita menemukan “kesatuan”, di sana kita menemukan “realitas ada”. Semakin sedikit sesuatu itu tampil sebagai sesuatu yang real, semakin kurang hal itu menemukan kesatuan yang asli. Bila kita berbicara tentang “satu
kesatuan”, maka kita pertama-tama berpikir tentang unsur jumlah: 1+1+1+1……..Satu kesatuan memang terbentuk atas cara ini, bahwa unsur-unsurnya memiliki sesuatu yang menjadi milik bersama dan serempak menjadi satu ketersendirian yang unik. Dengan demikian, setiap unsur yang membentuk satu kesatuan itu memiliki “keterpaduan” (Geschlossenheit) yang memperlihatkan ketersendiriannya yang unik dan serempak keterbukaan terhadap yang lain untuk diterima ke dalam satu kesatuan yang lebih besar dari unsur itu. Melalui kedua sifat ini setiap elemen dapat “diterima” semata-mata sebagai “satu”; ia terpadu secara ke dalam dan terbuka untuk dapat bersatu dan bergabung dengan yang lain. Kesatuan yang terbentuk itu dapat saja mengalami perubahan “jati-diri” yang berasal dari dalam dirinya sendiri atau juga yang berasal dari kemungkinan peleburan bagian-bagiannya ke dalam satu keseluruhan yang lebih besar dari kesatuannya. Bila kita menganalis satu benda atau satu makhluk hidup seperti binatang dan manusia sebagai realitas “ada” dalam terang ide satu kesatuan itu – seperti sebuah batu yang ditemukan di satu tempat, sebuah objek yang dapat dipakai, seekor anjing, seorang manusia – maka tampaklah satu kesatuan yang terwujud secara intens dan padat, yaitu satu intensitas yang tampil sejalan dengan urutan jenjang-tingkatan yang dikenal di dalam tata tertib realitas “Ada”, seperti satu kesatuan yang tenvujud secara intens pada sebuah batu tentu lain dari satu satu kesatuan yang terwujud secara intens pada seekor anjing. Melalui contoh itu, pengertian tentang subjektivitas sebagai realisasi kesatuan menerima arti menunit bentuk luar dan menurut ketahanan hasil keterpaduannya. Dengan bertolak dari paham tentang kesatuan (keterpaduan dan keterbukaan terhadap yang lain), sebagaimana elemen-elemen ini menampilkan diri kepada pengamatnya, kita berangkat menuju pembahasan tentang dua sifat dari kesatuan yang disebut di bawah ini.
a. Jenjang pembentukan jati-diri objektif dan keseluruhan.
            Saya memegang “satu” batu di tangan saya. Kita bertanya: “Apa yang menjadi dasar kesatuan batu ini? Sifat kesatuan atau unsur khas dari bahan-bahan materialnya hampir tidak memainkan peranan. Hal yang lebih penting adalah keterpaduan bentuknya (bahwa orang dapat memperhatikan permukaannya dari satu sisi ke sisi yang lain secara
keseluruhan, atau bahwa batu ini dapat berguling dalam kesatuan). Apakah orang memperhatikannya dalam waktu yang agak lama atau sekilas, batu itu toh tetap memperlihatkan keseluruhannya. Satu bentuk geometris yang teratur memudahkan kita untuk menjatuhkan penilaian kita terhadapnya, apabila kita memecahkan batu itu menjadi dua bagian lalu mempertanyakan apakah batu yang satu itu menjadi dua keping batu dari satu batu yang sama atau dua buah batu yang berbeda. Dengan mengamati, memperhatikan dan mengukurnya menjadi pentinglah kegiatan menafsir kita untuk mendekatinya menurut tujuan dan model penggunaan benda itu. Tujuan dan model penggunaan benda itu dimengerti sebagai tujuan dan model yang secara jelas menunjuk kepada satu kesatuan yang jelas atau satu keterpaduan yang tampak dalam keseluruhan bentuknya (mis. bola atau pisau), kesatuan yang mendapat pembatasan tajam oleh karena tujuan penggunaannya. Tujuan penggunaan dari benda itulah yang menentukan kesatuannya dan oleh karena tujuan tertentulah benda itu dibuat. Dari pengertian tentang tujuan itulah kita dapat mengenal bahwa bagian-bagian yang terpisah dapat menunjuk kepada keseluruhannya dan dapat menyatu juga ke dalam keseluruhannya; dari situ kita dapat menilai bahwa perubahan macam mana dapat mengancam identitas benda itu dan perubahan-perubahan macam mana tidak menghilangkan identitas benda itu. Dari itu pulalah kita dapat melihat keadaan keseluruhan dari benda itu sebagai sesuatu yang penuh cacat dan retak. Pengertian tentang tujuan justru berfungsi sebagai prinsip kesatuan satu benda atau objek.
            Ide tentang prinsip kesatuan itu dikenakan juga pada interpretasi kita tentang makhluk hidup. Di dalam makhluk hidup terdapat tujuan di dalam dirinya sendiri. Keberadaannya memiliki karakter yang bersifat ganda, yaitu sebagai satu individuum dan sebagai makhluk dari satu jenis atau spesies. Individuum menunjuk kepada jati-diri objektif dari satu makhluk, dan jenis atau spesies yang disandangnya menunjuk kepada keseluruhan yang di dalamnya individuum termasuk. Dalam keseluruhan kodratnya makhluk hidup tidak terlepas dari tempat dan fungsinya untuk membangun keseluruhannya. Jika seandainya arti keberadaan makhluk itu terletak dalam fungsinya, maka keseluruhan yang menjadi sasaran jalinan antara jenis jenisnya tidak punya arti, sebab keseluruhannya
hanya dapat memiliki satu eksistensi yang real di dalam setiap makhluk hidup dari jenis yang sama. Tetapi arti keberadaan makhluk hidup tidak terletak dalam fungsinya. Setiap makhluk hidup memikul di dalam dirinya satu prinsip kediriannya (prinsip jati-diri objektif) yang sangat jelas terlihat dalam realisasi diri seperti memnertahankan diri, mengembangkan diri melalu metamorfose, pertukaran zat-zat kimiawi, pengembangan diri atau
perubahan lainnya. Serempak pula, makhluk hidup ini juga memiliki di dalam dirinya
dan melalui dirinya prinsip keseluruhan, dan prinsip ini bukan hanya terwujud di dalam proses pengembangan struktur kodrati dari keberadaan makhluk itu sendiri, yang mencakup juga unsur-unsur atau bagian-bagian yang tidak lagi ada, tetapi juga terwujud sedemikian rupa sehingga prinsip itu sendiri merupakan asal usul dinamis untuk perkembangan dari bagian-bagian yang termasuk dalam keseluruhan itu (seperti organ-organ dan fungsi-fungsinya), yaitu untuk regenerasi (regenerasi untuk bagian-bagian lama yang harus diganti) dan kompensasi (kompensasi untuk bagian-bagian yang tak berfungsi) dari bagian-bagian itu.
b. Jenjang perwujudan kesatuan yang melekat pada sifat subjek.
            Kita mengambil contoh dengan menderetkan benda dan makhluk hidup: batu, pohon, binatang dan seorang manusia. Tampaklah pada kita bahwa prinsip kesatuan pada batu berbeda dengan prinsip kesatuan pada pohon, dst. Pertanyaan kita ialah bahwa di mana letak perbedaan prinsip antara mereka itu. Prinsip kesatuan apa yang berbeda? Prinsip kesatuan batu tidak memiliki prinsip kesatuan batiniah; yang ada di sana adalah prinsip kesatuan yang bersifat instrumentalis seperti yang sudah ditunjuk sebelumnya. Sedangkan prinsip kesatuan makhluk hidup memiliki prinsip kesatuan batiniah, meskipun prinsip kesatuan sebatang pohon lebih kecil dari binatang, dan prinsip kesatuan seekor binatang lebih kecil dari manusia.
            Mengapa benda-benda material seperti batu tidak memiliki kesatuan batiniah dan hanya kesatuan yang bersifat instrumentalis? Benda-benda material seperti batu tidak berada untuk dirinya. Hakikatnya hanyalah satu kesatuan tertutup yang berada di tempat ini dan serempak merupakan sesuatu yang bukan benda yang lain. Hakikat keberadaan model
ini sebetulnya hanya dapat dipahami dalam konteks pengamat. Hakikat keberadaannya sendiri sebagai “kemampuan berada untuk” atau “kemampuan untuk mempunyai tujuan di dalam dirinya” tidak ada. Pengamat menaruh tujuan penggunaan benda material itu.
            Kemampuan berada untuk atau kemampuan untuk memiliki tujuan di dalam dirinya hanya berlaku untuk makhluk hidup. Kemampuan berada untuk atau kemampuan untuk memiliki tujuan di dalam dirinya diartikan sebagai kemampuan refleksivitas yang dimiliki makhluk hidup sebagai satu realitas “Ada”. Kegiatan refleksivitas ini tercermin dalam kegiatan aktif-pasif dari makhluk hidup itu sendiri. Kegiatan refleksivitas dengan daya aktif-pasif ini terserap di dalam dinamika dorongan kehidupan makhluk hidup itu sendiri. Daya “aktif” terarah kepada aktivitas gerak-laku ketika berhadapan dengan rangsangan dari luar seperti ketika berhadapan dengan musuh atau berhadapan dengan pasangannya, sedangkan daya “pasif” terarah kepada posisi “menantikan” rangsangan dari luar. Kegiatan refleksivitas aktif-pasif ini berkorelasi secara intrinsik di dalam dinamika dorongan­dorongan itu, dan perkembangan korelasi aktif-pasif itu bersifat evolutif dan ontogenitis, dalam arti bahwa pada tumbuhan misalnya dinamika dorongan yang berpusat pada refleksivitas pasif lebih menonjol dari pada aktif. Aktivitas dan pasivitas memiliki intensitas berbeda dan terpisah.
            Indikasi refleksivitas yang bersifat aktif-pasif pada binatang kita kenakan pada manusia dalam tingkat tertentu. Pada manusia kegiatan refleksivitas yang bersifat aktif-pasif berkembang pesat dan khas. Identitas individual pada manusia menonjol. Tidak lagi ditekankan arti dari spesies tertentu, tetapi arti individual dan arti sosial dari realitas manusia. Dalam lingkungan sosial, manusia memainkan peranan yang bermacam-macam, membentuk hubungan dan fungsi yang beragam, tetapi dalam lingkungan individual dia tetap menyandang identitas yang sama. Prinsip identitas ini otonom, dan dari sana beraksilah pusat atau sentrum untuk segala macam kegiatan dan fungsi. Dalam prinsip individual yang otonom dan sosial ini tugas manusia adalah senantiasa untuk mengintegrasikan dan memperjuangkan keseluruhan dirinya, dan tugas ini justru melampaui tugas biologis semata-mata seperti pada makhluk hidup lain (memper­tahankan
hidup dan melanjutkan keturunan). Karena tugasnya ini melampaui tugas biologis,
maka tugas ini menyentuh satu bidang yang melampaui dunia fisis, dan itu hanya
tercermin dalam ide atau gagasan tentang tugas untuk memperjuangkan dan mencapai satu “hidup yang penuh arti”. Di dalam horison hidup yang berarti inilah tugas pengintegrasian itu terlaksana. Proses ini mau tidak mau harus melibatkan juga “realitas ada” yang lain, yaitu realitas manusia yang lain. Mengintegrasikan diri untuk membangun keseluruhan berarti berusaha untuk mengenal “realitas lain”, dalam hal ini manusia lain sebagai individu sekaligus realitas lain yang berhadapan dengan kita. Dalam mengenal yang lain sebagai satu realitas keberadaan yang berbeda, maka diri sendiri atau jati diri juga “dikenal”. Dengan demikian dalam proses mengenal dan dikenal, dalam proses mewujudkan jati diri dan realitas yang lain, kegiatan mengenal dan dikenal itu, menghargai dan dihargai itu, mencintai dan dicintai itu adalah identis. Di sinilah letak penghayatan kesatuan dalam jenjang yang tertinggi, yaitu mengenal di dalam yang mengenal, mencintai di dalam yang dicintai.
            Dalam penghayatan kesatuan yang dilukiskan di atas, baik orang yang mengenal maupun orang yang dikenal berdiri dalam satu kesatuan yang terpisah. Jati diri individu yang satu berbeda dari jati diri individu yang lain, tapi hubungan keduanya membanguni satu kesatuan tanpa peleburan. Keberadaan seperti itu atau kesadaran seperti itu kita sebut “subjek”, yaitu satu keberadaan yang menyikapi diri sendiri dengan cara menyikapi orang lain. Kata “subjek” ini lalu menjadi satu “lintas-pengertian” yang dalam kategori ontologis dapat menjadi satu tanda pengenal hakikat manusia. Persoalannya  ialah bahwa para filsuf
belum memecahkan apakah kata “subjek” dapat dikenakan kepada binatang dan tumbuh-tumbuhan (persoalan filsafat pengetahuan alam). Tetapi untuk seorang pakar filsafat manusia kata “subjek” sudah bisah dijadikan ide penuntun untuk analisa tentang realitas manusia.
            Di dalam pokok di atas disebut jenjang perwujudan kesatuan yang melekat pada sifat subjek. “Yang melekat pada, sifat subjek” tidak disamakan dengan “subjektif”. Subjektif berkonotasi, dengan semau hati atau tidak objektif. Yang melekat pada sifat
subjek berarti sifat yang berpautan dengan “subjektivitas”, dan subjektivitas itu sendiri berarti “cara berada dari realitas manusia”, yaitu cara berada yang melipiiti baik kesadaran maupun ketidaksadaran dan unsur-unsur psiko-biologis.
1.3.2. Subvjktivitas sebagai “Berada-dalam-dunia” (In-der-Wett-Sein).
            Manusia dan binatang membangun satu lingkungan hidup yang di dalamnya manusia dan binatang serta makhluk-makhluk hidup lainnya  ada bersama dan berdampingan. Tetapi lingkungan hidup manusia dan lingkungan hidup binatang berbeda, meskipun dalam tingkat tertentu untuk lingkungan hidup keduanya sudah tersedia prasyarat yang sama untuk peristiwa kehidupan yang bersifat intra-organis. Perbedaan yang mencolok antara lingkungan hidup manusia dan lingkungan hidup binatang ialah makna kata “subjek” yang melekat pada manusia. Benda-benda dan makhluk hidup lain adalah sesuatu apa adanya, sedangkan subjek yang melekat pada manusia adalah pelaku yang menjawabi pertanyaan bagaimana dan terhadap apa dia bersikap. Pengertian “dunia” bertolak dari sikap subjek ini, karena itu kita bisa memahami sikap subjek yang mengerti dunia dalam arti keseluruhan, seperti dunia manusia, dunia binatang dan dalam arti tertentu seperti dunia orang tua, dunia remaja dsb.
            Pengertian “dunia” yang terakhir ini merupakan satu pengertian antropologis yang harus dibedakan dari pengertian kosmologis. Secara formal, dunia berarti totalitas atau keseluruhan. Dalam arti kosmologis dunia berarti keseluruhan realitas yang ada sebagaimana adanya an sich dan yang saling berhubungan dan pengaruh mempengaruhi. Dalam arti antropologis, dunia berarti keseluruhan realitas yang berhubungan dengan subjek dan mempunyai arti tertentu untuk subjek. Secara konkret dan linguistis, dunia ini ditandai dengan atau dihubungkan dengan bentuk Genitif substantif seperti dunia buruh (“buruh” adalah Kata benda yang berbentuk Genitif dalam kaca mata bahasa barat), dunia perempuan, dunia anak-anak, dsb. Dengan demikian secara formal arti dunia dalam pengertian antropologis dan kosmologis berbeda. Dunia dalam pengertian antropologis bukan cuma sebagian dunia dalam arti kosmologis, tetapi satu realitas relasi antara tindak-tanduk tertentu dari subjek dengan dunia di luar subjek. Dan ungkapan relasi ini tentu
terbatas dan relatif, sebab tindak-tanduk dan cara si subjek dalam membentuk relasi tergantung pada apakah dunia di luar subjek punyai arti tertentu untuk subjek yang bersangkutan. Dalam arti ini, pengertian dunia semakin lebih sempit, karena subjek-subjek yang hidup dalam dunia itu memiliki dunianya sendiri. Dunia si A berbeda dengan dunia
si B.
            Meskipun dunia si A berbeda dengan dunia si B atau dunia dari subjek yang satu berbeda dari dunia dari subjek yang lain, namun semua manusia dalam proses perkembangannya memiliki alur atau jalan hidup yang sama. Alur hidup itu adalah dunia manusia sendiri, yang bercirikan kesadarannya yang terbuka terhadap dunia yang lain, terutama terhadap dunia manusia yang lain. Kesadaran yang terbuka ini tercermin dalam sikap “merasa senasib” dengan manusia lain dalam dunia yang sama, menaruh empati terhadap yang lain, solider, bersikap sosial bahkan mampu merobah atau memodifisir dunianya sendiri. Subjektivitas sebagai sesuatu yang berada dalam dunia tidak lain dari pada “dunia manusia” yang tidak hanya tinggal dalam dunia ini, tapi yang bertanggung jawab untuk mengolah dunia menjadi miliknya.
1. 4. Mencari kesatuan pengertian tentang manusia.
            Kita mencari pengertian tentang hakikat manusia. Ada dua persoalan yang mau digeluti di sini. Apakah manusia yang berbeda-beda itu memiliki hakikat yang sama? Karena pengertian tentang manusia selalu bergantung kepada cara berpikir, kebudayaan dan sejarah peradaban dsb., maka persoalan kedua yang hendak digeluti ialah bahwa apakah ada pengertian universal tentang manusia?
1.4.1. Kesatuan hakikat?
            Pengertian tentang hakikat hendaknya digunakan untuk semua unsur dari satu kelas makhluk hidup, dan dibuat sedemikian sehingga pengertian itu memberikan satu iktisar dasar tentang realitas hidup makhluk yang bersangkutan. Begitu juga halnya dengan usaha untuk memberi pengertian tentang hakikat manusia. Pengertian ini harus menyentuh hal yang hakiki pada manusia, dan perlu dirumuskan melalui “definisi” yang jelas tentang
realitas makhluk manusia. Defenisi yang jelas ini harus memuat satu identitas tetap di dalam semua keanekaragaman manusia dan satu realitas yang tetap di dalam proses hidup manusia sejak kelahirannya sampai kematiannya.
            Realitas yang tetap ini dapat kita amati sejak dulu sampai sekarang. Unsur-unsur yang sama itu adalah seperti bahasa, teknik, cara berpikir abstrak dan lain-lain. Manusia zaman kuno, kecuali manusia-kera, sampai manusia dewasa ini mempunyai kemampuan­kemampuan yang mendasar itu. Kemampuan-kemampuan yang mendasar itu merupakan bagian dari definisi tentang hakikat manusia.
            Tese tentang realitas manusia, yaitu satu realitas yang tinggal tetap sejak dulu sampai sekarang, dapat dilihat dari dua sisi: Pertama, tidak ada sama sekali kesatuan hakikat manusia. Yang ada hanyalah gejala-gejala lahirah yana coba dianalogikan sebagai
gejala-gejala sama yang memberi kesan seakan-akan ada hakikat yang sama. Kedua, ada pendapat bahwa memang ada kesatuan hakikat yang dijenjangkan secara analog pada realitas manusia. Dari semua manifestasi terdapat derajat yang sama, dan itu hanya dapat dipahami bila manifestasi-manifestasi itu berasal dari hakikat yang sama.
            Penjelasan tentang tese pertama bahwa tidak ada sama sekali kesatuan hakikat manusia adalah demikian. Peralihan dari unsur-unsur hakiki pada binatang menuju unsur­unsur hakiki pada manusia tampak tidak jelas. Begitu pula pembedaan unsur-unsur hakiki pada manusia yang satu dengan manusia yang lain tampak tidak jelas. Pembagian yang telah dibuat dalam pengelompokkan jenis makhluk hidup, termasuk juga manusia, dibuat sewenang-wenang, karena orang tidak bisa menentukan sejenak kapan sesuatu  makhluk disebut “manusia”. Juga pengelompokkan manusia berdasarkan kulit, ras, suku dsb.; pembagian ini juga bersifat sewenang-wenang, karena hal ini hanya menyentuh gejala lahiriah dan penampilan lahiriah manusia yang satu dengan manusia yang lain. Orang tidak boleh dengan mudah menyimpulkan bahwa ada perbedaan hakikat; penetapan yang tampak sewenang-wenang itu hanya menunjuk kepada cara-cara berada dan gejala-gejala lahiriah dari realitas makhluk hidup dan realitas manusia. Perbedaan-perbedaan ini juga sama sekali tidak menunjukkan perbedaan hakikat atau kesatuan hakikat.
            Penjelasan tentang tese kedua bahwa memang ada kesatuan hakikat pada manusia adalah demikian. Semua manifestasi kehidupan manusia berasal dari satu hakikat yang
sama. Ada kesatuan hakikat. Hal ini dapat diphat dari perkembangan daya-daya manusia yang menunjuk kepada pembentukan hakikat yang sama. Daya-daya itu terwujud umpamanya melalui teknik. Dalam pengembangan teknik, mulai dari teknik yang paling sederhana sampai kepada teknik yang paling canggih, sudah tersirat adanya satu daya untuk memenuhi tujuan yang sama, yaitu untuk menjawabi tantangan dunia. Teknik merupakan hasil kemampuan manusia untuk menjawabi tantangan dunia itu. Melalui teknik realitas hakiki manusia diungkapkan; semacam tercermin adanya kesatuan hakikat melalui “kemampuan-kemampuan” yang terwujud dalam pengembangan teknik serempak pula kemungkinan-kemungkinan baru untuk penemuan teknik. Dengan tese yang kedua ini muncullah kritik tajam terhadap penilaian sementara orang bahwa oleh karena perbedaan perkembangan teknik kebudayaan sebelumnya lebih rendah dari pada kebudayaan sesudahnya. Atas kriteria apa penilaian semacam itu dibuat? Dalam sejarah kebudayaan ternyata ada jalur jalur tetap yang bertahan, jalur yang menunjukkan kesatuan realitas manusia, meskipun jalur-jalur tetap itu terperangkap dalam perubahan waktu. Jalur tetap itu adalah kemampuan manusia untuk menjawabi tantangan dunia melalui penemuan dan pengembangan teknik.
1.4.2. Universalitas Dalam Hal Mengerti tentang manusia. (Kesatuan Pengertian tentang Manusia)?
            Kita bermaksud untuk mencari satu kesatuan pengertian tentang manusia. Kesatuan pengertian yang dimaksud hendaknya memuat satu pemahaman utama tentang realitas manusia. Tetapi masalahnya ialah bahwa ketika kita mengolah pengertian kita tentang manusia dengan bertitik tolak dari pengalaman-pengalaman umum, ketika itu pula pengertian kita sudah terkondisikan oleh lingkungan, sejarah dan kebudayaan kita. Karena itu tak bisa pengertian yang kita olah itu ditetapkan begitu saja kepada lingkungan, sejarah dan kebudayaan dari orang-orang lain di luar lingkungan, sejarah dan kebudayaan kita.
            Disposisi negatif yang muncul dari usaha untuk menetapkan pengertian kita kepada lingkungan kebudayaan lain adalah disposisi ethnosentrisme dan disposisi relativisme. Disposisi ethnosentrisme adalah disposisi (sikap batin) yang memandang kebudayaan kita sendiri, adat istiadat, pandangan hidup, institusi sosial, norma-norma hidup sebagai yang sungguh-sungguh manusiawi dan benar. Karena itu kelompok sosial dari lingkungan budaya dan pandangan hidup yang lain perlu dituntut untuk mengakui norma, nilai dan ideologi yang kita miliki. Kelompok sosial lain perlu dituntun untuk menghayati norma, nilai dan ideologi yang kita miliki. Disposisi ethnosentrisme ini memandang kebudayaan sendiri lebih tinggi dari pada kebudayaan lain. Sementara itu, disposisi relativisme adalah disposisi yang memandang sama saja semua pengertian dan pemahaman, baik pengertian dan pemahaman yang berasal dari lingkungan kebudayaan sendiri, maupun pengertian dan pemahaman yang berasal dari lingkungan kebudayaan lain. Tidak ada satu kebenaran mutlak yang terkandung dalam pengertian dan pemahaman itu! Di satu pihak para penganut paham relativisme bersikap toleran terhadap orang yang berpendirian lain, tetapi di lain pihak para penganut paham itu bersikap acuh tak acuh dan kurang peduli akan tuntutan kebenaran yang mungkin diperoleh dari kebudayaan sendiri atau dari kebudayaan orang lain.
            Kedua disposisi itu jelas tidak menjawabi persoalan apakah ada kesatuan pengertian tentang manusia. Keduanya bertolak dari pengandaian yang keliru bahwa haruslah adn perumusan satu kebenaran absolut melalui satu pengenalan objektif, sehingga perbedaan­perbedaan antara subjek diperlunak untuk menonjolkan kebenaran absolut itu. Pada hal kenyataannya, bahwa, meskipun terdapat begitu banyak subjek dalam arti kuantitatif, semua subjek yang berbeda memiliki satu subjek, yaitu satu subjek transendental, subjek yang mengatasi subjek-subjek konkret. Satu subjek yang transendental itu mengandaikan pengetahuan objektif tentang kebenaran dan tentang pemahaman diri yang tidak dapat direduksikan kepada subjek-subjek konkret.
            Dari pertimbangan-pertimbangan yang disebutkan itu, tampak jelas bahwa untuk mencari kesatuan pengertian tentang manusia diperlukan dialog terus menerus untuk
menemukan dan memecahkan kesulitan dalam soal pengertian dan pengetahuan tentang manusia dan untuk memajukan proses pengenalan diri. Dialog semacam ini tidak akan berdiri di atas dasar, norma, cara berpikir dan nilai dari satu pasangan-dialog, tetapi berdiri di atas prinsip “kesetaraan dan kesederajatan” pasangan-bicara dengan kita. Prinsip ini justru memungkinkan kita untuk saling memberi pengertian dan pengetahuan tentang sesuatu hal termasuk tentang realitas manusia, karena pengertian dan pengetahuan objektif universal tentang sesuatu hal termasuk tentang manusia bukanlah sesuatu yang telah tersedia, tetapi harus digeluti.
2. DIMENSI-DIMENSI DASAR DARI MANUSIA SEBAGAI REALITAS “ADA”.
            Untuk menandai kekhasan keberadaan manusia di dalam dunia dan subjektivitasnya, perlulah kita mengukur realitas manusia sebagai satu realitas “Ada” menurut beberapa unsur hakiki manusia dalam seluruh rentangan sejarah hidupnya. Unsur-unsur hakiki tidak lain dari pada dimensi-dimensi dasar tertentu yang telah tersedia, dimensi-dimensi dasar yang memperlihatkan aspek-aspek tertentu pada manusia. Dimensi-dimensi dasar itu adalah bahasa, sosialitas, kesejarahan dan kejasmanian manusia. Kita coba membahas keempat dimensi dasar ini secara terpisah.
2.1. Bahasa.
            “Manusia adalah satu-satunya makhluk hidup yang memiliki bahasa (Logos) dan akal budi.” Kalimat ini yang berasal dari Aristoteles (Politik 1, 2 1253 a 10) dan yang kemudian ditempa dalam bahasa Latin sebagai “homo est animal rationale” masih berlaku hingga kini. Apa artinya kemampuan manusia untuk berbahasa itu? Untuk menjawab pertanyaan ini ilmu bahasa pada umumnya dan filsafat bahasa memberi sumbangan tertentu.
2. 1. 1. Peristiwa teriadinya bahasa dan sistem bahasa.
            Di dalam pembicaraan dan percakapan yang bermacam-macam selalu muncul
elemen-elemen tetap: seluruh kalimat, ungkapan-ungkapan, kata-kata, akar kata dan bunyi
suara. Munculnya eleme-elemen ini menampakkan adanya banyak kombinasi, tetapi
kombinasi-kombinasi itu ditentukan oleh aturan-aturan tertentu. Dari pengamatan ini orang
melihat adanya kemungkinan untuk menemukan gudang persediaan yang memuat unsur­unsur dan aturan-aturan yang dapat dipelajari untuk melukiskan proses pembentukan satu
bahasa. Di sana di dalam gudang persediaan itu orang dapat mempelajari bagaimana
tersusun sejumlah bentuk dan aturan, apakah sejumlah bentuk dan aturan ini didasarkan
pada salah satu sistem atau tidak. Dari dalam gudang persediaan ini yang disebut “bahasa”, setiap pembicaraan dan percakapan dsb. dapat diartikan sebagai peristiwa-peristiwa tertentu yang terwujud oleh karena penggunaan unsur-unsur dan aturan yang dimungkinkan oleh gudang persediaan tadi. Dengan demikian ditemui perbedaan yang memberi dasar terhadap ilmu bahasa, yaitu perbedaan antara sistem bahasa dan peristiwa terjadinya bahasa.
            Unsur-unsur bahasa – orang dapat menyebutnya “tanda” dalam arti bahwa unsur­unsur itu memiliki arti tertentu ketika orang menggunakannya atau ketika orang berbicara – berada dalam satu hubungan yang sistematis paling kurang antara satu dengan yang lain. Hubungan sistematis antara elemen yang satu dengan yang lain ini memiliki struktur yang dapat diselidiki. Karena sistem bahasa berubah secara historis, maka orang harus membedakan cara pandang yang bersifat sinkronistis yaitu cara pandang yang berhubungan dengan keadaan satu bahasa pada satu waktu tertentu, dan cara pandang yang bersifat diakronis, yaitu cara pandang yang melukiskan perubahan itu. Kedua cara pandang ini membantu orang untuk mengenal perubahan bahasa itu sendiri, baik perubahan yang bergantung kepada faktor-faktor luar maupun perubahan-perubahan yang berasal dari faktor-faktor dalam bahasa itu sendiri. Karena itu perlulah orang membedakan struktur dasar satu bahasa dari struktur faktis bahasa itu yang justru tertempa pada satu waktu tertentu. Struktur dasar adalah struktur dalam, sedangkan struktur faktis adalah struktur permukaan yang terjadi dalam kurun waktu tertentu. Karena terdapat begitu banyak bahasa- sejumlah bahasa mempunyai stntktur dasar yang berbeda dan di dalam bahasa yang berbeda itu isi yang sama (pesan atau warta) diungkapkan dengan tanda yang sangat berbeda pula – maka orang berusaha untuk menemukan struktur yang mendasari struktur dalam pada semua bahasa dengan tujuan antara lain untuk menemukan basis netral bagi perbandingan bahasa dan juga untuk datang lebih dekat kepada hakikat semua bahasa.
            Penelitian terhadap unsur-unsur bahasa tadi menghantar kita kepada pemahaman
bahwa setiap bahasa merupakan satu sistem diferensiasi yang tersusun berlapis-lapis secara hierarkis. Pesan yang berbeda-beda dapat dirumuskan dengan tanda yang sangat sedikit jumlahnya pada jenjang pertama, lalu tanda yang relatif sedikit pada jenjang kedua, lalu
tanda-tanda yang agak banyak sampai kepada tanda-tanda yang sangat banyak dan kompleks pada jenjang yang berikutnya dan seterusnya. Prinsip diferensiasi mengatakan bahwa arti dari satu tanda tertentu terletak dalam perbedaan antara tanda yang satu dengan tanda-tanda yang lain dalam satu sistem yang sama. Tanda-tanda itu berada pada tempat tertentu sesuai dengan tandanya dalam sistem itu. Perbedaan itu terjadi sedemikian sehingga terwujudlah pesan-pesan yang berbeda.
            Setiap sistem bahasa merupakan satu lapisan hirarkis dari sistem-sistem. Kalau kita memperhatikan dua fonem yang berbeda seperti fonem “m” dan fonem “k”, maka fonem itu turut membentuk perbedaan arti bila “m” dihubungkan dengan kata “mata” dan “k” di hubungkan dengan kata “kata”. Fonem-fonem yang membentuk kata “mata” dan “kata” bukan hanya sekedar pengeluaran bunyi suara, tetapi merupakan unsur-unsur bunyi suara yang dimiliki dalam satu sistem bahasa. Perbedaan fonem-fonem itu tidak semata-mata terletak pada perbedaan akustik, tetapi perbedaan itu terjadi oleh karena adanya satu sistem fonologis yang menjadi milik setiap bahasa. Fonem-fonem itu justru membangun satu lapisan hierarkis yang paling bawah, dan pada gilirannya membentuk kata dan kalimat dengan arti tertentu dalam satu sistem bahasa.
            Arti memang termuat dalam tanda bahasa yang tidak berasal dari dirinya sendiri. Begitu juga bahasa yang mengandung arti tidak mungkin berasal dari dirinya sendiri. Tanda dan bahasa hanya terjadi dan tercipta. Peristiwa terjadinya bahasa ini dapat diamati melalui prinsip diferensiasi yang disinggung sebelumnya. Prinsip diferensiasi itu hanya menjelaskan bagaimana satu tanda memiliki satu arti tersendiri, tetapi tidak dapat menjelaskan apakah satu tanda memiliki cuma satu arti saja. Tanda-tanda yang mengungkapkan arti itu disebut tanda-tanda bahasa. Arti dari tanda-tanda bahasa itu diberi berdasarkan situasi kontekstual kehidupan yang nyata. Situasi kontekstual kehidupan nyata inilah yang merupakan peristiwa-peristiwa terjadinya bahasa yang hidup. Bahasa dan tanda­tanda bahasa tersusun satu sama lain. Bahasa dilihat sebagai satu gudang persediaan yang memungkinkan terciptanya tanda-tanda bahasa, dan dengan terciptanya tanda-tanda bahasa inilah satu peristiwa terjadinya bahasa dapat dilukiskan.
2.1.2. Prestasi bahasa.
            Apa yang menjadi prestasi bahasa dapatlah dibaca pada peristiwa terjadinya bahasa. Tetapi apa yang terjadi sebetulnya dalam peristiwa terjadinya bahasa itu? Pertanyaan ini biasanya berkaitan erat dengan “fungsi bahasa”. Di dalam fungsi bahasa kita dapat membaca hasil kemampuan yang diperlihatkan oleh cara-cara berbahasa. Memang ada banyak fungsi bahasa, tetapi di sini kita membataskan diri pada pembagian klasik yang dibuat berdasarkan aspek-aspek pokok yang bersifat konstitutif, seperti pembagian Psikolog Karl Bühler. Menurutnya bahasa memiliki tiga fungsi, yaitu bahasa sebagai simbol untuk melukiskan fakta atau keadaan sesuatu hal; bahasa sebagai symptom untuk memaklumkan keadaan batiniah si pembicara, dan bahasa sebagai sinyal untuk mengundang atau memberi apel pada pasangan bicara agar pasangan bicara memberi reaksi tertentu. Fungsi-firngsi yang disebut ini dapat dirumuskan secara lain, yaitu presentasi; komunikasi dan pengungkapan diri.
a. Presentasi
            Bahasa menghadirkan atau mempresentasikan sesuatu. Sesuatu di sini berupa barang, hal atau keadaan memiliki cara berada yang berbeda-beda. Bahasa menghadirkan cara berada benda, barang atau keadaan semacam itu. Kita mengambil contoh sederhana tentang fungsi ini. Meja yang berada di hadapan kita berwarna coklat. Keadaan meja itu sudah tersedia dengan bentuk, warna dan coraknya. Dengan membahasakan “meja ini coklat”, kita menghadirkan kembali cara berada meja ini dengan membuat batasan-batasan yang didasarkan pada tanggapan indrawi kita seperti melihat, meraba dan sebagainya.
            Dari contoh yang konkret ini kita beranjak kepada fungsi yang sama secara lebih abstrak. Bahasa bukan hanya menghadirkan sesuatu yang ada, tetapi menghadirkan sesuatu yang sudah tidak ada lagi dan sesuatu yang belum ada. Bahasa memungkinkan manusia untuk membuat sesuatu yang tidak ada atau yang belum ada menjadi hadir di hadapannya.
Sesuatu yang dibahasakan itu adalah sesuatu yang sudah terjadi dan sesuatu yang belum terjadi. Sesuatu yang sudah terjadi dengan bantuan “bahasa” diingat kembali seperti – ceritera-ceritera tentang masa lampau satu bangsa atau satu suku. Sesuatu yang belum
terjadi dengan bantuan “bahasa” diantisipasi keberadaannya, seperti ramalan-ramalan dan futurologi. Penilaian, pertimbangan, teori dan rencana serta proyek tentang sesuatu itu baik sesuatu yang sudah terjadi maupun sesuatu yang belum terjadi melalui “bahasa” mengalami keluasan, ketajaman dan objektivitasnya; dengan kata lain, bahasa justru menghadirkan sesuatu itu secara luas, tajam dan objektif.
            Akhirnya bahasa juga berfungsi untuk menghadirkan sesuatu yang tidak pernah merupakan sesuatu yang real secara objektif. Fungsi bahasa seperti ini terlihat umpamanya dalam syair-syair dan puisi. Di sana fungsi bahasa bukan untuk menyampaikan satu berita atau informasi objektif tentang sesuatu. Realitas sesuatu hal dilukiskan dalam bahasa figuratif, dalam ungkapan-ungkapan peribahasa, dalam perumpamaan-perumpamaan dan pepatah-pepatah. Realitas yang sesungguhnya hanya dapat ditangkap dan dipahami tetapi tidak ditunjuk secara matematis dan pasti. Bahasa-bahasa ilmiah tentu tidak memainkan fungsi seperti ini.
b. Komunikasi.
            Bahasa berfungsi untuk mengkomunikasikan sesuatu kepada yang lain baik secara verbal (dengan kata-kata dan ucapan) maupun secara non-verbal seperti isyarat-isyarat
yang dikembangkan untuk komunikasi para bisu-tuli. Sesuatu yang dikomunikasikan melalui bahasa hendaknya sedapat mungkin identis dengan sesuatu itu dalam kenyataannya. Tapi di sini haruslah diakui keterbatasan dari komunikasi verbal, bahwa kata yang diucapkan tidak mengkomunikasikan kenyataan real secara penuh dan lengkap. Satu pengalaman yang dikomunikasikan dan yang dibagi kepada orang lain dalam bahasa selalu lebih sempit, jika dibandingkan dengan kenyataan yang sebenarnya dalam pengalaman orang bersangkutan.
            Bahasa yang berfungsi untuk mengkomunikasikan sesuatu tidak hanya terbatas pada komunikasi individual. Bahasa menjadi alat komunikasi dari kelompok-kelompok sosial. Hal ini kentara dalam kontrak-kontrak kerja, kontrak perkawinan, kontrak negara, dalam organisasi-organisasi sosial. Bahasa yang dipakai di sana sudah merupakan hasil dari kesepakatan bersama dalam konteks sosial tertentu. Perumusannya dan terminologi-
terminologi yang dipakai di sana berasal dari hasil kesepakatan itu. Begitu juga perubahan dan penciptaan bentuk-bentuk baru komunikasi haruslah melewati proses persetujuan dan persepakatan itu. Fungsi komunikasi bahasa ini justru mengingatkan dan menyadarkan manusia akan kenyataan bahwa bahasa termasuk dalam satu institusi sosial yang paling mendasar, karena di dalam realitas sosial bahasa merupakan alat primer untuk menjalin dan membentuk hubungan sosial. Interaksi sosial hanya berarti melalui komunikasi bahasa. Kesewenang-wenangan individual dibatasi. Malah, setiap individu sudah tercabut dari dunia dan bahasa pribadinya dan sedari kecil sudah terikat ke dalam bahasa ibu yang sudah tersedia baginya. Begitu juga dalam hukum kemasyarakatan dan negara, setiap individu sudah masuk ke dalam rumusan bahasa-bahasa yang sudah baku untuk memberi tuntunan pada manusia apabila manusia masuk ke dalam bidang tertentu, seperti bidang hukum, bidang kedokteran dan sebagainya.
            Salah satu segi lain dari fungsi bahasa sebagai alat komunikasi adalah satu corak khas komunikasi yang mencerminkan status sosial dalam lembaga kemasyarakatan. Komunikasi seorang murid dengan gurunya berbeda dengan komunikasinya dengan rekannya. Arti dan maksud yang sama dikomunikasikan dengan bahasa yang berbeda dalam komunikasi itu. Begitu juga seorang yang berkasta rendah akan menyapa seseorang yang berkasta tinggi dengan bahasa yang lain dari pada bahasa yang digunakan untuk menyapa orang berkasta sama. Meskipun demikian corak khas ini tidak dapat menghilangkan fungsi hakiki dari bahasa sebagai alat komunikasi melalui satu bahasa yang menjadi milik bersama.
c. Pengungkapan diri.
            Bahasa berfungsi sebagai alat untuk pengungkapan diri. Melalui bahasa seoran­g anak pada usia awal berusaha mengungkapkan apa yang menjadi kehendak dan keinginannya. Ia melatih untuk mengucapkan kata sebagai ekspresi pernyataan dirinya. Begitu pula, baik orang yang berbicara maupun orang yang memberi reaksi terhadap sesuatu hal menyangkut dirinya, menggunakan hahasa untuk mengeskpresikan kehendak dan pikirannya. Pengungkapan diri melalui bahasa ini sering muncul secara spontan oleh
karena bakat alamiah, tetapi juga sering “dipelajari” melalui latihan-latihan bicara atau disiplin-disiplin penuntun seperti latihan berpidato, menulis dan lain-lain.
            Pengungkapan diri melalui bahasa tidak hanya terbatas pada ungkapan kata-kata, karena dimensi bahasa lebih luas dari kata-kata. Misalnya, manusia dapat mengungkapkan rasa sakitnya dengan muka yang menggeliat sambil menjerit jerit, mengeluh dan berteriak-teriak. Bahasa kesakitan ini ditunjuk dengan ekspresi diri yang sama, tetapi ucapan-ucapan
jeritan sering berbeda-beda seperti wau, hei, ai, sakit…dsb. Seruan-seruan ini tidak mengandung susunan gramatis yang jelas. Meskipun susunan kata dan kalimat tidak mengikuti pola kalimat serta tata aturan bahasa tertentu, tetapi seruan-seruan itu turut mempertegas fungsi bahasa tubuh yang menunjuk kepada pengungkapan diri dalam situasi kesakitan. Sering situasi kesakitan dan kesedihan dipoles dengan kata-kata dan kalimat­kalimat yang indah dan teratur rapih, seperti nyanyian ratapan (cf. Jes. 38, 10-16), puisi atau bahasa syair, tarian-tarian yang diiringi oleh bahasa-bahasa puitis dsb. Semuanya memperlihatkan cara pengungkapan diri baik secara perorangan seperti penyair, pemikir, penulis dsb. maupun secara kolektif seperti tarian-tarian adat, nyanyian-nyanyian rakyat dsb. Dalam budaya modern yang didominasi oleh ilmu pengetahuan dan teknik, alat-alat ungkapan lewat tarian, nyanyian, puisi, drama, pantun dsb. sudah menciut dan berkurang, karena alat pengungkapan sekarang sudah dimonopoli oleh bahasa-bahasa ilmiah yang berisikan hasil pengamatan objektif.
2.1.3. Bahasa sebagai alat dan pengantara.
            Bahasa sebagai alat untuk menghadirkan diri menyentuh realitas manusia itu sendiri. Bahasa merupakan bagian yang hakiki dari realitas manusia sebagai manusia yang “berbahasa”. Apabila manusia sadar akan realitas dirinya sebagai realitas yang memiliki bahasa, maka dia akan mengembangkan realitas dirinya ini dengan menjalankan fungsi bahasa sebagai “pengantara atau jembatan” secara tepat dan benar. Apa yang dimaksudkan dengan “menjalankan fungsi bahasa sebagai pengantara atau jembatan secara tepat dan benar? Yang dimaksudkan dengan fungsi pengantara atau jembatan dari bahasa adalah fungsi bahasa yang menjadi penghubung antara realitas diri sendiri dan realitas yang berada
di luar dirinya. Bahasa menjadi jembatan antara realitas diri dan realitas di luar diri. Di sinilah letak fungsi bahasa sebagai alat pengantara.
Ada beberapa situasi yang membahayakan fungsi bahasa sebagai alat pengantara.
Dalam hal menipu. Dalam hal menipu, bahasa tidak menjadi pengantara kebenaran. Bahasa tidak mengungkapkan kebenaran realitas diri yang mau disalurkan kepada orang lain. Kata-kata dan ungkapan-ungkapan yang digunakan di sana menyembunyikan dan mengelabui realitas diri yang sesungguhnya. Dalam konteks ini muncul persoalan bahwa bagaimana kita dapat yakin bahwa bahasa yang disusun secara teratur dan bagus sungguh menghadirkan kebenaran seutuhnya.
Dalam cara bicara yang melantur-lantur. Cara bicara yang melantur-lantur adalah cara bicara dengan menggunakan kata-kata yang tidak mengungkapkan isi dan maksud yang jelas. Kata-kata sangat sering dibebani dengan arti-arti sampingan yang bersifat banal atau dengan istilah-istilah asing yang mengaburkan isi pembicaraan. Dalam situasi ini, fungsi bahasa sebagai pengantara atau jembatan menjadi kabur.
Bahasa asing. Pengalaman dengan satu pembicaraan yang diarahkan kepada saya dalam bahasa asing dapat diciptakan dalam dua situasi yang berbeda: hal itu bergantung kepada apakah saya mengerti bahasa asing itu secara salah atau secara tepat. Kalau saya tidak cukup menguasai bahasa asing itu, maka arti dan maskud yang mau saya ungkapkan lewat bahasa sebagai jembatan atau pengantara tidak ditangkap atau dimengerti secara baik. Itu berati bahwa dalam situasi penggunaan bahasa asing ini, fungsi bahasa sebagai pengantara terganggu. Sebaliknya bila saya mengerti sangat baik bahasa asing, maka saya perlahan­lahan menjadi sadar bahwa isi atau sesuatu yang dibicarakan dalam bahasa asing hanya dapat diterjemahkan secara “tidak memuaskan atau tidak mencukupi” ke dalam isi atau sesuatu yang dibicarakan dari bahasa saya sendiri. Dalam situasi ini, fungsi bahasa sebagai jembatan atau pengantara hanya dapat dipahami menurut pola penafsiran yang berkaitan dengan lingkungan hidup masyarakat yang menggunakan bahasa asing itu.
            Sebagai kesimpulan, karena bahasa merupakan bagian yang hakiki dari manusia, maka dia secara hakiki pula membentuk dunia manusia, baik dunia manusia dalam
komunikasi dengan dirinya dan dengan sesamanya maupun dunia manusia dalam komunikasinya dengan dunia sekitarnya.
2.2. Sosialitas.
            Dimensi dasar lain dari realitas manusia adalah sosialitas. Realitas “Ada”nya manusia termasuk realitas sosial. Filsafat berusaha untuk merefleksikan realitas sosial ini. Di sini tidaklah dimaksudkan untuk merefleksikan struktur kehidupan bersama dalam masyarakat, tetapi arti dari realitas “Ada” sebagai satu kebersamaan antar individu dan sebagai pusat pertemuan antar individu. Karena cara hidup bersama dalam satu kehidupan bermasyarakat berbeda dari satu budaya ke budaya lain dan juga berbeda dari satu masa ke masa yang lain, maka dalam refleksi filosofis ini coba dicapai satu rumusan abstrak dari umum tentang bentuk-bentuk lahiriah dari realitas sosial ini. Di dalam refleksi ini kita menyebut ungkapan “sosialitas”; hal ini tidak lain dari pada hidup dan berada dalam satu kebersamaan, dalam satu masyarakat, dalam satu kelompok, dalam satu kontak satu sarna lain, pendeknya cara-cara berada yang menunjukkan kehidupan bersama dalam satu masyarakat, dalam satu kelompok atau dalam satu kontak satu dengan yang lain.
2.2.1. Fenomen sosial.
            Adalah satu fakta universal bahwa setiap orang hidup dalam satu relasi dengan manusia yang lain. Sebelum kita mempertanyakan arti dan makna dari relasi sosial ini, baiklah kita menyadari bahwa relasi sosial itu beraneka ragam benhiknya dan tak terhitung jumlahnya. Dari kesadaran akan fakta ini terbuktilah bahwa relasi sosial yang beraneka ragam bentuk ini bukanlah satu hal tambahan yang muncul kemudian. Bukan demikian. Hampir semua relasi sosial itu ternyata berkembang dengan sendirinya dari satu tata tertib sosial tertentu yang sudah ada. Tata tertib sosial yang sudah ada itulah yang disebut sistem sosial. Di dalam sistem sosial itu sudah terdapat satu struktur stabil yang di dalamnya relasi dan interaksi sosial terjalin. Struktur sosial yang stabil ini menjadi tempat terciptanya relasi dan interaksi sosial dari setiap individu.
            Sistem-sistem sosial yang meliputi berbagai macam relasi dan interaksi sosial dapatlah kita sebutkan seperti keluarga, kekerabatan, persahabatan, desa, kelompok kerja,
perusahan, tetangga, paroki, kecamatan, negara dsb. Setiap orang terlibat dalam berbagai macam relasi sosial dalam sistem-sistem sosial yang disebutkan ini. Ia adalah anggota satu keluarga, dan pada waktu yang sama ia merupakan anggota dari salah satu masyarakat desa; ia juga adalah anggota persekutuan gereja. Bila ia seorang pegawai negri, ia pada waktu yang sama menjadi anggota satu perkumpulan pegawai pemerintah, dan rupa-rupa organisasi lainnya. Untuk memahami perbedaan bentuk relasi seseorang dengan perkumpulan sosial yang ia miliki pada waktu yang sama ini, perlulah kita mengamati cara khas macam apa yang ia kembangkan dalam membentuk jalinan sosial di dalam organisasi itu. Cara khas itu tampil biasanya dalam dua tipe ideal yang terbentuk dari dua kutub yang saling berlawanan, yaitu relasi sosial yang tumbuh secara kodrati seperti keluarga dan relasi sosial yang dibangun secara sengaja seperti persekutuan buruh, relasi sosial dalam satu sistem yang stabil seperti anggota sebuah desa dan yang tidak stabil, relasi sosial yang mempunyai tujuan dari dirinya sendiri dan yang bertujuan rasional, relasi sosial yang dibangun berdasarkan persahabatan dan yang berdasarkan struktur hirarkis. Cara khas dalam mengembangkan jalinan sosial ini dapat saja memperlihatkan perbedaan apakah jalinan sosial yang satu ini bersifat kodrati atau buatan, bersifat stabil atau tidak stabil dan sebagainya.
            Relasi sosial tidak terjadi di dalam satu ruang tanpa udara, dalam arti bahwa relasi sosial itu bagaimanapun juga selalu memuat harapan-harapan dan memperlihatkan peranan­peranan yang dimainkan seseorang dalam kehidupan bersama. Dan harapan dan peranan itu bisa terbaca pada bagaimana caranya seseorang membentuk jalinan sosial itu, entah dalam cara yang relatif berlangsung lama seperti seorang bapa, seorang guru, seorang pedagang dsb, entah dalam satu cara yang sementara seperti wasit, kepala desa, gubernur, camat, presiden. Pendeknya, relasi sosial yang memuat harapan dan yang memperlihatkan peranan-peranan bukanlah tanpa bentuk. Relasi itu selalu mengambil bentuk-bentuk tertentu yang merujuk kepada pertanyaan pokok ini: dengan siapa, kapan, atas cara apa, kemampuan dan keinginan macam apa relasi sosial seseorang dibentuk? Bentuk-bentuk hubungan sosial yang merujuk kepada pertanyaan ini ditempa oleh dua aspek mendasar dari relasi sosial, yaitu secara objektif sudah ada “pola” tingkah laku sosial yang diikuti oleh setiap individu dan secara subjektif struktur tingkah laku individu sendiri yang turut memberi warna terhadap relasi sosialnya. Bentuk-bentuk relasi sosial itu mengandaikan bagaimana si individu berhubungan dengan manusia lain dan serempak pula bagaimana yang lain berhubungan dengan dirinya. Di dalam bentuk hubungan sosial ini pulalah kualitas hubungan sosial itu bisa diukur: apakah diskriminatif, setara, benci, acuh tak acuh, cinta, enggan, malu dsb. Dengan demikian segala sesuatu yang berhubungan dengan fakta sosial seperti yang dilukiskan dalam pokok ini merupakan fenomen sosial yang menuntun kita untuk mengerti realitas sosial.
2.2.2. Sosiobiologi, Sosiologi dan Filsafat Sosial.
            Baik Sosiobiologi, maupun Sosiologi dan Filsafat Sosial menggeluti manusia sebagai satu realitas sosial. Sosiobiologi dan Sosiologi sebagai ilmu empiris memusatkan perhatian pada penelitian terhadap gejala-gejala faktis yang tampak pada realitas sosial manusia dalam kehidupan bermasyarakat, sedangkan Filsafat Sosial menggeluti secara kritis-filosofis hakikat, makna, teori pengetahuan sosial, struktur-dalam dari realitas sosial itu.  Kesulitannya ialah bahwa tidak ada batas yang tajam antara ketiga sistem pengetahuan itu. Filsafat sosial yang merefleksikan realitas sosial tidak mungkin tidak mempunyai hubungan dengan Sosiobiologi dan Sosiologi, begitu juga Sosiologi yang berbicara juga tentang tingkah laku manusia umpamanya tidak mungkin tidak menyentuh kenyataan faktis tingkah laku lahiriah manusia dalam relasi sosial itu, begitu juga sebaliknya. Karena itu, pentinglah di sini untuk membuat pembatasan yang jelas antara ketiga sistem pengetahuan itu yang sama-sama membicarakan tema yang sama, yaitu tema tentang fenomen sosial.
            Sosiobiologi adalah satu teori pengetahuan tentang fenomen sosial dengan bertolak dari Biologi. Dengan kata lain, Sosiobiologi merupakan satu interpretasi ilmiah tentang populasi dan asal usul tingkah laku biologis baik yang terdapat pada hewan maupun yang  terdapat pada manusia. Populasi di sini tidak lain dari pada kumpulan individu-individu yang tercipta dalam satu ruang lingkup geografis tertentu oleh karena perkawinan dan perkembangbiakan. Dalam penelitian sosiobiologis binatang-binatang yang berasal dari
induk yang sama memiliki separuh dari gen-gennya yang sama (Chromosom). Bukan hanya binatang yang berasal dari induk yang sama, juga turunan dari binatang-binatang yang bersangkutan. Turunannya yang dalam kategori kekerabatan manusia seperti keponakan, kemanakan, juga mewarisi seperempat gen-gen dari gen induk yang sama, sedangkan turunan tingat ke dua dalam kekerabatan manusia seperti cucu masih mewarisi seperdelapan gen-gen yang sama dengan induk sebelumnya. Penelitian sosiobiologis ini menunjukkan juga bahwa tingkah laku binatang dalam konteks kehidupan kelompok secara genetis sudah terprogram sedemikian rupa sehingga arah tingkah laku mereka bisa menuju ke dalam diri (egosentris) dan bisa juga kepada yang lain. Peneliti tingkah laku singa berkesimpulan bahwa seekor singa jantan pada umumnya membunuh anak singa yang tidak berasal dari darahnya sendiri (egosentris) dan melindungi anak singa yang berasal dari darahnya (altruistis), meskipun anak-anak singa itu berasal dari induk yang sama. Penelitian sosiobiologis ini diterapkan juga dalam penelitian terhadap gen-gen dan tingkah laku biologis pada manusia. Dapatlah dipastikan bahwa saudara-saudari kandung memiliki di dalam dirinya separuh gen-gen yang dimiliki orang tuanya, dan kemanakan dan keponakan memiliki seperempat dari gen-gen orang tua, sedangkan di dalam diri cucu masih tertinggal seperdelapan gen-gen yang becasal dari nenek dan kakeknya. Juga dalam tingkah laku biologis sudah terdapat reaksi genetis yang bersifat egosentris dan altruistis seperti yang diamati dalam tingkah laku seorang ibu terhadap anak kandungnya dan terhadap anak tirinya atau juga sebaliknya. Penelitian sosiobiologis memusatkan perhatian pada penelitian gen-gen dan tingkah laku yang merupakan warisan kodrati, dan pengembangan lebih lanjut dari ilmu ini bisa ditemui dalam Biochemi, Genetik dan Fisika.
            Kelemahan dari penellitian sosiobiologis ini ialah bahwa titik tolak penelitiannya berasal dari premisa filosofis yang memandang asal-usul dan tingkah laku sosial manusia sebagai yang diwariskan secara biologis semata-mata dari nenek moyangnya. Kodrat sosial manusia tidak lain dari pada kodrat biologisnya. Karena itu, asal usul dan tingkah laku sosial manusia sudah terprogram secara genetis tanpa muatan rohaniah-kultural yang turut membentuknya. Kelemahan ini diisi oleh satu disiplin ilmu lain yang melihat bahwa realitas
sosial yang tercermin dalam tingkah laku sosial tidak semata-mata diwariskan, tetapi dibentuk secara “kultural” melalui kemampuan “belajar” manusia. Disiplin ilmu ini adalah Sosiologi. Sosiologi meneliti, fakta-fakta sosial yang terlihat dalam hubungan sosial, tingkah laku sosial, struktur sosial, bentuk-bentuk tingkah laku sosial, pendeknya realitas sosial yang dijiwai oleh semangat dan roh yang tidak bersifat material. Dengan demikian, premisa filosofis yang mendasari penelitian sosiologis bukanlah satu filsafat materialisme, melainkan satu filsafat sosial yang terbuka terhadap berbagai  macam pendekatan dan berbagai macam tematisasi filsafiah terhadap realitas sosial. Beberapa aliran Sosiologi justru merupakan contoh keanekaragaman pendekatan dan tematisasi terhadap fakta sosial itu seperti teori konflik Karl Marx dan pengikut-pengikutnya, teori positivisme Augus Comte, teori pemberian arti terhadap struktur masyarakat yang ideal (Popper dan H.Albert) analisa terhadap tingkah laku sosial yang berkuasa dalam kaitannya dengan satu masyarakat yang baik (Adorno, Habermas) dsb.
            Penelitian biologis ini dapat menghantar kita kepada pemahaman terhadap Filsafat
Sosial. Dengan adanya penelitian sosiologis, kita dapat memperoleh kesimpulan­-kesimpulan teoretis yang menyumbangkan lahirnya beberapa teori ilmu pengetahuan sosial. Teori-teori ini menyentuh apa yang dapat menjadi sasaran pergelutan Filsafat Sosial seperti yang sudah kita sebut sebelumnya. Sasaran pergelutan Filsafat Sosial tersebut berhubungan dengan kompleksitasnya masalah yang dapat dirumuskan dalam pertanyaan-pertanyaan berikut. Sejauh mana aku termasuk dalam dunia orang lain atau sejauh mana dunia orang lain termasuk dalam aku? Sejauh mana masyarakat membentuk satu unsur konstitutif untuk setiap individuum atau sebaliknya? Apa yang menjadi persyaratan untuk terciptanya satu tingkah laku sosial secara berhasil? Pertanyaan-pertanyaan ini membantu untuk memberi arah terhadap penelitian-penelitian empiris dari disiplin Sosiologi sendiri.
2.2.3. Kritik terhadap posisi-posisi ekstrem.
            Satu persoalan Filsafat Sosial yang mau dipecahkan ialah persoalan tentang “aku, engkau dan kita”. Sejauh mana “engkau dan kita” sama-sama termasuk dalam “aku”?
Untuk menjelaskan hal ini terdapat dua model yang memperlihatkan dua posisi utama. Dua posisi utama ini merujuk kepada pemikiran J.J. Rousseau tentang pengertian Individualisme dan Kolektivisme.
a. Individualisme dan kritik terhadap Individualisme.
            Individualisme merupakan satu bentuk kehidupan bersama yang dibangun berdasarkan atas persetujuan dari individu-individu yang bergabung di dalamnya dengan tujuan tertentu yang mau dicapai secara bersama-sama dari para anggotanya. Dia bukan satu bentuk kehidupan bersama yang bersifat kodrati seperti keluarga. Kalau pun tidak ada persetujuan yang dirumuskan, bentuk kehidupan bersama ini tetap ditafsir sebagai satu kumpulan individu-indvidu yang tercipta seakan-akan ada kesepakatan antara mereka untuk ada bersama-sama di satu tempat. Realitas “Ada” sebagai satu realitas sosial dan nilai dari kebersamaan model ini bersifat sekunder, sebab nilai utamanya adalah individuum. Argumentasi ontologis dan ethis dapat mendukung konsep Individualisme itu. Argumentasi ontologis dari konsep Individualisme ini adalah bahwa realitas yang sesungguhnya adalah individu. Individu-individu merupakan realitas “Ada” yang bersifat awali dan hakiki, sedangkan kehidupan bersama dan masyarakat hanya dibangun di atas hubungan antara individu yang satu dan individu yang lain, dan bentuk hubungan itu bersifat sekunder dan aksidental. Argumentasi ethis yang mendasari konsep Individualisme ini ialah bahwa individu sebagai pribadi merupakan nilai tertinggi. Setiap orang mempunyai hak untuk menentukan dirinya dan berkuasa atas dirinya. Hak pribadi diutamakan di atas hak-hak yang lain.
            Kritik terhadap konsep Individualisme seperti yang disebut di atas ialah bahwa penafsiran individualistis itu telah mengabaikan struktur-dalam dari setiap bentuk kehidupan bersama, struktur-dalam yang tidak boleh direduksi atau diperkecil nilainya. Di dalam bentuk kehidupan bersama itu tidak hanya terdapat individu-individu, tetapi persetujuan dan kesepakatan yang sudah mengikat indvidu-individu untuk berada bersama dalam satu cara hidup bersama. Hubungan antara individu yang satu dengan individu yang lain dalam bentuk kehidupan ini bersifat “hakiki”; dengan kata lain, hubungan “aku”
sebagai satu individu dengan “engkau” telah terikat secara hakiki menjadi “kita” oleh karena persetujuan dan kesepakatan. Karena itu, kebersamaan di sana bukanlah terdiri dari individu-individu yang bebas mutlak, tapi yang terikat satu sama lain melalui hak dan kewajiban sebagai konsekuensi dari persetujuan dan kesepakatan mereka. Di dalam konteks ini bagaimana pun juga terdapat fenomen otoritas yang berfungsi untuk mengatur hak dan kewajiban para anggota yang terlibat dalam persekutuan bersama. Hak dan kewajiban yang sudah diatur itu menunjukkan satu bentuk kehidupan sosial yang hanya bertumbuh dalam kebersamaan dan bukannya bertumbuh oleh karena jasa setiap individu. Otoritas sosial yang mempunyai fungsi itu bukanlah satu yang muncul kemudian, tetapi sudah ada secara hakiki, ketika tercipta bentuk kehidupan bersama ini.
b. Kolektivisme dan kritik terhadap kolektivisme.
            Kolektivisme bertolak dari pemahaman bahwa keselunrhan tidak dimengerti sebagai yang terdiri dari bagian-bagian. Keseluruhan itu merupakan satu yang absolut dan tidak terbagi dalam bagian-bagian; keseluruhan ada lebih dahulu dari bagian-bagian. Model dasar dari paham ini adalah organisme yang dilihat sebagai satu tubuh yang memiliki anggota-anggotanya. Masyarakat dalam arti ini menjadi satu “korpus sosial atau satu organ sosial”. Argumentasi ontologis dan ethis dapat mendasari pemahaman Kolektivisme ini. Argumentasi ontologisnya ialah bahwa realitas sosial sebagai realitas “Ada” tidak dapat diasalkan dari kumpulan individu-individu yang berdiri terisolir satu dengan yang lain. Realitas sosial ini memiliki hukumnya sendiri. Dia memiliki adanya sendiri dan tidak berasal dari realitas “Ada” setiap individu. Memang bisa dimengerti bahwa individu­individu itu merupakan unsur-unsur penting dari satu masyarakat, tetapi kedudukan dan keberadaan masyarakat lebih diutamakan dari pada individu. Dengan demikian, argumentasi  etisnya mendukung pemahaman ontologis itu, yaitu bahwa kesejahteraan bersama mendahului kepentingan diri. Bila kesejahteraan bersama tercapai, maka kesejahteraan dan pemenuhan diri juga terjamin.
            Kritik terhadap kolektivisme terletak dalam kritik melawan interpretasi Kolektivisme yang menempatkan hakikat kebersamaan lebih tinggi dan lebih bernilai dari
pada individu-individu yang tergabung di dalamnya. Pandangan Kolektivisme justru tidak memberi ruang kebebasan untuk setiap individu. Akibatnya ialah bahwa individu yang bergabung di dalamnya tidak memiliki keputusan penuh untuk menentukan diri. Hak-hak individu diatur sejalan dengan tuntutan kehidupan bersama. Konsensus bebas tidak terjamin baik, karena peraturan kehidupan bersama sudah tercipta lebih dahulu. Dalam paham Kolektivisme ini para pemegang kuasa atau autoritas harus berusaha memenangkan setiap individu yang bergabung di dalamnya untuk mengidentifisir diri mereka dengan bentuk hidup bersama yang diterimanya. Hal ini tentu bukanlah satu hal yang mudah, karena setiap individu memiliki kemauan dan kehendak bebas untuk menerima atau menolak tuntutan hidup bersama itu. Tuntutan setiap individu untuk memiliki kebutuhan dasar dan hak dasar di dalam bentuk kehidupan bersama bukanlah satu hal yang tidak hakiki. Tetapi paham Kolektivisme kurang memungkinkan pemenuhan tuntutan individu itu, karena tuntutan masyarakat yang terwujud dalam hukum dan peraturan masyarakat lebih tinggi dari pada
tuntutan individu. Paham Kolektivisme ini mempunyai dampak negatif juga terhadap dunia pendidikan. Pendidikan anak dalam konteksnya, lalu menjadi satu pendidikan yang membatasi kebebasan dan ekspresi anak dengan berbagai macam peraturan dan hukum yang dianuti masyarakat. Anak dipaksa untuk taat dan tunduk buta tanpa punya kuasa untuk melawan apa yang diajarkan guru. Anak dilihat sebagai objek pendidikan, dan bukannya subjek yang dicintai dalam proses pendidikan itu.
            Kedua model yang disebut itu hanya menyadarkan manusia akan hakikat sosial dari manusia sendiri. Sedari mula manusia sudah menyandang realitas sosial ini sebagai satu yang hakiki dalam hidupnya. Realitas ini hendaknya diwujudkan sedemikian sehingga setiap individu dalam penghayatan akan realitas sosialnya senantiasa bertumbuh mandiri menuju pencapaian jati diri yang utuh bersama dengan yang lain.
2.2.4. Aku dan Yang Lain.
            Secara objektif ungkapan “Aku dan Yang Lain” menunjukkan adanya satu hubungan antara “aku” sebagai satu realitas dengan yang lain sebagai satu realitas yang lain. Entah hubungan ini bersifat berat sebelah, entah hubungan ini bersifat seimbang, entah
hubungan ini bersifat timbal balik, tapi hubungan semacam ini tetap berakar dalam hubungan antara realitas yang berbeda. Hubungan ini mempunyai makna yang berbeda dengan hubungan yang dibentuk berdasarkan fungsi dan posisi subjek yang mewakili Kata Ganti Diri, sebab ketika “aku” bercakap-cakap dan berbicara dengan “engkau”, aku dan engkau merupakan satu Kata Ganti Diri yang menduduki posisi dan memainkan fungsi tertentu; keduanya membentuk satu hubungan tertentu dalam konteks realitas mereka yang berbeda. Bentuk hubungan seperti ini belum mencerminkan hubungan yang sesungguhnya antara “Aku dan Yang Lain”. Hubungan yang sesungguhnya antara “Aku dan Yang Lain” adalah hubungan yang mengatasi hubungan subjek-objek, dalam arti bahwa Yang Lain menjadi sasaran dan objek yang berhadapan dengan aku atau aku sebagai objek yang berhadapan dengan yang lain. Hubungan yang sesungguhnya itu adalah hubungan yang bersifat antar-subjek dan antar-personal. Karena itu, di bawah ini perlu dibicarakan tentang pemahaman akan arti “Intersubjektivitas, interpersonalitas dan Yang Lain.”
a. Intersubjektivitas dan interpersonalitas.
            Berbicara tentang intersubjektivitas berarti berbicara tentang kebenaran dan tentang objektivitas. Kebenaran tidak terlepas dari pengenalan subjek akan kebenaran. Tetapi karena pengenalan akan kebenaran dapat saja berbeda dari subjek yang satu dengan subjek yang lain, maka setiap pengenalan harus diuji apakah pengenalan itu sesuai dengan kebenaran objektif atau tidak. Kebenaran objektif adalah kebenaran yang ada dalam dirinya sendiri dan menjadi sasaran rujukan pernyataan yang benar. Kebenaran yang objektif menjadi prinsip dan tuntutan yang berlaku untuk semua subjek agar dalam setiap pernyataan subjek kebenaran itu sendiri menjadi tolok ukur untuk semua tanggapan dan pikiran subjektif. Intersubjektivitas terwujud dalam pengenalan dan pengakuan semua subjek akan kebenaran objektif itu.
            Intersubjektivitas tidak berarti soal hubungan antara subjek yang satu dengan
subjek yang lain. Intersubjektivitas adalah keterkaitan atau jalinan antara subjek yang satu dengan subjek yang lain di atas dasar satu subjek transendental, yaitu satu subjek ideal
yang berdiri melampaui pengenalan, pengalaman dan kepentingan subjek-subjek konkret.
Semua subjek yang mempunyai kemampuan “mengenal” mengambil bagian dalam subjek ideal ini. Dengan demikian, ketika subjek menjalankan kegiatan untuk mengenal kebenaran, pengenalannya dengan sendirinya memuat ide tentang subjek ideal ini yang mengenal kebenaran objektif. Dari subjek ideal ini bergantunglah subjek-subjek konkret, karena subjek ideal itu merupakan kesatuan batiniah untuk semua subjek konkret.
            Kalau demikian, bagaimana hubungan antara intersubjektivitas dan interpersonalitas dapat dijelaskan? Interpersonalitas hanya menjadi mungkin, apabila intersubjektivitas terwujud. Intersubjektivitas dalam arti di atas tidak lain dari pada interpersonalitas. Maksudnya, hubungan antar subjek tidak sekedar hubungan antar subjek-subjek konkret, tetapi hubungan antar pribadi yang tersirat dalam setiap subjek. Subjek sendiri mewakili pribadi. Dengan demikian, interpersonalitas mengandaikan intersubjektivitas. Ideal dari hubungan antar subjek dalam kehidupan bersama adalah hubungan antar pribadi (persona) atau interpersonalitas. Subjek-subjek yang terlibat dalam percakapan, dalam pertemuan, dalam diskusi, dalam kesempatan-kesempatan khusus dan sebagainya sedapat mungkin mencerminkan hubungan antar pribadi atau interpersonalitas itu.
b. Yang Lain.
            Kita bertolak dari pengalaman konkret. Dalam kehidupan bersama, kenyataannya ialah bahwa diri saya berhubungan dengan orang pertama, orang kedua, orang ketiga, pendeknya diri saya menjalin kontak dengan begitu banyak orang. Yang lain di sini mewakili orang pertama, orang kedua, orang ketiga. Tetapi Yang Lain adalah diri saya sendiri, ketika orang lain berhadapan dengan saya. Aku menyebut mereka sebagai “Yang    Lain”, dan sebaliknya mereka menyebut “Aku” sebagai “Yang Lain” pula.
            Apa yang menjadi milik dari “Yang Lain”? Ciri khas macam mana yang dimiliki oleh, “Yang Lain”. Untuk menunjukkan kekhasan dari “Yang Lain”, kita beranjak dari pengalaman diri kita sendiri. Kita mengalami diri ketika kita menyatakan “aku” dalam relasi kita dengan diri kita sendiri dan dalam relasi kita dengan yang lain. Dengan menyebut “aku”, kita memperlihatkan dunia “aku” dan mengalaminya “dari dalam”. Pengalaman
diriku bukanlah satu pengalaman yang lengkap, karena, semakin kita mengalami diri, semakin kita tahu sedikit sekali tentang diri kita. Kita tidak mengenal siapa kita, siapa “aku” sesungguhnya. Usaha untuk mengenal diri hanya mungkin apabila kita berjumpa dengan “Yang Lain”. Dengan kata lain, aku hanya dapat mengenal diriku, ketika aku yang tahu sedikit sekali tentang diriku berhadapan dengan “Yang Lain” yang menjelma dalam tubuhnya, dalam perkataannya dan dalam tingkah lakunya. Dengan demikian terjalin hubungan “Aku dan Yang Lain”. Tetapi hubungan ini adalah satu hubungan yang sama sekali tidak lengkap, karena “Yang Lain” juga tidak tampil seluruhnya; ia hanya menjelma sedikit dalam penampilan-penampilan lahiriah yang disebutkan itu. “Yang Lain” dalam pengalamanku akhirnya menjadi “Yang Lain” sama sekali, begitu juga “Yang Lain” ketika berhadapan denganku menyebut “Aku” sebagai “Yang Lain” sama sekali juga.
            Hubunganku dengan diriku sendiri dan dengan “Yang Lain” memperlihatkan ciri khas tertentu. Hal itu bergantung kepada cara kita menilai. Satu fakta yang tak dapat disangkal ialah bahwa setiap orang mencintai dirinya. Aku mencintai diriku. Sesuatu yang paling dekat dengan diriku adalah diriku sendiri, hidupku, cintaku, kegemaranku, pikiran dan perasaanku, pendeknya “duniaku”. Pengalaman awalku terhadap “Yang Lain” mencerminkan penilaianku terhadap “Yang Lain”. Yang Lain ternyata tidak tampil ramah terhadapku. Dalam lubuk hati terdalamku, aku melihat “Yang Lain” atau sebagai ancaman terhadap duniaku atau sebagai pemenuhan duniaku. Karena itu, aku sedapat mungkin menaklukkan “Yang Lain” agar Yang Lain bertindak baik terhadapku dan tidak menipuku. Aku menghendaki agar Yang Lain menghargai dan menerimaku. Begitu juga, perspektif seperti ini menjadi perspektif “Yang Lain” juga, ketika Yang Lain itu berhadapan denganku. Yang Lain dapat saja melihatku sebagai ancaman atau sebagai pemenuhan dirinya. Yang Lain ingin menaklukkanku agar aku bertindak baik terhadap Yang Lain dan tidak menipunya. Dalam usaha untuk membangun satu relasi yang saling menghargai dan menerima ini perlu ada ruang “kepercayaan” yang harus ditempa, agar Yang Lain dapat masuk dengan leluasa ke dalam duniaku dan begitu juga “aku” dapat masuk ke dalam
dunia Yang Lain dengan leluasa pula. Kepercayaan mengandaikan keberanian, ketrampilan dan risiko.
            Aku dan Yang Lain sebetulnya berdiri di atas basis yang  sama yaitu Selbst atau Diri. Aku adalah Diriku sendiri dan Yang Lain adalah Dirinya sendiri. Hubungan “Aku dan Yang Lain” hanya memperkokoh jati diri masing-masing, yaitu bahwa Yang Lain tetap menjadi Yang Lain sama sekali, ketika dia berhadapan denganku (Diriku menjadi Yang Lain sama sekali untuk dia) atau ketika aku berhadapan dengan Yang Lain (Dirinya menjadi Yang Lain sama sekali untuk aku).
1.2.3. Kesejarahan atau Historisitas
            Bila kita berbicara tentang kesejarahan atau historisitas sebagai salah satu dimensi dasar dari realitas manusia, maka refleksi kita terarah kepada dua hal ini. Di satu pihak kesejarahan atau historisitas dipandang sebagai faktor penghalang setiap usaha manusia untuk menetapkan satu pengertian tentang realitas manusia yang tidak terikat pada waktu. Pikiran dan pemikiran manusia senantiasa terikat erat dengan situasi historis. Manifestasi pikiran dan pemikiran manusia juga tampil sangat berbeda dalam perjalanan sejarah. Adalah satu hal yang sangat sulit untuk menemukan satu pemikiran tentang manusia terlepas dari konteks historisnya. Di pihak lain, historisitas atau kesejarahan ini dilihat sebagai satu faktor pendukung, karena di dalam historisitas terlaksana realisasi diri manusia yang khas untuk menempatkan diri manusia ke dalam masa sekarang ini melalui hubungan antara masa sekarang dengan masa depan dan masa lampau. Manusia adalah satu hakikat yang hidup dalam sejarah atau satu hakikat yang menyejarah. Dengan kenyataan ini, kita ingin mendekati beberapa tema yang menyangkut historisitas seperti kesejarahan dari penulisan sejarah, ide tentang waktu objektif dan waktu subjektif dan kesejarahan atau historisitas itu sendiri.
2.3.1. Kesejarahan dari penulisan sejarah.
            Ilmu Sejarah sebagai satu ilmu yang meneliti, menulis dan melukiskan sejarah adalah sama seperti ilmu pengetahuan empiris yang lain. Dia harus tunduk pada hukum
objektivitas. Karena itu ideal dari penulisan sejarahnya adalah bahwa pemberitaan tentang sesuatu yang sudah terjadi di masa lampau harus sesuai dengan apa yang sudah terjadi sebagaimana adanya. Penulisan sejarah bukanlah satu penulisan ceritera dongeng atau legenda. Tetapi masalahnya ialah bahwa apa yang diteliti dan ditulis tidak menghadirkan objektivitas seluruhnya dari apa yang sudah terjadi sebagaimana adanya. Penulis sejarah bagaimanapun juga tidak mengenal seluruhnya apa yang sudah terjadi. Dengan demikian penulisan sejarah bukanlah satu pekerjaan yang sekali dibuat. Sejarah tentang apa yang sudah terjadi di masa lampau selalu perlu dikonstniksi lagi dan ditulis ulang.
            Ada dua alasan mengapa sejarah harus selalu ditulis ulang dan metode pendekatannya harus senantiasa diperbaharui. Alasan pertama ialah bahwa dengan penemuan sumber-sumber baru seperti penemuan arsip-arsip atau penyingkapan arti dari banyak teka-teki yang menyangkut huruf dan bahasa serta penemuan alat-alat baru dalam menulis sejarah, diperkayalah pengetahuan sejarah. Pengetahuan tentang sesuatu hal atau peristiwa di masa lampau dengannya diperluas dan membutuhkan pengkajian ulang. Dengan penemuan-penemuan seperti itu ternyata bahwa ada beberapa periode atau penggalan sejarah tertentu dilupakan, dikesampingkan atau tidak mendapat perhatian seperlunya. Penulisan dan pengkajian ulang peristiwa sejarah itu menghindari kesimpulan­kesimpulan yang ditarik secara gegabah atau secara tergesa-tegesa karena sumber-sumber tentang itu kurang sekali atau sempit. Alasan yang kedua adalah bahwa setiap sumber tertulis yang berisikan tentang peristiwa masa lampau tidak pernah selesai menyampaikan sesuatu. Sumber itu memuat semacam satu objektivitas yang tidak terkait pada waktu. Karena sumber-sumber itu memuat kenyataan dan tidak pernah selesai disingkapkan, maka kegiatan penafsiran terhadapnya menjadi penting dan harus dijalankan secara terus menerus. Kenyataannya ialah bahwa sumber-sumber tertulis itu juga merupakan hasil dari satu penafsiran terhadap kenyataan masa lampau, lalu sumber ini juga kemudian perlu ditafsir lagi sesuai dengan problem-problem baru yang aktual. Karena itu sering kita menemukan bahwa penafsiran terhadap sumber-sumber tertulis itu dapat menggeserkan tekanan tertentu sesuai dengan problem-problem baru. Hal itu bergantung kepada si penulis
,
sejarah yang hidup dalam epoche tertentu dengan persoalan tertentu. Tentang satu tema yang sama, seorang penulis sejarah di masa lampau melihat dan menafsirnya secara lain dari pada penulis sejarah yang melihat hal itu menurut problem aktual sekarang.
            Cara perlukisan sejarah senantiasa berubah. Perubahan perlukisan sejarah ini mencerminkan adanya perubahan dalam cara-cara untuk mengerti masa sekarang secara lebih tepat. Apakah orang menemukan masa sekarang yang penuh dengan problem­problem? Apakah orang mengalami masa sekarang secara tidak menyenangkan? Apakah orang terpaksa harus menerima situasi sekarang yang tidak bisa dielakkannya? Bila perubahan dalam cara-cara perlukisan sejarah terjadi, maka kita dapat berbicara tentang kemajuan dalam pengetahuan historis. Kemajuan ini dalam kaca mata sejarawan bukanlah menunjuk kepada dunia fisika yang memiliki struktur peraturannya, tetapi menunjuk kepada jaringan yang beranekaragam dari semua peristiwa konkret. Peristiwa-peristiwa konkret ini bisah dilihat dari berbagaimacam pendekatan ilmiah (psikologis, sosiologis, ekonomis, politis dsb.). Tetapi untuk seorang sejarawan, jaringan yang beranekaragam dari peristiwa-peristiwa konkret ini coba ditempatkan ke dalam satu situasi historis masa lampau yang melatarbelakangi terjadinya peristiwa-peristiwa konkret ini. Usaha untuk menempatkan jaringan peristiwa-peristiwa konkret ini dijalankan melalui tematisasi bagian­bagian tertentu dari peristiwa-peristiwa itu dalam situasi historis tertentu atau juga tematisasi titik tolak pendekatan tertentu dalam konteks historis tertentu. Justru usaha inilah yang menempatkan setiap penulisan sejarah dan penulis sendiri ke dalam satu latar belakang sejarah dan ideologi sejarah tertentu yang mewarnai penulisannya. Dengan itu kita berkesimpulan bahwa penulisan sejarah tentang satu hal berbeda dari penulis yang satu dengan penulis yang lain, dan kenyataan ini merangsang setiap sejarawan untuk senantiasa bersikap kritis terhadap penulisan sejarah yang dibuat oleh orang lain atau juga menjalankan kritik-diri terhadap penulisan sejarah yang dibuat sendiri.
            Kesejarahan menjadi sasaran penulisan sejarah. Kesejarahan sendiri tentu berbeda dengan sejarah. Kesejarahan tidak lain dari pada segala sesuatu yang terjadi di masa lampau sebagaimana adanya; segala sesuatu itu menyangkut satu bangsa, agama, situasi sosial,
kebudayaan, singkatnya keseluruhan kemanusiaan dengan segala macam aspeknya. Sejarah adalah di satu pihak usaha untuk menghadirkan kembali realitas di masa lampau secara objektif mungkin dan di pihak lain satu bentuk hidup yang menjadi tanggung jawab budaya sendiri. Kesejarahan merupakan keseluruhan realitas masa lampau yang terkristalisir dalam sejarah. Manusia menulis sejarah dan bukan menulis kesejarahan. Motif dasar penulisan sejarah ini adalah minat dasar terhadap segala sesuatu yang sudah terjadi untuk menghadirkannya kembali ke dalam masa sekarang dengan tujuan untuk mengatasi persoalan-persoalan tertentu masa sekarang atau untuk memenuhi kebutuhan tertentu yang tidak dimiliki pada masa sekarang. Tanpa minat dasar itu tidak ada usaha untuk menulis sejarah.
2.3.2. Ide tentang waktu objektif dan waktu subjektif.
            Penelitian ilmiah tentang peristiwa masa lampau merupakan satu cara untuk menyoroti masa sekarang yang terbuka terhadap masa depan dan masa sekarang yang sudah terbentuk oleh masa lampau. Sejarah sendiri dimungkinkan oleh kesejarahan atau historisitas dari penghayatan realitas manusia sebagai satu realitas “Ada” dan dalam ukuran historis tertentu sejarah itu diperlukan oleh historisitas penghayatan manusia ini.
            Bila peristiwa masa lampau diamati dan diteliti, maka itu berarti bahwa kita menempatkan peristiwa masa lampau ke dalam kesadaran kita. Peristiwa masa lampau yang dihadirkan kembali pada masa sekarang pada dasarnya dilatarbelakangi oleh satu ide tentang waktu objektif, yaitu satu perjalanan waktu yang mengikuti garis-garis yang diberi ciri khas sebagai yang terjadi lebih awal, lebih kemudian, kemudian sekali atau yang paling akhir, pendeknya satu struktur dasar waktu yang di dalamnya peristiwa-peristiwa “terjadi satu sesudah yang lain”. Struktur dasar dari waktu objektif ini dapat ditentukan secara
pasti menurut hukum fisika, khususnya Astronomi, dan waktu seperti ini adalah waktu kodrati karena perjalanan waktu didasarkan pada peredaran dan ritme alam seperti siang, malam, hari, minggu, bulan, tahun dan musim. Waktu kodrati masih lagi dilengkapi dengan waktu hasil kesepakatan yang berisikan peristiwa-peristiwa tertentu sebagai titik referensi untuk pembagian waktu. Penanggalan dan kalender dibuat atas dasar peristiwa-peristiwa
tertentu ini yang disepakati sebagai satu penentuan dan perhitungan waktu, misalnya peristiwa kelahiran Yesus, peristiwa Hijrah Nabi Muhammad, peristiwa kemerdekaan bangsa Indonesia dan lain-lain. Pembagian waktu yang berdasarkan atas peristiwa-peristiwa tertentu itu bisa juga memperlihatkan satu periode, satu epoche atau zaman seperti pembagian sejarah Indonesia atau sejarah satu bangsa. Waktu hasil kesepakatan yang berdasarkan peristiwa penting tertentu itu disebut sebagai waktu sejarah. Pembagian waktu seperti ini masih tetap didasarkan pada waktu kodrat dan merupakan kosekuensi yang tak terulang dari perjalanan waktu kodrati. Gambaran waktu yang dikaitkan dengan waktu kodrati ini menjadi perhatian para pakar sejarawan.
            Tetapi bagaimanapun juga gambaran waktu seperti itu hanya mungkin ada, karena ia didasarkan pada satu cara awal kesejarahan yang terkait sangat erat dengan karakter Subjek dari manusia itu sendiri. Si penulis sejarah sendiri juga merupakan bagian dari kesejarahan, hidup dalam sejarah dan turut memberi karakter terhadap kesejarahan itu sendiri. Konsep inilah yang menghantar kita kepada ide tentang waktu subjektif, yaitu kesejarahan yang melekat pada subjek itu sendiri. Tanpa subjek, tidak ada gambaran tentang waktu. Kenyataan ini dapat dijelaskan lebih lanjut tentang arti waktu berikut ini.
Tidak dapat disangkal bahwa waktu merupakan kesatuan antara masa lampau, masa sekarang dan masa depan. Pernyataan ini dapat dimengerti menurut tiga arti mendasar yang berbeda.
            Pertama. Waktu merupakan keseluruhan dari semua momen atau saat, momen masa lampau, momen sekarang dan momen yang akan datang. Keseluruhan ini merupakan kesatuan dari satu gambaran tentang waktu itu sendiri, yaitu masa lampau dan masa depan
disintesekan dengan masa sekarang menjadi satu waktu. Waktu adalah sintese masa lampau dan masa depan dengan masa sekarang. Tapi bagaimana ini dapat dijelaskan? Waktu lampau merupakan satu yang sudah tidak terjadi lagi atau satu yang terlupa, tapi dibangkitkan kembali oleh “kenangan” dan melalui kenangan, waktu lampau dihantar
untuk masuk ke dalam masa sekarang. Waktu lampau adalah masa sekarang yang menghadirkan kembali masa lampau. Begitu juga masa depan. Masa depan adalah sesuatu
yang belum terjadi, tetapi dihadirkan lebih dahulu melalui “antisipasi” dan dihantar masuk ke dalam masa sekarang. Masa depan adalah masa sekarang yang mengantisipasi sesuatu yang belum terjadi. Dengan gambaran ini, masa sekarang mendapat tekanan istimewa. Kedua dimensi yang lain, yaitu masa lampau dan masa depan, tersintese dalam masa sekarang. Tetapi mengapa masa sekarang mendapat tekanan istimewa dalam gambaran waktu yang demikian? Alasanya ialah Subjek sendiri atau waktu yang terikat erat dengan subjek. Waktu Sekarang adalah Kekinian dari Subjek yang sedang ingat akan sesuatu, subjek yang sedang berantisipasi dan subjek yang sedang menyibukkan diri dengan sesuatu. Waktu sekarang adalah aktivita subjek. Hal ini berarti ganda. Di satu pihak, masa sekarang merupakan titik tolak untuk dua dimensi yang berjalan bertolak belakang, yaitti dimensi masa lampau dan masa depan. Masa lampau dan masa depan berakar pada masa sekarang. Masing-masingnya, baik masa lampau maupun masa depan, adalah masa sekarang yang terhayati dari subjek. Dengan kata lain, tanpa subjek ketiga masa itu tidak punya arti. Di pihak lain di dalam Subjek terdapat jelas korelasi antara masa lampau dan kenangan akannya, masa depan dan antisipasi akannya, masa sekarang dan kepasrahan atau penyerahan diri ke dalamnya. Hal ini sejalan dengan apa yang dijelaskan Agustinus dalam Confessiones XI, 14 dst., bahwa masa lampau, masa depan dan masa sekarang hanya ada untuk satu “hakikat” yang mampu ingat, mampu berantisipasi dan yang mampu memberi perhatian. Penjelasan di atas menghantar kita kepada kesimpulan bahwa waktu bukanlah produk dari kegiatan subjek, tapi waktu tidak bisa ada tanpa subjek.
            Kedua. Bagaimana masa depan, masa sekarang dan masa lampau selalu ada di dalam satu kesatuan: antisipasi untuk masa depan, perhatian untuk masa sekarang dan kenangan untiik masa lampau? Kita mengambil contoh sebuah melodi. Satu melodi merupakan satu kesatuan yang tersusun dari setiap nada. Bila kita mendengar beberapa nada dari satu melodi yang kita kenal, maka pada waktu yang sama kita “terarah tetap pada atau menaruh perhatian pada” nada itu dan serempak “mengharapkan” munculnya nada-nada lain yang membangun melodi itu. Dengan mendengar, memperhatikan dan mengharapkan, terciptalah satu gambaran keseluruhan dari melodi itu. Keseluruhan itulah yang adalah peristiwa melodi sendiri. Keseluruhan peristiwa itu sendiri menempati masa sekarang yang meliputi peralihan nada yang satu ke nada yang lain. Dengan demikian masa sekarang adalah momen ketika setiap nada terdengar pada saat itu di dalam perwujudan melodi itu, tapi juga keseluruhan peristiwa melodi. Keseluruhan itu mencakup juga antisipasi menuju pemenuhan keseluruhan melodi dan sekaligus juga momen dari sebagian nada yang sudah terdengar. Dari contoh ini kegiatan “menaruh perhatian” yang dijalankan pada masa sekarang mendasari kenangan akan satu peristiwa yang sudah terjadi dan antisipasi akan satu peristiwa yang akan terjadi. Tindakan itu dilihat sebagai korelasi yang membangun satu kesatuan antara masa lampau, masa sekarang dan masa depan. Tindakan itu sendiri adalah bentuk batiniah atau bentuk dalam dari peristiwa-peristiwa yang berjalan secara objektif di hadapan seluruh perhatian dan kesadaran manusia.
            Ketiga. Arti ketiga dikaitkan dengan persoalan: Apakah bentuk waktu untuk satu perlukisan objektif tentang sesuatu yang terjadi sudah selalu dan hanis merupakan waktu batiniah (waktu objektif) dari peristiwa yang terjadi. Memang terdapat perbedaan antara waktu yang termasuk dalam proses yang digambarkan secara objektif dan waktu yang termasuk dalam peristiwa-peristiwa subjek. Bila waktu itu termasuk dalam peristiwa subjek, maka bagaimanapun juga waktu termasuk dalam kehidupan subjek sebagaimana tersedia dalam kesadaran subjek sendiri. Kita mengambil contoh ketika kita berhadapan dengan sebuah drama di atas panggung. Drama itu mencerminkan perjalanan hidup kita yang terdiri dari fase awal, tengah dan akhir. Perjalanan hidup itu merupakan satu keseluruhan. Tetapi kita bukan hanya memperhatikan fase hidup kita sendiri, melainkan momen-momen hidup yang sering kita lupa atau tidak kita sadari justru masuk dalam perhatian orang lain. Mereka turut memberi gambaran terhadap sejarah hidup kita. Dengan demikian kita melihat bahwa ada perbedaan antara waktu sebagai bentuk gambaran (baik gambaran yang saya buat sendiri maupun gambaran yang dibuat orang lain tentang saya) dan waktu sebagai bentuk kehidupan yang memiliki struktur dan realitasnya sendiri yang terpisah dari subjek. Persoalannya ialah bahwa sejauh mana saya menghidupi waktuku. Sejauh saya memiliki kemungkinan dan dapat rtirjudkan kemungkinan itu, maka sejauh itu
pula saya mengalami masa depan. Dan sejauh saya tahu bahwa saya atas cara tertentu sudah ada dan kemungkinan-kemungkinan tertentu sudah terwujud dalam diri saya, sejauh itu pula saya mengalami masa lampau. Begitu pula, sejauh saya menggenggam dan menangkap kemungkinan-kemungkinan tertentu, sejauh itu saya mengalami masa sekarang. Masa depan saya adalah kemungkinan bagi saya, masa lampau adalah satu keharusan, dan masa sekarang adalah kenyataan yang tidak lengkap.
2.3.3. Kesejarahan sendiri atau historisitas.
            Kesejarahan menandai pengertian dasar tentang manusia dan dunianya. Kesejarahan dalam arti ini adalah kesejarahan dalam arti antropologis. Selain itu, kesejarahan menandai juga karakter dari satu budaya yang khas. Dalam arti yang kedua, kesejarahan adalah kesejarahan dalam arti budaya. Kita cuma membahas kesejarahan dalam arti antropologis.
Kesejarahan dalam arti antropologis memperlihatkan “dialektika”  kesejarahan sendiri: dialektika antara masa lampau dan masa depan dengan masa sekarang. Ungkapan “kesejarahan” dari realitas manusia dimaksudkan kenyataan bahwa manusia yang hidup di saat ini tidak hanya memiliki masa lampau di belakangnya dan masa depan di hadapannya, tetapi juga selalu mengembangkan satu hubungan bagaimana ia memiliki masa lampau di
belakangnya, masa depan di hadapannya dan masa sekarang di dalamnya. Hubungan itu terdiri dari tanggapan-tanggapan, pertimbangan, penilaian serta keputusan-keputusan dan kegiatan konkret sekarang entah secara sadar atau tidak, entah secara bebas atau tidak. Hubungan itu menyangkut baik sejarah kehidupan individual maupun kolektif.
            Kita hidup dalam masa sekarang ini. Masa sekarang ini pada hakikatnya merupakan satu aktus atau kegiatan yang memiliki masa lampau dan masa depan. Dari ini dapatlah dibedakan dua hal: menempatkan penghayatan masa sekarang ke dalam gambaran masa lampau atau masa depan dan merintangi penghayatan masa sekarang dengan menghilangkan masa lampau atau masa depan. Dalam hal pertama, manusia memindahkan atau memasukkan diri ke dalam masa lampau atau masa depan. Ia tidak hidup dalam masa sekarang. Orang hidup dalam khayalan dan menecnukan nilai hidupnya di masa lampau (pengalaman nostalgia) atau di masa depan (impian masa depan). Sejauh
hal ini mempunyai pengaruh positif terhadap tindakan masa sekarang, sejauh itu pula ia menemukan nilai masa sekarang yang punyai arti. Tetapi apabila khayalan itu tetap ada tanpa punya hubungan yang berarti dengan masa sekarang, maka sebetulnya masa lampau atau masa depan menutupi realitas hidup yang sekarang. Orang lari kepada dunia khayalan. Pada hal, masa sekarang merupakan masa yang konkret dan penting; ia punya nilai yang berbeda dengan masa lampau dan masa depan. Karena itu keputusan untuk menghayati masa sekarang secara tepat dan bijaksana adalah keputusan untuk memanfaatkan kesempatan dan kemungkinan yang sudah berbeda dengan yang sebelumnya dan yang akan datang. Masa sekarang akhirnya menjadi medium perbuatan dan hidup konkret seseorang, ketika seseorang memutuskan untuk mengisinya secara menguntungkan atau membahagiakan. Dalam hal kedua, masa sekarang yang sejati tidak hanya ditentukan oleh pembedaannya dengan masa lampau dan masa depan, tetapi juga oleh kenyataan bahwa masa lampau dan masa depan “terputus”dari penghayatan terhadap masa sekarang. Masa sekarang yang sejati kehilangan masa lampau dan masa depan. Itu berarti bahwa dengan kehilangan dimensi itu semua perbuatan yang konkret senantiasa berada dalam atau masuk ke dalam sesuatu yang baru; perbuatan itu turut memberi arti baru terhadap masa lampau dan masa depan. Ungkapan “kehilangan masa lampau” tidak lain dari pada satu fenomen yang menunjukkan bahwa masa lampau terputus dari penghayatan terhadap masa sekarang, atau dengan kata lain, untuk menghayati masa sekarang masa lampau tidak diperlukan. Manusia memberi penilaian negatif terhadap pengalaman masa lampaunya yang buruk dan tidak mau mengintegrirnya ke dalam kehidupannya yang sekarang. Dengan pengalaman masa lampau yang buruk, ia seakan-akan memulai “nol” untuk satu hidup baru. Bila ia melihat kenyataan masa lampau itu dengan mata positif, maka ia mulai berpikir dan merenung kembali untuk melangkah maju dengan perasaan terbuka. Begitu juga, ungkapan “kehilangan masa depan” dimaksudkan fenomen yang menunjukkan bahwa hubungan antara masa sekarang dan masa depan menjadi terputus, atau dengan kata lain, untuk menghayati masa sekarang masa depan tidak diperlukan. Manusia tidak memiliki masa depan; ia kehilangan harapan. Masa sekarang menjadi satu masa yang tertutup.
Konsekuensinya ialah bahwa manusia tidak menemukan arti terhadap hidup, kerja dan perjuangannya di masa sekarang. Konsekuensi lebih lanjut juga ialah bahwa hubungan masa depan dengan masa lampau terputus, karena tidak ada jembatan antara masa lampau dan masa depannya.
            Dialektika kesejarahan di sini dapatlah disimpulkan dari kenyataan bahwa di dalam diri subjek, hubungan antara masa lampau, masa sekarang dan masa depan dikembangkan, dan masing-masingnya hanya punya arti apabila masa sekarang meresapi dua dimensi yang lain dan serempak pula diresapi oleh dua dimensi yang lain. Masa sekarang tidak punya arti tanpa masa lampau dan masa depan, begitu juga masa lampau dan masa depan tidak punya arti tanpa masa sekarang.
2.4. Kejasmanian
            Ide penuntun yang menentukan penafsiran kita tentang fenomen antropologis “kejasmanian” adalah ide tentang, subjektivitas. Subjektivitas adalah penghayatan relasi terhadap diri sendiri dan serempak relasi terhadap yang lain. Yang lain bisa berupa manusia lain, makhluk hidup lain atau bisa juga benda-benda lain. Sejauh yang lain itu, misalnya manusia lain, tetap berada sebagai yang lain, sejauh itu pula yang lain tetap berada sebagai yang lain untuk saya. Tetapi ada sesuatu yang tidak jelas baik bila dilihat dari yang lain maupun dilihat dari sudut saya; hal itu adalah tubuh. Untuk mengartikan kejasmanian tubuh, kita perlu bertolak dari “subjektivitas”.
2.4.1. Prapengertian tentang kejasmanian dengan bertolak dari bahasa.
Bila kita berbicara tentang tubuh jasmani, kita perlu memiliki gambaran tentang satu tubuh jasmani yang tidak terpisah-pisahkan dari anggota-anggota tubuh yang lain. Seluruh anggota tubuh membangun satu tubuh jasmani yang hidup, yaitu satu figur tubuh jasmani yang hidup-hidup. Itulah letak realitas tubuh jasmaniah. Karena itu, gambaran kita tentang
realitas itu menjadi berarti apabila kita menganalisa realitas itu melalui prapengertian tentangnya. Prapengertian ini memberi kita arah jelas yang dapat kita tematisir menurut bahasa, yaitu a). Bahasa metaforis tubuh; b). penangkapan figur jasmaniah melalui bahasa;
c). ruang lingkup pemahaman tentang “tubuh”; d). problematika metodologis tentang misteri kejasmanian: seberapa jauh tubuh merupakan satu fenomen?
a). Bahasa Metaforis tentang tubuh.
            Kita menemukan begitu banyak kata yang mengungkapkan bagian-bagian dari tubuh, bahkan gerak-gerik tubuh. Kata-kata itu menunjuk kepada berbagai macam realitas yang memperlihatkan fungsi dan cara beradanya. Kita menyebut beberapa contoh. Kata-kata yang menunjuk kepada bagian-bagian tubuh: tangan, kepala, bahu, dada, hati dsb. dan kata-kata yang menunjuk kepada gerak-gerik tubuh: lari, berdiri, tidur, jalan, duduk dsb. Kata-kata yang memiliki arti dasar ini dapat saja berarti banyak, jika kata-kata itu dipakai dalam arti metaforis. Contoh: kepala suku, kepala pasukan, kepala pemerintahan dsb; begitu juga gerak-gerik tubuh mempunyai arti metaforis seperti misalnya melarikan diri, memperdirikan rumah, meniduri perempuan, menjalani hukuman, mendudukkan perkara dsb. Kata-kata yang mengungkapkan arti metaforis disebut bahasa metaforis (meta-phora: pengalihan). Di dalam bahasa metaforis arti dasar tentang tubuh sama sekali tidak hilang, meskipun artinya sudah menunjuk kepada kenyataan atau barang lain. Arti yang berbeda-beda itu dalam bahasa metaforis tubuh sama sekali tidak hanya memperlihatkan adanya struktur analogi antara arti dasar dan arti-arti lain yang diperoleh dari bahasa metaforis tubuh, juga tidak hanya memperlihatkan betapa mudahnya arti dasar dari kata tertentu untuk tubuh dapat dialihkan ke dalam arti lain melalui bahasa metaforis, tetapi juga mempertegas bahwa justru di dalam perbedaan-perbedaan arti yang diperoleh dari bahasa metaforis arti dasarnya tetap menjadi prinsip kesatuannya.
b). Penangkapan figur jasmaniah melalui bahasa.
            Dengan bertolak dari analisa bahasa, kita dapat menangkap satu kesatuan antara tubuh dan roh. Setiap kata merupakan susunan dari fonem-fonem (bunyi suara: setiap huruf mewakili satu bunyi suara tertentu) dan monem (kesatuan terkecil yang punya arti tertentu dan yang turut membentuk fonem-fonem). Bila orang mengtingkapkan bunyi suara tertentu, maka orang terus menangkap arti yang terkandung dalam bunyi suara itu; demikian
halnya juga ketika orang mengucapkan satu kata sebagai hasil bentukan bunyi suara itu.
Orang langsung menangkap arti yang terkandung dalam kata itu. Kesatuan antara tanda yang menunjukkan arti dan arti yang terkandung di dalamnya begitu erat sehingga menghilangkan tanda berarti menghilangkan artinya. Keduanya merupakan satu mata uang dengan sisi yang berbeda: Kesatuan seperti inilah yang dapat kita bayangkan tentang kesatuan tubuh dan roh. Bila kita menyebut nama seorang yang kita kenal seperti presiden “Abdurahman Wahid”, maka nama ini menunjuk kepada satu figur jasmaniah yang sekaligus juga mencerminkan elemen rohaniah yang melekat pada figur jasmaniah orang itu.
            Pertanyaan lebih lanjut tentang “tubuh” ialah bahwa apakah “tubuh” merupakan satu-fenomen dan sejauh mana “tubuh” merupakan satu fenomen? Tubuh memang jelas merupakan satu fenomen seperti benda-benda lain. Orang bisa memandang tubuh dan berbicara tentang tubuh sebagai sesuatu yang memiliki ukuran “besar, tinggi, rendah, pendek dsb.”, dan juga sebagai sesuatu yang tampak indah, jelek, tampan, cantik dsb. Yang pertama merupakan fenomen ukuran fisik, dan yang kedua merupakan fenomen estetis. Tetapi bagaimana “tubuh” itu menjadi satu fenomen? Bila orang berkata dalam ungkapan “dia adalah orang yang ringan tangan”, maka ungkapan “ringan tangan” sebagai bagian dari tubuh menunjukkan perbuatan dan sikap dari keseluruhan manusia yang suka menolong sesama. Fenomen “tubuh” – dalam hal ini “ringan tangan” – mengungkapkan sikap suka menolong, meskipun dalam fakta fisis tidak ada gejala itu. Si pengamat mengatakan orang yang demikian sebagai orang yang “ringan tangan”, ketika dia memperoleh pengalaman akan sikap atau perbuatan manusia yang “ringan tangan” itu dan ketika dia bertemu dengan orang bersangkutan yang berada di sana dengan figur tubuh tertentu. Fenomen “tubuh” akhimya menunjuk kepada kehadiran keseluruhan pribadi tertentu.
2.4.2. Reduksi tubuh (der Leib) kepada badan (der Korper).
            Dalam pemakaian bahasa sehari-hari tidak ada pembedaan tajam dan tetap antara tubuh dan badan. Arti keduanya sering dicampur baurkan dalam pemakaian. Misalnya, tubuhnya mengandung penyakit atau badannya penuh dengan penyakit. Meskipun
demikian, keduanya menunjuk kepada realitas yang berbeda. Badan merupakan bagian dari ruang yang dapat diukur dalam Geometri atau dapat dipelajari dalam dunia fisik. Badan terbentuk dari berbagai macam sel-sel, molekul-molekul dan zat-zat kimiawi lainnya, dan unsur-unsur ini membangun satu figur atau raut muka yang tetap atau dapat berubah sesuai dengan usia. Gejala-gejala badan, strukturnya dan bentuk badan dapat diteliti, diamati dan ditafsir dalam dunia ilmu pengetahuan seperti geometri, antropologi ragawi, fisika, biologi, ilmu kimiawi dsb. Hakikat badan adalah satu hakikat kodrati yang menjadi objek penelitian ilmu pengetahuan. Tubuh merupakan keseluruhan manusia yang tampak dalam struktur jasmaniahnya. Tetapi pengertian ini sering hilang karena tubuh sering diidentikan dengan badan. Pengertian tubuh direduksikan kepada pengertian badan.
            Beberapa pemikir yang berbicara tentang kejasmanian manusia memberi pemahaman kepada kita bahwa reduksi tubuh kepada badan dapat dicermati dalam pemikiran filsafiah mereka. Descartes mengerti tubuh dan badan dalam konteks materi. Hakikat dari materi adalah merentang atau keluasan (rex extensa) dan gerakan. Sifat kerentangan dan gerakan dari materi itu dapat diamati dalam matematika dan geometri. Segala sifat khas itu hanya masuk dalam dunia indra kita dan mempenganihi dunia indra kita, tetapi tidak bisa ditangkap ke dalam satu sistem rasional kita. Kita hanya dapat memandang, mengamati dan menangkapnya dalam hal raut muka, bentuk, warna, bau, dsb. Tidak heran bahwa Descartes membedakan dua cara penerimaan atau tanggapan yang berkenaan dengan tubuh manusia: memandang dengan pikiran (imaginare) dan menanggapi dengan indra (sentire). Materi dipertentangkan dengan Roh (Geist). Tidak ada satu ruang kosong untuk materi, tetapi tidak punya sifat khas batiniah di dalam materi, yaitu sifat khas atau daya yang menjadi prinsip penyatuan dari dalam. Gerakan materi hanya berjalan secara mekanis seperti angin puting beliung (Cf. Emerich Coreth, p. 30.). Dalam konteks pemahaman tentang materi ini, tubuh dan badan termasuk dalam materi yang bergerak secara mekanis, tetapi katena ada unsur jiwa (kesadaran atau res cogitans), maka terjalin hubungan antara jiwa-badan yang mempunyai penjelasan tersendiri menurutnya. Satu kesimpulan yang ditarik dari konsep Descartes ialah bahwa bagaimanapun juga tubuh
dan badan diidentikan dengan mesin yang berfungsi secara mekanis, dan kedua-duanya berhubungan dengan jiwa (jiwa-badan) dalam satu hubungan timbal balik dengan pusatnya pada otak.
            Kritik terhadap pemikiran Descartes terletak dalam pemisahan yang tajam antara “adanya” manusia dengan realitas materi yang dikenakan pada tubuh dan badan manusia. Faktor budi pada manusia yang memiliki kemampuan kritis untuk melihat dirinya dan menyadari dirinya memperlihatkan adanya perbedaan jelas bahwa gerakan dan rentangan yang terdapat dalam materi sama sekali tidak sama dengan gerakan dan rentangan pada tubuh manusia. Gerakan dan proses rentangan pada tubuh manusia selalu berada dalam kombinasi atau hubungan dengan jiwa. Hubungan itu begitu intim dalam diri manusia, sehingga tidak mungkin tipe motorik dan mekanis pada materi diidentikan dengan tipe motorik dan mekanis pada tubuh manusia. Bagaimana hubungan yang saling mempengaruhi tubuh dan jiwa dapat dijelaskan secara rasional, Descartes tidak menjelaskannya secara tepat. Meskipun demikian, sumbangan luar biasa dari paham Descartes untuk perkembangan ekplorasi terhadap tubuh manusia luar biasa. Penelitian terhadap tubuh manusia sebagai satu materi membawa kemajuan di bidang obat-obatan yang digunakan untuk penyembuhan penyakit-penyakit tubuh.
            Paham Descartes tentang jiwa-badan mempengaruhi juga paham filsafiah Spinoza tentang tubuh manusia. Dalam pandangan Spinoza paham dualistis jiwa-badan pada Descartes dijelaskan secara lain dan agak lunak. Spinoza berpendapat bahwa hanya ada satu “Substansi” yang merangkum seluruh realitas (Anton Bakker, p. 96 bdk. Coreth, p. 43-44 Substansi itu hanyalah Allah saja. Substansi itu memiliki atribut-atribut yang dari
padanya keluarlah modus-modus (cara-cara berada). Modus-modus itu berparalel satu
sama lain secara mekanis. Tubuh merupakan satu modus rentangan atau perluasan, sedangkan jiwa juga merupakan satu modus berpikir. Tubuh dan jiwa memiliki kegiatan yang tidak punya sangkut paut satu dengan yang lain, tetapi paralel secara otomatis di bawah satu substansi yang mempersatukan keduanya. Pandangan Spinoza berhaluan monistis dalam konsepnya tentang jiwa-badan, tetapi kritik yang ditujukan kepada
Descartes berlaku juga untuk Spinoza. Reduksi realitas tubuh kepada badan masih nyata dalam konsep jiwa-badannya. Tubuh dan badan adalah sama dalam arti bahwa keduanya merupakan materi itu sendiri sebagai satu modus dari substansi yang satu.
2.4.3. Reintegrasi badan ke dalam tubuh.
            Reintegrasi badan ke dalam tubuh terwujud melalui “aku sebagai subjek”. Di dalam aku, keduanya terbentuk dalam satu kesatuan yang erat. Hal ini digambarkan sebagai seorang pelaut yang berada dalam kapal lautnya. Si pelaut bersatu erat dengan kapalnya, tapi memiliki distansi dengan kapalnya. Dia bisa mengamati-amati kapalnya apakah ada beberapa bagian kapal yang telah rusak. Atau juga satu kesatuan antara tubuh dan badan di dalam aku sebagai subjek digambarkan sebagai subjek yang merasa lapar, sakit atau haus dsb. Perasaan lapar, sakit dan haus ditangkap melalui pernyataan atau tanggapan tubuh. Kodrat tubuh mengajarkan bahwa si subjek merasa lapar, haus atau sakit. Dengan demikian, rasa lapar atau sakit itu menjadi satu sinyal atau tanda agar si subjek mengambil tindakan yang perlu untuk menjawabinya. Si subjek memperoleh pengenalan bahwa badannya sakit, meskipun dia sendiri bukan seorang dokter. Reintegrasi itu dimungkinkan oleh salah satu gejala yang disebut “Mekanisme badan sebagai spiritualisme tekhnomorfis”.
            Aku sebagai subjek memiliki kemampuan untuk membebaskan diri dari kekuasaan
kodrat materi yang melekat pada badan kita. Kekuasaan kodrat materi ini merupakan satu kekuatan gelap yang menguasai manusia. Kekuatan ini dengan sendirinya berjalan secara mekanis sesuai dengan hukum kodrat materi itu sendiri. Dengan demikian badan kita yang adalah kodrat alamiah tidak luput dari proses mekanis material yang dapat saja berbahaya dan dapat saja berguna. Itulah hukum mekanisme alam yang merupakan bagian integral dari manusia. Tetapi berkat kemampuan dan kehendak manusia, teknik dan ilmu pengetahuan yang secara langsung berhubungan dengan kodrat alamiah badan kita, dapat dikembangkan untuk membebaskan mekanisme kodrat material alamiah yang mengancam hidup manusia. Ketika teknik dan ilmu pengetahuan tercipta untuk pembebasan itu, ketika itu pula teknik dan ilmu itu jatuh ke dalam proses mekanis-material yang berfungsi menurut hukum kodrat materi juga. Teknik itu sendiri tidak memiliki hakikat, tetapi hasil dari proses aku sebagai subjek dalam mengenal dan membebaskan diri dari genggaman mekanisme materi yang melekat pada badan. Proses mekanisme materi pada badan ini hanya mungkin didasarkan pada satu elemen rohaniah yang berdiri di luar kerja materi. Seandainya tidak ada elemen ini, maka mekanisme itu berjalan buta, dan manusia tidak mungkin menciptakan teknik dan instrumen yang dapat mengubah proses mekanisme. Dikatakan bahwa mekanisme itu sendiri adalah spiritualisme yang tekhnomorfis, karena perubahan-perubahan bentuk dan teknik yang dihasilkan oleh kesanggupan subjek melahirkan mekanisme material alamiah baru, dan hal ini pun hanya menjadi mungkin oleh karena kesanggupan subjek itu yang dikarakterisir dengan kesanggupan rohaniah.
2.4.4. Realitas Kejasmanian (Leiblich-Sein).
            Realitas kejasmanian berlaku hanya untuk pengertian realitas tubuh dan bukan untuk pengertian badan, karena realitas tubuh berkaitan erat dengan subjek dan subjektivitas. Realitas tubuh menghadirkan seluruh kepribadian subjek. Hal ini berarti bahwa realitas tubuh bersifat unik dan individual, sedangkan realitas badan yang disamakan dengan benda dan mesin dapat saja bersifat kolektif. Realitas tubuh hanya merupakan realitas “aku sebagai subjek yang menjasmani”.
            Untuk mentematisir secara filsafiah realitas kejasmanian yang ditujukan kepada realitas tubuh, perlulah diperhatian dua bidang ini, yaitu di bidang perlukisan terhadap cara-cara bagaimana realitas tubuh dialami, dan di bidang pemberian arti ontologis terhadap pengalaman realitas yang demikian.
Dimensi kejasmanian dalam ruang.
            Berbicara tentang dimensi kejasmanian dalam ruang berarti berbicara tentang cara-cara bagaimana realitas tubuh atau realitas kejasmanian dialami. Realitas kejasmanian yang berada dalam waktu sudah dibicarakan dalam tema tentang historisitas. Di sini kita mentematisir realitas kejasmanian yang berada dalam ruang.
            Ruang dialami bukan sebagai sesuatu yang mutlak dan yang memiliki satu kesatuan. Ruang dialami sebagai yang banyak. Ruang berhubungan dengan sesuatu yang ada di
dalamnya atau sesuatu yang dapat ada di dalamnya. Ruang ada untuk sesuatu. Dengan demikian, bila sesuatu itu adalah aku sebagai subjek, maka ruang itu ada untuk aku sebagai subjek. Perlukisan tentang ruang untuk subjek lalu tidak sama dengan perlukisan ilmiah tentang ruang seperti dalam Geometri dan Physik, karena perlukisan ruang dalam Geometri dan Physik tidak mengenal ruang atas, ruang bawah, kiri, kanan, luas, sempit, dekat atau jauh. Ruang dalam Geometri dan Physik tidak dibedakan dari ruang yang satu dan ruang yang lain. Ruang semacam ini berada di luar pembedaan ruang, di dalam dan di luar. Pemahaman ruang seperti,ini tidak sama dengan pemahaman ruang satu subjek.
            Pemahaman ruang satu subjek berarti pemahaman tentang cara bagaimana si subjek berada dan hidup dalam ruang. Bagi si subjek – tentu bagi kita semua sebagai subjek – setiap titik pusat yang dapat membangun satu hubungan bertolak dari titik pijak yang dilambangkan dengan titik nol, tempat dia berdiri dan berada. Titik pijak ini memungkinkan adanya satu sistem koordinasi semua dimensi, karena titik pijak itu sendiri mengarah ke banyak dimensi. Dimensi-dimensi yang keluar dari titik pijak tempat berdirinya si subjek bisa saja mengarah ke atas, ke bawah, ke kanan, ke kiri, ke dalam dan ke luar. Arah-arah yang berbeda-beda, bahkan arah-arah yang saling bertentangan seperti kiri dan kanan, atas dan bawah, justru mempunyai arti mendasar untuk pembentukan ruang, karena dengan adanya arah-arah itu si subjek mulai membuka satu ruang gerak yang bebas dan juga mengukur ruang gerak itu, baik ruang gerak yang menyentuh luasnya maupun isinya. Realitas kejasmanian si subjek memang mengorganisir arah gerak yang berbeda-beda itu dan serempak pula memberi arah atau orientasi keberadaan jasmaniahnya.
            Bila kita berpikir tentana ruang, maka kita pertama-tama terfiksir pada kesadaran kita akan ruang yang kita alami, ruang yang kita rasakan atau juga ruang yang kita ukur. Kita dapat mengalami ruang sebagai yang sangat luas atau juga yang sangat sempit. Kita dapat mengalami ruang sebagai yang berbentuk segi empat atau ruang yang bersudut-sudut. Bukan hanya ruang yang kita alami secara konkret, tetapi juga ruang yang dapat kita bayangkan dalam imaginasi kita, misalnya satu ruang yang kita bayangkan sebagai ruang gerak ideal bila kita berdoa atau bekerja atau juga hidup. Pendeknya, terdapat banyak ruang
yang di dalamnya kita hidup. Banyak ruang yang kita alami mengandaikan batas-batas pengalaman akan ruang saya dan ruang hidupmu. Batas-batas ini baik bersifat fisis seperti bilik saya dan bilikmu, atau ruang ibadat kristen dan ruang ibadat muslim, maupun juga bersifat simbolik seperti ruang hidup pribadi saya yang tidak dimasuki oleh siapapun dan ruang hidup pribadimu yang tidak bisa saya masuki, atau ruang hidup keluarga yang satu dengan yang lain dsb. Batas-batas ruang ini baik yang bersifat fisis maupun simbolis menunjukkan bahwa di dalam batas-batas itu ruang tersebut hanyalah milik dari subjek yang mengalaminya.
            Pengalaman ruang seperti di atas baik secara fisis maupun dalam imaginasi tidak lagi terbatas pada kehadiran fisis dalam arti kehadiran badan saya di satu tempat. Pengalaman ruang si subjek mencakup juga kehadiran seluruh dimensi kejasmanian subjek. Meskipun badan saya berada di tempat ini, tetapi pengalaman saya akan ruang jauh lebih luas dari ruang tempat badan saya berada. Hal ini kentara misalnya, ketika saya merencanakan untuk membuat satu perjalanan ke tempat lain. Ketika saya membuat rencana itu, pengalaman saya akan ruang sudah melibatkan juga ruang tempat tujuan perjalanan saya. Dimensi kejasmanian saya sudah lebih luas dari ruang tempat badan saya berada.
            Ruang dikaitkan dengan pengalaman subjek di dalam tubuhnya. Subjek berada dalam tubuhnya. Melalui tubuhnya si subjek mengalami bahwa dia bergerak dari satu titik pusat tertentu menuju arah-arah tertentu. Tetapi titik pusat itu tidak berada secara otomatis. Dia tercipta melalui proses belajar dan latihan agar si subjek mempunyai satu sistem ruang gerak yang dapat menampilkan dirinya secara transparan. Melalui tubuh jasmaniah, di dalam tubuh jasmaniah dan dengan tubuh itu si subjek dapat menyembunyikan diri, tetapi juga dapat mengungkapkan diri secara jelas. Juga si subjek yang sakit payah dan si subjek yang sehat walafiat dapat memperlihatkan pengalamannya di dalam tubuh kejasmaniannya secara transparan. Subjek yang sakit berada di dalam tubuh yang tampak kurus, pucat dsb., sedangkan subjek yang sehat walafiat berada di dalam tubuh yang tampak segar, bugar, kuat dsb. Pengalaman subjek di dalam tubuhnya termasuk pengalaman subjek sebagai
pengalaman akan ruang. Tubuh subjek merupakan satu tempat atau ruang yang harus selalu sudah diterimanya untuk dapat menerima ruang-ruang lain. Karena si subjek pada akhirnya berada di dalam tubuhnya sedemikian sehingga dia sendiri adalah tubuhnya sendiri, maka dia dapat berada di dalam banyak ruangan.
Pemberian arti ontologis terhadap realitas kejasmanian.
            Salah satu cabang ilmu pengetahuan yang menyibukkan diri dengan tubuh manusia adalah ilmu pengetahuan obat-obatan atau farmasi. Perkembangan pengetahuan di bidang ini begitu pesat sehingga penyakit-penyakit yang dulunya dipandang sebagai penyakit turunan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan kini dengan bantuan obat-obatan dapat dengan mudah disembuhkan. Tetapi betapapun canggihnya perkembangan pengetahuan obat-obatan, pengetahuan semacam ini hanya berhenti pada usaha untuk mengobati tubuh yang sakit. Objek dari ilmu pengetahuan obat-obatan adalah satu organisme yang sakit atau tubuh jasmaniah yang sakit; itu berarti bahwa tubuh jasmaniah yang demikian dapat diteliti, diraba, dipegang, dioperasi, disuntik, ditambal dsb.; pendeknya, satu tubuh jasmaniah yang diperlakukan sebagai satu benda, satu mesin atau juga satu kumpulan unsur kimiawi. Teori-teori tentang pengobatan dan tentang struktur fisis tubuh jasmaniah tidak mengungkapkan korelasi antara tubuh jasmaniah itu dengan keseluruhan subjek yang menyandang tubuh jasmaniahnya. Teori-teori itu hanya merupakan teori fisio-biologis yang belum menyentuh dimensi realitas kejasmanian sebagai satu realitas “ada” secara jasmaniah dari realitas manusia.
            Pemahaman di atas berakar pada filsafat Descartes yang masih menonjolkan dualisme antara “res extensa” yang dikenakan pada tubuh jasmaniah dan “res cogitans” yang ditujukan kepada kesadaran. Ilmu pengetahuan alam, terutama ilmu obat-obatan dan biologi, belum berhasil mengkonstruksikan hubungan antara keduanya itu. Masih tinggal satu problem filosofis yang harus direfleksikan. Problem filosofisnya terletak dalam usaha untuk mentematisir satu bidang yang merupakan campuran antara res extensa dan res cogitansnya; problem itu tidak lain dari pada menyentuh apa yang menjadi hakikat terdalam yang dapat mempersatukan kedua unsur itu. Di sinilah letak pentingnya ontologi yang
berasaha untuk merefleksikan satu inti sari yang menjadi basis untuk rex extensa dan res cogitans. Inti sari itu ditemukan dalam fenomen “aku sebagai subjek yang mengkonstitusikan diri”.
Aku sebagai subjek mengkonstitusikan dirinya melalui satu realitas kejasmanian dalam dua aspek, yaitu aku sebagai “yang mempunyai tubuh” (das Leib-Haben) dan aku sebagai “yang adalah tubuh (das Leib-Sein). Aku sebagai yang mempunyai tubuh berakar di dalam aku sebagai yang adalah tubuh. Yang pertama – sebagai yang mempunyai tubuh – berhubungan dengan tubuh dalam fungsi fisio-biologisnya, sedangkan yang kedua – aku yang adalah tubuh – berhubungan dengan seluruh realitas subjek yang adalah realitas tubuh jasmaniah. Justru di dalam satu kesatuan antara “aku sebagai yang mempunyai tubuh” dan “aku sebagai yang adalah tubuh” terletak realitas kejasmanian subjek. Penetapan arti ontologis terhadap realitas kejasmanian dibuat dan direfleksikan dalam usaha untuk mensistematisir satu kesatuan antara aku sebagai subjek yang mempunyai tubuh dan yang adalah tubuh.
3. ELEMEN ROHANIAH DARI PERWUJUDAN KEBERADAAN MANUSIA.
            Kerohanian manusia merupakan satu kemampuan konstitutif dalam relasi manusia baik dalam relasi manusia dengan dirinya maupun dalam relasi manusia dengan dunia di luarnya. Kemampuan konstitutif dalam relasi ini ditandai dengan apa yang disebut “kesadaran dan kebebasan”; kedua unsur inilah yang mau dibahas dalam seluruh bab ini.
3.1. Kesadaran rohaniah.
3.1.1. Fenomen Kesadaran.
            Langkah untuk menafsirkan fenomen kesadaran diawali  dengan pengalaman akan fenomen kesadaran itu sendiri. Pengalaman menunjukkan bahwa kesadaran merupakan satu fakta atau kenyataan, yaitu bahwa kesadaran itu sendiri memang ada. Kita memang tidak langsung mentematisir fenomen ini; kita hanya memahaminya dengan cara menanalisa pengalaman “ketidaksadaran”, menganalisa struktur tanggapan kesadaran dan menganalisa penolakan terhadap kesalahan penafsiran.
Pengalaman “ketidaksadaran” dan keajaiban kesadaran.
            Manusia mengalami bahwa dia tidak sadar, ketika dia sedang tidur, atau ketika dia sedang dibius untuk menjalani satu operasi tubuh atau juga ketika dia jatuh pingsan dengan tidak sadarkan diri. Dalam keadaan yang demikian, dia tidak tahu apa-apa tentang segala sesuatu yang melingkupinya. Dari keadaan dan tingkah laku yang tidak sadar, orang lain mengalami bahwa dia memang tidak sadar. Dengan pengalaman seperti ini, kita belum bisa menjelaskan hakikat dari kesadaran, tetapi kita dapat menunjukkan fenomen kesadaran dengan menyaksikan terjadinya peralihan dari keadaan tidak sadar kepada keadaan sadar. Peralihan itu dapat kita alami langsung ketika kita terjaga dari tidur nyenyak atau ketika kita mengalami bahwa orang yang jatuh pingsan tiba-tiba menjadi sadar lagi. Kita mengalami sesuatu secara sadar. Dengan pengalaman ini, kita dapat merumuskan apa itu kesadaran.
Kesadaran pada dasarnya merupakan satu cara hidup manusia. Dia mirip dengan kekuasaan dan tampil secara tidak menonjol. Sebagaimana udara penting untuk pernapasan kita, begitu juga kesadaran penting untuk hidup kita. Kesadaran tidak dapat ditangkap dengan indra, dan munculnya di hadapan kita seakan-akan muncul dari ketiadaan.
            Di sanalah justru letak keajaiban kesadaran. Kesadaran merupakan sesuatu yang sangat mengagumkan. Mengapa dikatakan demikian? Apa yang dapat kita tangkap dan amati adalah isi-isi kesadaran dan bukannya kesadaran sendiri. Isi-isi kesadaran itu berbeda satu dengan yang lain dan terdiri dari berbagai macam hal. Misalnya, saya sadar akan kehadiran seseorang yang berada berhadapan dengan saya. Kehadiran seseorang di hadapan saya merupakan isi dari kesadaran saya. Begitu juga, saya sadar bahwa saya sedang membaca buku. Isi kesadaran saya adalah kegiatan saya dalam membaca buku. Isi kesadaran tidak lain dari pada sasaran atau objek-objek kesadaran. Isi-isi kesadaran ini selain berasal dari saya dan disatukan oleh aku sebagai subjek, juga dapat ditemui dalam subjek-subjek yang lain. Dengan demikian ada isi-isi kesadaran yan, saya miliki dan isi-isi kesadaran yang dimiliki oleh subjek yang lain. Di sinilah komunikasi dan hubungan antara isi-isi kesadaran subjek yang satu dengan subjek yang lain terbentuk, dan pada akhirnva isi-isi kesadaran itu menjadi satu kesadaran kolektif yang dapat diamati sebagai satu fenomen kesadaran. Justru di sinilah letak keajaibannya bahwa isi-isi kesadaran itu dapt ditematisir, tetapi si subjek tidak dapat menangkap secara jelas kesadaran itu sendiri.
            Bila isi-isi kesadaran itu dapat ditangkap, pertanyaan kita ialah bahwa apa itu realitas sesungguhnya. Apakah realitas itu adalah keseluruhan segala sesuatu sebagaima adanya dan berhubungan satu sama lain tanpa keterkaitannya dengan kesadaran si subjek, atau segala sesuatu yang berhubungan dengan kesadaran si subjek? Dengan kata lain, apakah realitas itu adalah objek di dalam dirinya (realitas an sich) atau objek yang masuk dalam kesadaran subjek? Pertanyaan ini menjadi tugas ontologi untuk mensistematisirnya, tetapi dalam hubungan dengan filsafat antropologi pertanyaan-pertanyaan itu merupakan alat bantuan manusia untuk menggeluti persoalan kesadaran, atau lebih luas dikatakan, pertanyaan-pertanyaan itu berkaitan dengan persoalan dunia si subjek yang sadar. Kita
tidak bisa menangkap seluruh realitas an sich di luar diri si subjek; realitas itu hanya masuk
perlahan-lahan atau si subjek menjadi sadar perlahan-lahan akan realitas di luar. Dalam proses “menjadi sadar perlahan-lahan” realitas yang sesungguhnya menurut filsafat manusia adalah realitas yang ada untuk si subjek. Realitas ini tidak pernah berada di luar subjek, dan dengan demikian menjadi sadar terhadapnya adalah satu proses kesadaran untuk mengalami realitas itu, menanggapinya dan mengamatinya. Proses menjadi sadar ini hanya bisa berfitngsi sebagai penggambaran terhadap satu kesadaran yang bersifat formal. Di sinilah letak keagungan dan keajaiban kesadaran bahwa proses menjadi sadar diberi bentuk oleh adanya realitas kesadaran. Dengan kata lain, “menjadi sadar dan sadar akan” (bewußt-werden dan bewußt-sein atau to become conscious dan to be cunscious) bersatu erat, dan kedua elemen itu memperlihatkan satu cara berada dari realitas kesadaran itu sendiri.
Struktur tanggapan kesadaran.
            Kita bertolak dari satu objek yang ditanggapi oleh kesadaran si subjek. Tanggapan kesadaran itu bersifat visual, yaitu ketika si subjek melihat sesuatu benda, ia memberi tanggapan visual terhadap benda itu secara sadar. Si subjek melihat sebuah objek, misalnya sekuntum bunga mawar yang sedang mekar. Ketika si subjek melihat dan menyaksikan hal itu, si subjek menjadi sadar akan objek yang berhadapan dengan subjek. Itulah bentuk pertama kesadaran. Dengan cara ini, si subjek berada dekat dengan objek dan menjadi sadar akan adanya objek. Di dalam proses “menjadi sadar” akan objek, kesadaran si subjek muncul. Bila tidak ada objek yang berhadapan dengan subjek, maka tentu tidak ada tanggapan kesadaran. Begitu juga sebaliknya, bila tidak ada intensionalitas (kesadaran yang bersifat intensional) kesadaran, maka tidak terjadi juga proses menjadi sadar akan objek yang berhadapan dengan subjek. Objek yang ditanggapi dan kesadaran yang bersifat intensional merupakan dua elemen yang konstitutif dalam proses “menjadi sadar”. Dari proses ini dapatlah tercipta hubungan yang berkembang menjadi satu refleksi kesadaran diri si subjek.
            Tetapi kesadaran diri subjek tidak hanya berhenti pada refleksi subjek tentang
objek yang berhadapan langsung dengan dirinya. Refleksi kesadaran diri subjek dapat menyentuh ingatan  atau kenangan si subjek  akan objek yang sudah dilihatnya dulu. Misalnya, si subjek telah melihat kapal tertentu itu di pelabuhan. Si subjek sekarang ingat bahwa dia melihat kapal tertentu itu di pelahuhan itu. Isi kesadaran di satu pihak adalah kapal itu dulu dan di lain pihak adalah perbuatan melihat kapal itu dulu. Kapal dan perbuatan melihat kapal itu dulu merupakan satu hubungan yang dibangun di atas dasar refleksi kesadaran atas objek kapal yang ditanggapi, tetapi refleksi kesadaran ini adalah refleksi kesadaran atas satu realitas objek yang sudah menjadi pusat perhatian utama di dalam diri subjek sendiri.
            Proses refleksi kesadaran atas realitas objek yang sudah mendapat perhatian utama di dalam diri subjek hanya menjadi mungkin, karena ada sesuatu unsur hakiki awali yang
termasuk dalam kesadaran itu sendiri. Unsur awali itu adalah satu gejala “ada dekat dengan dirinya sendiri” (das Bei-sich-sein). Apa yang dimaksukan dengan “ada dekat dengan dirinya sendiri”? Dalam tata urutan waktu, kesatuan dengan sesuatu objek yang sudah ditanggapi selalu terjadi lebih dahulu dari pada perbuatan tanggapan atau perbuatan melihat. Bila kita rujuk kepada contoh di atas, maka kesatuan subjek dengan kapal yang ditanggapi secara visual terjadi atau terbentuk lebih dahulu dari pada perbuatan melihat kapal itu. Tetapi dalam tata urutan realitas subjek sebagai realitas “ada”, perbuatan tanggapan didasarkan pada “ada dekat dengan dirinya” dari subjek yang menanggapi objek, karena si subjek sendiri memasukkan diri baik ke dalam objek yang dapat ditanggapi maupun dalam refleksi dirinya sendiri.
            Gejala “berada dekat dengan dirinya sendiri” merupakan akar kesadaran. Realitas gejala ini dari dirinya sendiri bukan sesuatu yang sadar, bukan juga termasuk dalam ciri-ciri khas phisis dan psikis tertentu yang dimiliki si subjek. Kesadaran diri terisi oleh realitas gejala ini, dan bersama dengannya kesadaran diri merupakan bentuk tertentu dari kesadaran yang dalam keseluruhannya hanya dapat dimungkinkan oleh realitas “berada dekat dengan dirinya”. Dengan kata lain, realitas “berada dekat dengan dirinya” memungkinkan semua
kesadaran yang konkret. Dia sendiri bukanlah objek dari proses “menjadi sadar”, melainkan objek dari satu pengenalan atau pengetahuan abstrak-spekulatif yang bergerak maju
secara halus dari sesuatu yang didasari kepada sesuatu yang mendasari (Bdk. Teori pengetahuan menurut Platon, cf. Coreth, pp. 73 dst.)
Penolakan terhadap interpretasi yang keliru.
            Di dalam proses tanggapan terdapat kesatuan antara objek yang ditanggapi dan subjek yang menanggapi, atau kesatuan antara objek dan subjek. Dengan menyebutkan kata “tanggapan” tersirat korelasi pengertian antara subjek yang menanggapi dan objek yang ditanggapi. Korelasi ini terjadi dalam satu peristiwa ketika subjek berhadapan dengan objek dan membangun sahi kesatuan identitas yang mengagumkan, yaitu identitas subjek sebagaimana adanya dan identitas objek sebagaimana adanya. Persoalannya ialah bahwa sejauh mana identitas keduanya dapat dikenal sebagaimana-mestinya dalam relasi subjek-
objek itu? Subjek yang menanggapi selalu melibatkan objek yang menjadi sasaran keterarahan kesadaran subjek, dan objek yang ditanggapi selalu melibatkan kegiatan tanggapan si subjek. Untuk mengerti sesungguhnya dan menafsir identitas subjek dan identitas objek, kita perlu menanggalkan hubungan antara subjek dan objek, karena baik subjek maupun objek mempunyai cara tertentu dalam membangun relasi satu sama lain. Tetapi kita terjebak dalam apa yang disebut sebagai kekeliruan pemberian arti atau kekeliruan interpretasi yang objektivistis dan subjektivistis. Dalam terminologi umum kita tersandung dalam apa yang disebut objektivisme dan subjektivisme.
            Objektivisme merupakan satu proses pemahaman dan penafsiran bahwa objek yang ditanggapi subjek itu adalah objek dalam realitasnya yang sesungguhnya. Hal ini sangat kentara dalam teori-teori ilnu pengetahuan, terutama dalam physika, kimiawi dan physiologi. Teori-teori ilmu pengetahuan tentang tanggapan si subjek terhadap objek, terutama biologi, fisika, kimiawi dsb. seperti penjelasan optik seluibungan dengan fungsi mata. Penjelasan biologis tentang struktur tubuh dan fungsi-fungsi organ tubuh, hanya menjelaskan fungsi dan proses kerja organ-organ tubuh, tetapi tidak menjelaskan realitas objektif yang termuat dalam tanggapan si subjek itu sendiri. Kita mengambil contoh
tentang seorang yang melihat “sebatang pohon pisang”. Ketika pengalaman indrawi
subjek, misalnya matanya, berhadapan dengan realitas “pisang”, lensa mata yang mengandung gelombang sinar terarah kepada realitas pohon “pisang” dan lensa ini membangun jaringan dengan sistem saraf sentral di otak, kemudian realitas pisang itu terproyeksi ke dalam keseluruhan tanggapan indrawi si subjek yang pada gilirannya membentuk kesan-kesan dan gambaran tentang realitas “pisang”. Hasil kerja tanggapan optik dan hasil berfungsinya seluruh sistem saraf dan kerja organ tubuh ketika berhadapan dengan realitas pisang pada akhirnya membentuk gambaran tentang “pisang”. Dengan demikian pengetahuan objektif tentang pisang adalah realitas pisang yang sudah masuk dalam proses tanggapan subjek dan bukannya realitas pisang itu sendiri.
            Pengaruh terhadap pemberian arti yang keliru terhadap objek, atau objektivisme dalam terminologi di atas, dapat kita simak dari filsafat empirisme David Hume (1711-1776). Hume berpendapat bahwa isi kesadaran itu bersumber pada apa yang disebutnya “kesan-kesan dan ide-ide” (cf. Harry Hamersma: Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern dan
Emerich Coreth, p.70 dst.). Kesan-kesan adalah hasil rekaman pengalaman indrawi yang langsung ketika subjek menanggapi sebuah objek yang dilihat, dipegang atau diraba atau dirasa secara langsung. Ide-ide bukanlah hasil dari satu pengertian yang diolah oleh akal budi, tetapi gambaran lebih lanjut yang berasal dari pengenalan indrawi. Gambaran ini sebetulnya diciptakan kembali oleh karena ingatan (kumpulan kesan) si subjek dan kemampuan kesadaran untuk menciptakan gambaran. Kesadaran sendiri adalah deretan kontinu dari kesan-kesan. Kemampuan untuk menciptakan gambaran terealisir dalam pembentukan kombinasi dan asosiasi. Kombinasi merupakan gambaran tentang satu objek, gambaran yang tersusun dari kumpulan ide-ide, sedangkan asosiasi merupakan gambaran-gambaran yang dimunculkan oleh karena adanya gambaran-gambaran lain. Pertanyaan kita ialah bahwa apakah objek dalam arti realnya dapat dirumuskan seobjektif mungkin?
            Lawan dari objektivisme adalah subjektivisme. Subjektivisme merupakan satu proses pemahaman dan penafsiran bahwa realitas objek yang ditanggapi bukanlah objek dalam arti sesungguhnya, tapi semata-mata gambaran subjek  tentang objek. Gambaran
tentang objek ini hanyalah peristiwa psikis di dalam diri subjek, peristiwa psikis yang membangun satu realitas objek yang mirip dengan realitas objek sebagaimana adanya. Dengan demikian objek yang benar sama sekali berbeda dengan objek yang ditanggapi subjek. Ada dua argumentasi subjektif yang membenarkan atau mempertegas pendirian itn. Pertama, objek yang ditanggapi subjek sesungguhnya terjebak di dalam penipuan indrawi (kamuflase pengalaman indrawi), dan dari itu disimpulkan bahwa sudah ada pembauran antara gambaran yang dihasilkan oleh pengalaman indrawi tentang objek itu dan objek yang digambarkan dalam refleksi budi. Hal inilah yang membuat kita ragu-ragu untuk memperlihatkan apa objek itu dalam realitas sesungguhnya. Idealnya bahwa kita coba menghilangkan balutan-balutan atau penipuan indrawi untuk mencapai realitas objek sesungguhnya. Tapi apakah hal ini mungkin? Kedua, ketika objek itu ditanggapi oleh subjek, ketika itu pula objek itu bergantung kepada cara-cara bagaimana organ-organ indrawi kita menanggapinya. Organ-organ indrawi kita sudah secara physis-biologis teroganisir dan terkonsolidir untuk memberi respons terhadap objek yang ditanggapi itu. Dengan cara ini, kita perlu membedakan cara-cara penampilan realitas objektif dalam organ-organ indrawi kita dari cara-cara realitas objektif yang dijamin dalam organ-organ indrawi kita. Dengan kata lain, ada beda antara cara organ-organ indrawi dalam menangkap
realitas objektif dan cara-cara realitas objektif untuk terserap dalam organ-organ indrawi. Dua argumen ini memang tajam, tetapi bisa menghantar orang untuk bersikap skeptis bahwa apa ada realitas objek sesungguhnya atau apa ada realitas objek in sich.
            Untuk menjembatani objektivisme dan subjektivisme, kita merujuk kepada satu fenomen kesadaran yang mampu membuat refleksi tentang hubungan antara objek yang ditanggapi dengan subjek yang menanggapi. Objek yang ditanggapi dan subjek yang ditanggapi harus dipahami sebagai yang identik. Kesatuan identitas antara kedua dalam refleksi kesadaran bisa membawa kesimpulan bahwa objek yang ditanggapi dan subjek yang menanggapi adalah identik. Hal ini dijelaskan demikian, bahwa kesadaran sendiri besifat immanen dan transenden. Kesadaran bersifat imanen, ketika kesadaran itu yang dilengkapi dengan organ-organ indrawi melekat dan terikat pada objek yang berhadapan
dengannya. Ketika itu, kesadaran memberi tempat atau membiarkan diri diisi oleh objek yang ditanggapi. Ia menjadi satu dengan objek yang ditanggapi. Tetapi ketika dia immanen di dalam objek, ketika itu pula kesadaran membebaskan diri dari keterikatannya dengan objek yang ditanggapi. Inilah sifat transendennya, yaitu bahwa kesadaran mampu untuk keluar dari kurungan objek yang ditanggapi; ia mentransendir objek yang ditanggapi itu.
3.1.2. Dimensi-dimensi kesadaran.
            Beberapa fenomen kesadaran yang disebut sebelumnya perlu dilengkapi lagi dengan menyebutkan beberapa dimensi kesadaran. Dimensi-dimensi ini adalah spontanitas dan rezeptivitas dalam kesadaran; kesadaran teoretis dan kesadaran praktis; jenjang-jenjang kesadaran; kesadaran diri dan kesadaran terhadap yang lain. Kita coba menjelaskan dimensi-dimensi itu pada bagian berikutnya.
Spontanitas dan rezeptivitas dalam kesadaran.
            Proses tanggapan terhadap objek dan pengetahuan tentang objek itu berjalan bersamaan. Pengetahuan tentang objek itu tidak mungkin ada bila tidak ada tanggapan, begitu juga tanggapan hanya bisa dipahami melalui pemahaman dan pengenalan terhadap objek. Proses tanggapan dan pengenalan dilukiskan sebagai satu proses kesadaran untuk menerobos masuk ke dalam realitas objek yang sesungguhnya. Realitas objek sebagaimana adanya tampil atau masuk ke dalam daya tanggap dan pengenalan si subjek. Di dalam proses ini terjadilah apa yang disebut “rezeptivitas” (passivitas) dan “spontanitas” (aktivitas).
            Rezeptivitas adalah proses penerimaan kesadaran terhadap realitas objek yang berhadapan dengan subjek. Proses ini lebih menonjolkan keadaan pasif dari kesadaran, karena sebelum subjek mengenal objek, objek itu sudah mengimbas kesadaran melalui
satu bentuk tertentu. Rezeptivitas menunjuk kepada kesadaran yang terkena imbas secara tidak terelakkan (pasif) oleh objek. Ketika kesadaran terkena imbas oleh objek, pada
waktu yang sama secara spontan kesadaran menjadi aktif untuk membuat penentuan, menetapkan pembedaan dan memberi arti terhadap objek yang ditanggapi. Dalam proses
selanjutnya objek akhirnya menjadi pusat perhatian kesadaran, dan untuk selanjutnya objek itu diolah dan direfleksikan oleh kesadaran. Kegiatan kesadaran inilah yang disebut “spontanitas”. Pengertian tentang kebenaran dan kepalsuan atau tentang keadekuatan dan ketidakadekuatan terletak di dalam usaha kedua kemampuan itu, yaitu rezeptivitas dan spontanitas, untuk mereproduksikan dan merekonstruksikan realitas objek di dalanl kesadaran sesuai atau tidak sesuai dengan realitas objek sebagairnana adanya.
            Untuk menjelaskan rezeptivitas dan spontanitas dalam kesadaran, kita boleh merujuk kepada filsafat pengetahuan Immanuel Kant dalam karya Kant “Kritik Budi Murni” (Kritik der reinen Vernunft, singkatannya “KrV”). Kant dalam uraian filsafiah tentang ajaran-ajaran pokok transendental yang dituangkan dalam tema “estetika transendental dan logik transendental” berpendapat bahwa pengenalan manusia terhadah sesuatu memiliki tiga kemampuan utama: pertama, kemampuan rezeptivitas atau keindrawian; kedua, kemampuan spontanitas atau daya nalar; ketiga, kemampuan akal budi murni. Rezeptivitas adalah kemampuan subjek untuk menerima gambaran dengan cara bagaimana si subjek terimbas oleh objek-objek. Objek-objek yang mengimbasi subjek terjadi melalui pandangan atau penglihatan subjek, dan ketika subjek memandang objek, pada saat yang sama secara serempak kemampuan kedua, yaitu daya nalar, menciptakan “pengertian”. Ada satu kesatuan fungsional yang harus ada antara daya rezeptivitas dan daya nalar. Kemampuan rezeptivitas didasarkan pada satu persyaratan a priori yang muncul dalam bentuk murni, yaitu ruang dan waktu, sedangkan kemampuan spontanitas didasarkan pada budi murni yang menghantar manusia dalam refleksi lebih lanjut untuk membuat kesimpulan-kesimpulan. Kemampuan ketiga sebetulnya kemampuan budi untuk membuat kesimpulan. Memang ada ulasan panjang lebar dari Kant tentang hubungan antar, rezeptivitas, spontanitas dan daya akal budi untuk membuat kesimpulan, tetapi untuk pokok kita di sini, dimensi kesadaran subjek itu memuat daya rezeptivitas melalui pengalaman indrawi, daya spontanitas dan daya penyimpulan melalui pengenalan budi. Heideggcr kemudian menjabarkan pengertian subjek menurut Kant ke dalam tiga karakter: aku
mengalami (merasa); aku berpikir; aku bermoral (Cf. Heidegger, Martin: Die Grundprobleme der Phänomenologie, p.172-219.)
            Kemampuan rezeptivitas dan spontanitas dapat dipahami dalam proses kegiatan “tanya-jawab”. Bila kita bertanya tentang sesuatu hal, maka pertanyaan kita sendiri sudah mengandaikan adanya bahan atau objek atau sesuatu hal yang ingin diketahui. Pertanyaan sendiri mendapat arah tertentu, dan ke arah itu, sebuah jawaban diharapkan. Jawaban-jawaban terhadap pertanyaan itu berupa kemungkinan-kemungkinan atau hipotese-hipotese. Ada hipotese-hipotese yang kebenarannya teruji dalam jawaban-jawaban pasti, tetapi ada hipotese-hipotese yang tetap tinggal sebagai kemungkinan yang tidak terealisir. Yang pertama lebih menyangkut hipotese yang dapat ditarik dari pengalaman-pengalaman konkret, sedangkan yang kedua lebih menyangkut hipotese yang melekat pada objek sendiri yang sebagiannya tak dapat terjangkau oleh subjek; dengan kata lain, dalam hipotese jenis kedua tinggal curna pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab oleh si subjek. Pertanyaan lebih menunjukkan kemampuan rezeptivitas subjek, karena objek terimbas pada subjek dan memukau subjek untuk ingin tahu tentang objek, sedangkan jawaban lebih menunjukkan kemampuan spontanitas subjek, karena objek yang terimbas pada subjek mau dipahami dan dijelaskan. Proses tanya jawab ini secara ontologis tetap berjalan sejauh subjek ada dan bergiat.
Kesadaran Teoretis dan Kesadaran Praktis.
            Kesadaran teoretis dan kesadaran praktis termasuk juga dalam dimensi-dimensi yang berasal dari kesadaran sendiri. Kesadaran teoretis lebih berhubungan dengan pengetahuan dan pengenalan, sedangkan kesadaran praktis lebih berkaitan dengan baik-buruknya sesuatu untuk subjek. Kesadaran teoretis berasal dari kegiatan subjek untuk memperoleh pengetahuan dan pengenalan akan sesuatu. Dasar dari pengetahuan dan pengenalan ini menurut Aristoteles adalah tanggapan indrawi, terutama pengalaman yang dihasilkan oleh kegiatan “melihat dan mendengar”. Pengetahuan dan pengenalan termuat di dalam tanggapan indrawi, terutama ketika si subjek memandang atau mendengar sesuatu. Kesadaran teoretis yang berpusat pada kegiatan subjek untuk tahu tentang sesuatu tidak
selamanya berorientasi pada kegunaan dan tujuan dari pengetahuan itu. Kegiatan untuk mengetahui dan mengenal objek berjalan otonom, dalam arti bahwa proses pencaharian pengetahuan dan pencapaian pengetahuan yang benar tidak bergantung pada apakah pengetahuan itu punya manfaat atau tidak. Proses ini lebih tertuju kepada usaha untuk mengenal dan mengatahui “mengapa” (alasan, dasar, sebab) sesuatu terjadi dan dialami. Kesadaran teoretis merupakan kegiatan kesadaran untuk mengetahui dan mengenal hakikat sesuatu, dengan kata lain untuk mengetahui dan mengenal “apa itu sesuatu di dalam  dirinya”.
            Di samping kesadaran teoretis terdapat pula kesadaran praktis. Kesadaran praktis berorientasi pada usaha untuk mengalami apakah sesuatu itu baik atau buruk untuk saya, berkenan atau tidak berkenan untuk saya. Kesadaran praktis tidak mempersoalkan apakah sesuatu ada sebagaimana adanya. Dalam kesadaran semacam ini muncullah kemungkinan-kemungkinan dan kewajiban-kewajiban untuk mempertanyakan apakah sesuatu itu berguna dan bermanfaat untuk saya. Si subjek ketika berhadapan dengan objek tidak berdiri sebagai penonton saja, tetapi terlibat di dalam objek, malah mengalami objek sebagai satu kesempatan, ancaman, tawaran atau juga sebagai satu situasi yang berbahaya. Si subjek menjadi sadar akan tertimpanya objek ke atas dirinya. Kualitas sesuatu yang disadari tidak terletak di dalam realitas objek sebagaimana adanya, tetapi di dalam baik-buruknya atau berkenan tidaknya objek itu untuk diri si subjek.
            Kesadaran praktis, yang memiliki kutub objektif dan subjektif seperti pada kesadaran teoretis, bergiat dalam dua cara yang mendasar; dua cara ini dalam situasi konret meresap satu sama lain. Dua cara itu adalah cara teknis-praktis (pragmatis) dan cara moral-praktis. Cara teknis-praktis – disebut juga kesadaran teknis-praktis – berhuhungan dengan teknik “know-how”. Di dalam cara “know-how” ini realitas objek diketahui untuk tujuan tertentu di masa depan. Pengetahuan terhadapnya dengan tujuan tertentu itu melibatkan alat untuk mencapai tujuan dan cara-cara untuk merealisir tujuan itu. Dengan demikian, melalui kesadaran teknis-praktis, si subjek perlu menanggapi situasi, memahami kesanggupan diri untuk bertindak secara tepat agar tujuannya dapat tercapai sesuai dengan harapan dan keinginan. Kesadaran teknis-praktis diperluas dan dikembangkan melalui usaha untuk memperoleh pengetahuan dan menerapkan pengetahuan untuk tujuan tertentu. Cara moral-teknis – disebut juga kesadaran moral-teknis – berhubungan dengan penilaian terhadap tujuan perbuatan yang hendak dicapai. Kesadaran semacam ini mengambil bentuk dasar dalam apa yang disebut “suara hati”; suara hati berfungsi untuk menawarkan, mengundang, memerintahkan dan melarang subjek bertindak.
            Baik kesadaran teknis-praktis maupun kesadaran moral-praktis dapat mengungkapkan diri dalam kalimat-kalimat atau pernyataan-pernyataan yang menurut strukturnya tidak memperlihatkan perbedaannya dengan kalimat-kalimat atau pernyataan-pernyataan teoretisnya. Hal ini tidak berarti bahwa orang mengabaikan adanya perbedaan antara kalimat-kalimat teoretis dan kalimat-kalimat praktis. Kalimat-kalimat teoretis lebih mengungkapkan pengetahuan dan pemahaman teoretis, sedangkan kalimat-kalimat praktis lebih menonjolkan pengetahuan dan pemahaman akan hal-hal praktis. Bisa saja terjadi bahwa seorang yang mempunyai pengetahuan intelektual yang tinggi tentang hal-hal tertentu secara teoretis, tidak mampu bergaul secara luwes dengan orang-orang sekitar atau tidak mampu mengerti hal-hal praktis seperti memperbaiki mobil yang rusak. Seorang yang ahli di bidang biologi dan obat-obatan secara teoretis, tetapi tidak pandai untuk membuat operasi atau menyembuhkan orang sakit. Contoh-contoh yang disebut di atas mau menunjukkan kepada kita bahwa ada orang yang trampil dalam bidang kesadaran teknis-praktis, tetapi belum tentu maju di bidang kesadaran teoretis, atau juga berkembang di bidang kesadaran moral-teknis. Karena itu penting sekali adanya pendidikan kesadaran dalam dimensi-dimensi itu menuju pembentukan satu budaya kesadaran yang bersifat seimbang antara kesadaran teoretis dan kesadaran praktis-teknis dan kesadaran praktis-moral.
Jenjang-jenjang penyadaran.
            Pada bagian sebelumnya, kita sudah membicarakan soal struktur kesadaran. Psikoanalisa, khususnya psikologi Jung dan Freud, menemukan satu struktur dasar untuk psike atau jiwa manusia, yaitu psike tak-sadar dan psike yang sadar. Kesadaran manusia
menurut mereka berakar pada psike tak-sadar. Baik psike tak-sadar maupun psike yang sadar (kesadaran) memang merupakan dimensi rohaniah kesadaran manusia dan memberi satu dimensi esensial pada realitas manusia sebagai satu realitas “ada”. Dimensi ini disebut saja sebagai “aku sebagai subjek yang sadar”.
Dalam pokok ini, kita menyoroti kegiatan kesadaran dalam arti sempit, yaitu terbatas pada proses kegiatan psike yang sadar. Kegiatan yang paling sentral dari kesadaran dalam level ini adalah kegiatan “mengerti” dan kegiatan “menghendaki”. Dalam ungkapan sederhana, soal mengerti adalah soal “tahu dan paham”, sedangkan soal “menghendaki” adalah soal “mau”. Mengerti dan menghendaki meliputi semua unsur yang terdapat dalam diri subjek: unsur badaniah, otak, pencernaan, naluri, nafsu-nafsu, afektivitas, ingatan, imaginasi, akal budi, ide, cinta, bahasa dsb. Semua aspek ini memiliki satu inti, suatu cakrawala atau satu struktur pokok yang menempatkan semuanya ke dalam satu perspektif. Dalam refleksi filosofis, coba diselidiki apa yang menjadi struktur dasar pengertian dan struktur dasar kehendak. Mana saja unsur-unsur yang mewujudkan kegiatan pengertian secara hakiki dan mana saja unsur-unsur yang mewujudkan kegiatan kehendak secara hakiki, terutama bila kegiatan keduanya bersentuhan dengan soal pengertian yang benar dan yang salah atau juga kehendak yang baik dan kehendak yang jahat. Di dalam epistemologi (filsafat pengetahuan) direfleksikan unsur normatif yang menjadi pemberi arah untuk kegiatan pengertian dan di dalam filsafat moral direfleksikan unsur normatif yang menjadi pemberi arah untuk kegiatan kehendak.
            Pengertian dan penghendakan itu merupakan inti sari dari kegiatan kesadaran. Karena kegiatan keduanya melibatkan semua unsur dalam diri subjek, maka prosesnya berjalan secara berjenjang sesuai dengan empat taraf dalam perkembangan subjek, mulai dari kesadaran yang samar-samar menuju kepada taraf kesadaran yang paling cerah. Empat taraf itu adalah taraf anorganis atau fisiko-kemis; taraf biotos atau vegetatif; taraf psikis atau sensitif; taraf formal-manusiawi kesadaran (Antropologi Metafisik, Anton Baker, p. 188-200). Pada taraf anorganis atau fisiko-kemis, kegiatan-kegiatan dalam diri subjek mengikuti garis-garis aksi-reaksi fisiko kemis. Proses ini meliputi dunia atom-atom, kerja
molekul-molekul seperti proses fisiko-kemis dalam mata, telinga, otak dan kelenjar-kelenjar yang dimiliki si subjek. Pada taraf biotos atau vegetatif, kegiatan-kegiatan berjalan seperti kegiatan dalam dunia tumbuh-tumbuhan. Proses kegiatannya berpusat pada aksi-reaksi pada bidang sel-sel yang membawa hidup, jaringan dan organ tubuh, seperti peredaran darah, urat syaraf, pernafasan, lebih-lebih reaksi-reaksi biotis dalam panca indra ketika berhadapan dengan dunia di luar dirinya. Dalam taraf psikis atau sensitif, kegiatan-kegiatan berpusat pada aksi-reaksi naluri, persepsi dan nafsu-nafsu seperti yang ditemukan pada binatang. Kegiatan kesadaran terjadi dalam proses instinktif dan emosional yang sudah berdiri melampaui reaksi-reaksi panca indra. Daya hidup sensitivitas digiatkan. Dalam taraf formal-manusiawi kesadaran, kegiatan-kegiatan terarah kepada refleksi dan penghendakan. Refleksi lebih merupakan kegiatan, “cipta”, yaitu kegiatan pemahaman. Pikiran, akal, budi, intelek tidak boleh dipisahkan dari kegiatan pemahaman. Penghendakan lebih merupakan kegiatan “karsa”, yaitu kegiatan-kegiatan yang dapat menghasilkan keutamaan-keutamaan seperti cinta, kebaikan, kelembutan hati, kesetiaan dsb. dan yang dapat menghasilkan kejahatan-kejahatan seperti benci, iri hati, ketakutan, cemburu dsb. Kegiatan dalam taraf keempat inilah yang menjadi kekhasan manusia.
            Keempat taraf itu dalam proses kegiatan kesadaran tidak berjalan secara terpisah, tetapi berjalan dalam satu kesatuan. Kegiatan dalam taraf yang paling rendah, yaitu kegiatan anorganis atau fisiko-kernis melibatkan juga kegiatan dalam taraf tertinggi, yaitu kegiatan formal-manusiawi kesadaran; begitu juga kegiatan kesadaran dalam taraf tertinggi mengikutsertakan juga kegiatan dalam taraf yang lebih rendah. Meskipun demikian, setiap kegiatan kesadaran yang dilakukan oleh subjek yang sadar menonjolkan satu kegiatan yang dominan dalam taraf tertentu. Keempat taraf itu dalam proses kesadaran manusia merupakan bagian yang integral dari realitas manusia sebagai satu subjek yang sadar. Fungsi-fungsi dari masing-masing bidang dari taraf yang paling rendah sampai yang paling tinggi dapat dikatakan sebagai fungsi yang saling berintegrasi. Bila melihat seorang yang sedang senyum, maka kegiatan kesadarannya melibatkan seluruh kontraksi otot dan bentuk muka yang membentuk satu senyuman dan sekaligus juga memantulkan perasaan dan
kesadaran dalam taraf yang tertinggi. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa kegiatan kesadaran subjek memuat hubungan yang intrinsik antara taraf-taraf itu, dalam arti bahwa taraf yang paling tinggi hanya dapat berfungsi semaksimal dan seoptimal karena dia berakar dalam taraf yang paling rendah, dan taraf yang paling rendah hanya dapat berfungsi semaksimal dan seoptimal karena dia diresapi dan dijiwai oleh taraf yang paling tinggi. Mana dari keempat taraf itu dianggap paling penting? Itu bergantung pada sudut pandangan si subjek yang sadar. Taraf yang paling rendah dapat saja dipandang sebagai yang paling penting, karena dia merupakan landasan untuk kegiatan pengertian dan kehendak. “Tetapi juga taraf yang paling tinggi dapat saja dipandang sebagai yang paling penting karena dia menjiwai dan mewarnai segala taraf yang lain dan memberi ciri manusiawi kepada semua taraf yang lain.
Kesadaran diri dan kesadaran dari diri yang lain.
            Kesadaran diri dan kesadaran dari diri yang lain mengandaikan adanya subjek-subjek yang sadar. Kesadaran dari diri yang lain sebetulnya bentuk kesadaran diri dalam arti tertentu, yaitu ketika subjek yang lain memandang dirinya dalam relasinya dengan subjek di luar dirinya. Kesadaran diri dan kesadaran dari diri yang lain hanya terwujud dalam satu relasi dan komunikasi antar kesadaran, dan relasi dan komunikasi ini dimungkinkan oleh intensionalitas kesadaran itu sendiri. Kesadaran sendiri bersifat terbuka dan terarah, dan dalam disposisi yang demikian kegiatannya dapat mentransendir diri untuk keluar dari dirinya dan membangun komunikasi dengan subjek lain di luarnya. Dalam
relasi dan komunikasi antar subjek, kegiatan keempat taraf dalam subjek berjalan secara menyatu.
            Pengertian dan penghendakan yang merupakan inti dari kegiatan kesadaran berfungsi secara khas dalam relasi dan komunikasi antar subjek itu. Pengertian lebih
terarah kepada kegiatan untuk memahami yang lain, sedangkan penghendakan lebih terarah kepada kegiatan untuk menghargai yang lain. Dengan kata yang lain, kegiatan pengertian dan penghendakan dalam relasi dan komunikasi dengan yang lain berpusat pada kegiatan untuk “mengakui dan menerima yang lain”. Ketika aku menyadari diriku, ketika itu pula
aku mengakui dan menerima subjek yang lain. Mengerti dan menerima diriku berarti mengerti dan menerima diri yang lain. Karakter-karakter khas yang mernberi warna pada relasi seperti ini dapat ditemui dalam satu relasi dan dalam satu komunikasi yang bersifat timbal-balik, bersifat saling memuat dan saling mengkonstitusikan diri dalam relasi subjek-objek, bersifat universal dan singular, bersifat bersatu dalam perbedaan dan perhedaan dalam persatuan.
            Komunikasi yang bersifat timbal-balik berarti bahwa subjek yang satu dan subjek yang lain berdiri sejajar sebagai partner yang saling memberi response terhadap satu sama lain. Yang satu bertindak sebagai agen yang aktif dan yang lain berlaku sebagai penerima yang pasif, tetapi pada gilirannya yang satu berlaku sebagai penerima yang pasif dan yang lain bertindak sebagai agen yang aktif. Hubungan timbal-balik mencerminkan huhungan yang saling mengakui dan saling menerima. Hubungan ini dikarenakan oleh kesadaran masing-masing yang memiliki sifat intensional, imanen-transenden, reseptif dan spontan, aktif dan pasif.
            Komunikasi yang bersifat saling memuat dan saling mengkonstitusikan diri dalam relasi subjek-objek berarti bahwa subjek yang lain diakui dan diterima sebagai realitas objek yang lain sama sekali dengan seluruh arti dan harga dirinya ketika berhadapan dengan aku sebagai subjek, dan pada gilirannya otonomitas yang lain dengan seluruh realitas dirinya hanya dapat saya akui dan terima ketika saya terlibat secara aktif menangkap, mengerti dan menghargai subjek yang lain dan ketika itu pula subjek yang lain mengakui dan menerima diri saya sebagai realitas objek yang lain dari padanya. Dalam komunikasi ini, aku sebagai subjek mengkonstitusikan keberadaan yang lain sebagai subjek, dan dalam hubungan subjek dengan subjek, karakter hubungan subjek-objek
saling termuat: aku menerima yang lain sebagai realitas objek sebagaimana adanya dan begitu pula dia sebagai subjek yang lain menerima saya sebagai realitas objek sebagaimana adanya saya.
            Komunikasi yang bersifat universal dan singular berarti bahwa subjek-subjek yang membangun relasi dan komunikasi tetap memiliki karakter universal dan singular. Dalam
komunikasi singularitas setiap subjek tetap ada; keunikannya diakui dan bertahan. Begitu pula dalam relasi itu, ketermasukan si subjek dalam keseluruhan kemanusiaan diterima dan dipertahankan. Ketika subjek mengakui dan menerima subjek yang lain, ketika itu pula subjek mengakui dan menerima keunikan masing-masing dan serentak pula menerima dan mengakui ketermasukan masing-masing subjek dalam keseluruhan realitas kemanusiaan.
            Komunikasi yang bersifat bersatu dalam perbedaan dan berbeda dalam persatuan berarti bahwa komunikasi yang dibangun antar subjek mencerminkan kesatuan antara mereka dengan tidak menghilangkan perbedaan antara mereka. Perbedaan lebih menekankan otonomitas, kemandirian, jati diri yang unik, sedangkan kesatuan lebih menonjolkan saling ketermuatan antara subjek dengan objek atau kesatuan dalam identitas. Saling mengakui dan menerima antar subjek berarti saling mengintegrasikan diri ke dalam satu kesatuan yang lebih penuh dengan tidak melenyapkan jati diri yang unik dari masing-masing.
            Kesadaran diri dan kesadaran dari diri yang lain dipahami dalam relasi dan komunikasi antara subjek, relasi dan komunikasi antar pribadi. Pengembangan dan pemenuhan relasi seperti ini dapat menghantar kepada pemahaman tentang komunikasi subjek-subjek konkret kepada subjek transendental yang memiliki juga satu kesadaran imanen-transenden, dan dalam bahasa religius subjek transendental itu dikenakan kepada
realitas ilahi.

3.1.3 Pengandaian ontologis kesadaran.
            Di dalam kesadaran realitas “ada” (das Sein atau Being) menjadi sadar sendiri. Realitas “ada” sendiri menjadi sumber kesadaran. Realitas “ada” menjadi sadar, aktif dan bergiat. Heidegeer mencirikan realitas “ada” itu sebagai “yang menampakkan diri” dan sekaligus “yang menyembunyikan diri”. Ia hadir tetapi juga tersembunyi. Baru di dalam eksistensi manusia, realitas “ada” menjadi hadir dan menampakkan diri. Tugas filsafat adalah untuk menemukan secara konkret makna realitas “ada” dan membiarkan realitas “ada” berbicara, karena realitas “ada” ini merupakan satu kebenaran.
            Kesadaran termasuk dalam realitas “ada”. Tetapi dia tidak identik dengan realitas, “ada”, karena manusia sebagai subjek yang sadar cuma modus dari “yang ada” dan disebut sebagai “Das Dasein”, yang berarti bahwa realitas “ada” hadir di sana, di dalam dunia. Manusia adalah realitas “ada” yang sedang hadir di sana di dalam dunia dan mampu untuk sadar akan realitas adanya (eksistensi) dan bertanya tentang makna realitas adanya sebagai manusia. Justru inilah letak pengandaian ontologis kesadaran, yaitu bahwa kesadaran hanya ada karena berasal dari realitas “ada”. Kesadaran bersama dengan segala macam kegiatan dan tingkatan kesadaran merupakan eksplisitasi yang nyata dari realitas “ada”. Kesadaran subjek memiliki kemampuan untuk menempatkan seluruh subjek ke bawah realitas “ada”. Dia berada di dalam lingkungan realitas “ada”.
            Pertanyaan pokok ialah bahwa bagaimana si subjek berada dalam lingkungan realitas “ada” seperti itu supaya jati diri kesadaran dengan segala macam kegiatan dan tingkatannya dapat terealisir di dalam lingkungan realitas “ada” itu? Jawabannya ialah bahwa harus ada satu prinsip yang secara hakiki melandasi subjek untuk termasuk ke dalam lingkungan realitas “ada”; atau untuk menjadikan realitas “ada” sebagai milik subjek. Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa realitas ada berkarakter ganda, yaitu menampakkan diri dan serempak menyembunyikan diri. Tugas si subjek adalah untuk mengusahakan agar realitas ada menjadi semakin tampak dalam diri subjek dan serempak pula untuk mempertahankan agar realitas ada tetap tersembunyi. Kenyataannya bahwa si subjek selalu berada dalam satu perspektif yang terbatas baik dalam kegiatan kesadaran teoritis menyangkut pengetahuan dan pengenalan maupun dalam kegiatan kesadaran praktis menyangkut etika dan keyakinan. Tetapi karena setiap subjek adalah satu hakikat yang mempunyai kemampuan untuk menempatkan diri ke dalam realitas “ada”, maka dia juga mempunyai kemampuan untuk menembus masuk melihat realitas “ada” melalui perspektif yang terbatas itu, bahkan melalui perspektif-perspektif yang dangkal dan tak berarti sekalipun. Dalam proses untuk melihat secara lebih mendalam realitas “ada” melalui perspektif keberadaan manusia, manusia sebagai subjek justru berusaha selalu untuk memberi makna terhadap realitas “ada”.
3.2. Kebebasan kehendak.
3.2.1. Isi ungkapan “kebebasan kehendak”.
            Ada begitu banyak diskusi tentang ada tidaknya kebebasan. Orang sering mencampuradukkan pengertian kebebasan dengan kehendak bebas (kebebasan kehendak) Pada mulanya kata “bebas” mengandung arti sosial. Kata sifat “bebas” dan kata benda “kebebasan” menunjuk kepada status atau kedudukan seseorang dalam masyarakat. Kata itu dikenakan untuk kelompok bangsawan dan tuan-tuan penguasa dalam masyarakat. Mereka adalah kelompok elit masyarakat. Mereka bertindak bebas, dalam arti bahwa mereka bertindak sesuai dengan apa yang mereka inginkan, sernentara rakyat biasa, khususnya para budak, “harus” bertindak sesuai dengan apa yang diinginkan atasan atau majikannya. Dari sana terciptalah pengertian kebebasan sebagai “menjadi tuan atas diri sendiri dengan mengikuti hukumnya sendiri”.
a. Pengertian yang berbeda tentang kebebasan.
            Kata “kebebasan” menandakan adanya kuasa subjek untuk bertindak. Dalam pengertian ini kebebasan memiliki tiga arti yang dapat kita bedakan. Pertama kebebasan berarti bertindak menurut kemauan dan kehendak sendiri, dengan kata lain bisa bertindak sesuka hati. Bila kita berkata kepada seseorang: “Anda bebas menaruh sepeda anda di tempat ini”, itu berarti bahwa dia boleh bertindak menurut apa yang dia kehendaki untuk menempatkan sepedanya di tempat ini. Dia mempunyai hak untuk bertindak. Tidak ada satu
hukum moralis atau satu ketentuan yuristis yang membatasi perbuatannya. Kebebasan pers, kebebasan beragama, kebebasan berkoalisi, kebebasan berorganisasi dsb. termasuk dalam bidang ini.
            Kedua, kebebasan berarti kebebasan bertindak. Orang yang bebas tidak merasa terhalang untuk melakukan apa yang sudah menjadi tekadnya untuk dilakukan. Paksaan lahiriah dan paksaan batiniah tidak lagi dialami oleh orang yang bersangkutan. Kebebasan merupakan satu pelepasan dari tekanan lahiriah atau juga dari tekanan batiniah, atau juga dari tekanan yang bersifat legal seperti penjara atau juga tekanan yang bersifat ilegal seperti
korban perang pada rakyat sipil. Dalam arti ini untuk orang yang meringkuk dalam penjara atau untuk orang yang ditangkap dalam perang dsb. kebebasan dialami sebagai tindakan pelepasan tekanan itu. Dengan tindakan pelepasan tekanan itu, orang yang bersangkutan menjadi orang yang bebas.
            Ketiga, kebebasan berarti kehendak atau kemauan. Kehendak perlu kita bedakan dari keharusan dan keinginan. Keharusan tampil dalam dua bentuk, yaitu keharusan yang
bersyarat dan keharusan yang tak bersyarat. Keharusan bersyarat secara relatif dapat dihadapkan dengan kemauan. Contoh: Saya harus membayar pajak. Jika saya tidak membayar pajak, maka saya akan dikena denda karena saya tidak mempunyai andil untuk membangun kesejahteraan bersama. Keharusan di sini tidak berasal dari kehendakku, tetapi dari satu kerugian yang bakal menimpa saya jika saya tidak membayar pajak. Keharusan tak bersyarat selalu dipertentangkan dengan kehendak. Contoh: Saya harus mengendarai mobil di sebelah kiri di Indonesia. Keharusan yang demikian berada di luar lingkungan kekuasaan kehendak saya. Tidak ada jalan lain selain harus bertindak demikian. Keinginan berbeda dari kehendak. Keinginan merupakan tahap pendahulu menuju kehendak. Keinginan bermain dengan kemungkinan-kemungkinan untuk berusaha mencapai sesuatu atau untuk mengusahakan sesuatu yang dapat dicapai. Bila sesuatu itu berkenan untuk saya, saya ingin memperolehnya, dan sesuatu yang ingin diperoleh itu belum tentu sesuatu yang dapat dicapai dalam realitas hidup. Keinginan memang tidak sama dengan kehendak, tetapi kehendak adalah sesuatu yang lebih dari pada keinginan semata, meskipun dalam bahasa sehari-hari, kehendak dan keinginan disamakan. Kehendak selalu berhubungan dengan perbuatan yang punya arti untuk subjek entah langsung atau tidak langsung, dan kehendak itu tampaknya menuntun perbuatan saya. Kehendak yang asli selalu mengarah kepada perbuatan sejauh kehendak itu sama sekali tidak terkena paksaan.
            Dengan demikian, kehendak pada tingkat tertentu mempunyai sisi ganda. Di satu pihak, kehendak merupakan sikap keberpalinganku yang aktif ke arah satu nilai atau sebaliknya, sikap keberpalinganku yang aktif untuk menjauhi satu nilai. Di dalam keterbukaanku yang terarah ke nilai yang merebut perhatianku justru terciptalah keputusan
yang merupakan perbuatan kehendak itu sendiri. Di pihak lain, kehendak merupakan gerakan otomatis tubuh yang mengungkapkan atau menyalurkan satu keputusan, misalnya mengacungkan tangan ke atas untuk mengungkapkan kehendak untuk mulai berbicara, dsb. Kehendak ini bukanlah satu perbuatan, tetapi berhubungan dengan tindakan atau perbuatan. Atas cara ini, sava tidak lagi mempunyai sikap kesediaan yang diantarai oleh kehendak, karena sikap kesediaan ini tidak menghantar saya kepada perbuatan. Kehendak adalah satu modifikasi langsung dari cara saya berada baik secara aktif maupun secara pasif; dia tidak pernah merupakan satu tindakan aktif yang langsung, tetapi cuma alat bantuan, sama seperti kedudukannya dalam kalimat hanya sebagai kata kerja “bantu” (wollen, müssen, können, sollen).
b. Kebebasan Kehendak.
            Apa yang dimaksudkan dengan kebebasan kehendak? Kebebasan kehendak adalah satu kemampuan prinsipiil dalam diri manusia untuk mengambil keputusan sendiri atau menentukan sikap tertentu, dan kemampuan ini keluar dari kesadaran bebas atau persetujuan bebas yang mengarah semata-mata kepada kebaikan. Kebebasan kehendak sering diartikan sebagai pilihan bebas (kebebasan untuk memilih), kebabasan untuk bersikap sewenang-wenang, putusan bebas, atau juga kebebasan psikologis dsb. Tidak ada keseragaman terminologi dalam bidang filsafat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar