Aliran-Aliran Filsafat Pendidikan
A. Aliran
Progressivisme
Aliran
Progressivisme adalah suatu aliran yang sangat berpengaruh di abad ke-20 ini.
Pengaruh ini sangat terasa sekalli khususnya di Amerika Serikat. Usaha
pembaharuan dalam dunia pendidikan pada umumnya terdorong oleh aliran
Progressivisme ini. Biasanya aliran ini dihubungkan dengan pandangan hidup
liberal –“The liberal road to culture”. Aliran progresivisme mengakui dan
berusaha mengembangkan asas progesivisme dalam sebuah realita kehidupan, agar
manusia bisa survive menghadapi semua tantangan hidup.
Dinamakan
instrumentalisme, karena aliran ini beranggapan bahwa kemampuan
intelegensi manusia sebagai alat untuk hidup, untuk kesejahteraan dan untuk
mengembangkan kepribadiaan manusia. Dinamakan eksperimentalisme, karena
aliran ini menyadari dan mempraktikkan asas eksperimen untuk menguji kebenaran
suatu teori. Dan dinamakan environmentalisme,Karena aliran ini
menganggap lingkungan hidup itu memengaruhi pembinaan kepribadiaan (Muhammad
Noor Syam, 1987: 228-229)
Aliran
progesivisme telah memberikan sumbangan yang besar di dunia pendidikan saat
ini. Aliran ini telah meletakkan dasar-dasar kemerdekaan dan kebebasan kepada
anak didik. Anak didik diberikan kebaikan baik secara fisik maupun cara
berpikir, guna mengembangkan bakat dan kemampuan yang terpendam dalam dirinya
tanpa terhambat oleh rintangan yang dibuat oleh orang lain (Ali, 1990: 146).
Oleh karena itu, filsafat progesivisme tidak menyetujui pendidikan yang
otoriter.
Dengan
demikian, sekolah yang ideal adalah sekolah yang isi pendidikannya berintegrasi
dengan lingkungan sekitar. Karena sekolah adalah bagian dari masyarakat. Dan
untuk itu, sekolah harus dapat mengupyakan pelestarian karakteristik atau
kekhasan lingkungan sekolah sekitar atau daerah di mana sekolah itu berada.
Untuk dapat melestarikan usaha ini, sekolah harus menyajikan program pendidikan
yang dapat memberikan wawasan kepada anak didik tentang apa yang menjadi
karakteristik atau kekhususan daerah itu. Untuk itulah, fisafat progesivisme
menghendaki sis pendidikan dengan bentuk belajar “sekolah sambil berbuat”
atau learning by doing (Zuhairini, 1991: 24).
Sifat-sifat
aliran Progressivisme
1)
Sifat-sifat Negatif, dalam artian bahwa, Progressivisme menolak otoritarisme
dan absolutisme dalam segala bentuk, seperti terdapat dalam agama, politik,
etika dan epitemologi.
2)
Sifat-sifat Positif, dalam arti bahwa Progressivisme menaruh kepercayaan
terhadap kekuatan alamiah dari manusia, kekuatan-kekuatan yang diwarisi oleh
manusia dari alam sejak lahir.
Maka
tugas pendidikan menurut pragmatisme, ialah meneliti sejelas-jelasnya
kesanggupan-kesanggupan manusia itu dan menguji kesanggupan-kesanggupan itu
dalam pekerjaan praktis.
Perkembangan
aliran Progressivisme
Dalam
asas modern – sejak abad ke-16 Francis Bacon, John Locke, Rousseau, Kant dan
Hegel dapat dapat disebut sebagai penyumbang-penyumbang dalam proses terjadinya
aliran pragmatisme-Progressivisme. Dalam abad ke-19 dan ke-20 ini tokoh-tokoh
pragmatisme terutama terdapat di Amerika Serikat. Thomas Paine dan Thomas
Jefferson memberikan sumbangan pada pragmatisme karena kepercayaan
mereka akan demokrasi dan penolakan terhadap sikap dogmatis, terutama dalam
agama.
Keyakinan-keyakinan
Progressivisme tentang pendidikan
John
Dewey memandang bahwa pendidikan sebagai proses dan sosialisasi (Suwarno, 1992:
62-63). Maksudnya sebagai proses pertumbuhan anak didik dapat mengambil
kejadian-kejadian dari pengalaman lingkungan sekitarnya. Maka dari itu, dinding
pemisah antara sekolah dan masyarakat perlu dihapuskan, sebab belajar yang baik
tidak cukup di sekolah saja.
Dengan
demikian, sekolah yang ideal adalah sekolah yang isi pendidikannya berintegrasi
dengan lingkungan sekitar. Karena sekolah adalah bagian dari masyarakat. Dan
untuk itu, sekolah harus dapat mengupyakan pelestarian karakteristik atau
kekhasan lingkungan sekolah sekitar atau daerah di mana sekolah itu berada.
Untuk dapat melestarikan usaha ini, sekolah harus menyajikan program pendidikan
yang dapat memberikan wawasan kepada anak didik tentang apa yang menjadi
karakteristik atau kekhususan daerah itu. Untuk itulah, fisafat progesivisme
menghendaki sis pendidikan dengan bentuk belajar “sekolah sambil berbuat”
atau learning by doing (Zuhairini, 1991: 24).
Dengan
kata lain akal dan kecerdasan anak didik harus dikembangkan dengan baik. Perlu
diketahui pula bahwa sekolah tidak hanya berfungsi sebagai pemindahan
pengetahuan (transfer of knowledge), melainkan juga berfungsi sebagai
pemindahan nilai-nilai (transfer of value), sehingga anak menjadi
terampildan berintelektual baik secara fisik maupun psikis. Untuk itulh sekat
antara sekolah dengan masyarakat harus dihilangkan.
B. Aliran
Esensialisme
Aliran
esensialisme merupakan aliran pendidikan yang didasarkan pada nilai-nilai
kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia.[2] Esensialisme
muncul pada zaman Renaisance dengan cirri-cirinya yang berbeda dengan
progesivisme. Dasar pijakan aliran ini lebih fleksibel dan terbuka untuk perubahan,
toleran, dan tidak ada keterkaitan dengan doktrin tertentu. Esensiliasme
memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki
kejelasan dan tahan lama, yang meberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih
yang mempunyai tata yang jelas (Zuhairini, 1991: 21).
Idealisme,
sebagai filsafat hidup, memulai tinjauannya mengenai pribadi individu dengan
menitikberatkan pada aku. Menurut idealisme, pada tarap permulaan seseorang
belajar memahami akunya sendiri, kemudian ke luar untuk memahami dunia
objektif. Dari mikrokosmos menuju ke makrokosmos. Menurut Immanuel Kant, segala
pengetahuan yang dicapai manusia melalui indera memerlukan unsure apriori, yang
tidak didahului oleh pengalaman lebih dahulu.
Bila
orang berhadapan dengan benda-benda, bukan berarti semua itu sudah mempunayi
bentuk, ruang, dan ikatan waktu. Bentuk, ruang , dan waktu sudah ada pada budi
manusia sebelum ada pengalaman atu pengamatan. Jadi, apriori yang terarah
bukanlah budi pada benda, tetapi benda-benda itu yang terarah pada budi. Budi
membentuk dan mengatur dalam ruang dan waktu. Dengan mengambil landasan pikir
tersebut, belajar dapat didefinisikan sebagai substansi spiritual yang membina
dan menciptakan diri sendiri (Poedjawijatna, 1983: 120-121).
Roose
L. finney, seorang ahli sosiologi dan filosof, menerangkan tentang hakikat
sosial dari hidup mental. Dikatakan bahwa mental adalah keadaan rohani yang
pasif, hal ini berarti bahwa manusia pada umumnya menerima apa saja Yng telah
ditentukan dan diatur oleh alam social. Jadi, belajar adalah menerima dan
mengenal secara sungguh-sungguh nilai-nilai social angkatan baru yang timbul
untuk ditambah, dikurangi dan diteruskan pada angkatan berikutnya.
Selain
itu juga di warnai dengan pandangan-pandangan dari paham penganut aliran
idealisme dan realisme. Imam Bernadib (1981)[3],
menyebutkan beberapa tokoh utama yang berperan dalam penyebaran aliran
esensialisme, yaitu:
1.
Desiderius Erasmus,
humananis Belanda yang hidup pada akhir abad 15 dan permulaan abad 16, yang
merupakan tokoh pertama yang menolak pandangan hidup yang berpijak pada dunia
lain.
2.
Johann Amos Comenius yang
hidup diseputar tahun 1592-1670, adalah seorang yang memiliki pandangan realis
dan dogmatis. Comenius berpendapat bahwa pendidikan mempunyai peranan membentuk
anak sesuai dengan kehendak Tuhan, karena pada hakikatnya dunia adalah dinamis
dan bertujuan.
3.
Johann Friederich Herbert yang
hidup pada tahun 1776-1841, sebagais alah seorang murid Immanuel Kant yang
berpendapat dengan kritis, herbert berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah
menyesuaikan jiwa seseorang dengan kebajikan dari yang Mutlak dalam arti
penyesuaian dengan hukum-hukum kesusilaan dan inilah yang disebut proses
pencapaian tujuan pendidikan oleh Herbert sebagai ‘pengajaran yang mendidik’.
Tujuan
umum aliran esensialisme adalah membentuk pribadi bahagia di dunia dan hakikat.
Isi pendidikannya mencakup ilmu pengetahuan, kesenian dan segala hal yang mampu
menggerakan kehendak manusia. Kurikulum sekolah bagi esensialisme merupakan
semacam miniatur dunia yang bisa dijadikan sebagai ukuran kenyataan, kebenaran
dan kegunaan.
C. Aliran
Perennialisme
Perennialisme
diambil dari kata perennial, yang artinya kekal dan abadi, dari makna yang
terkandung dalam kata itu’ aliran Perennialisme mengandung kepercayaan filsafat
yang berpegang teguh pada nilai-nilai dan norma-norma yang bersifat kekal
abadi.
Perenialisme
memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau proses mengembalikan keadaan
sekarang kepada masa lampau. Perenialisme memberikan sumbangan yang berpengaruh
baik teori maupun praktik bagi kebudayaan dan pendidikan zaman sekarang
(Muhammad Noor Syam, 1986: 154). Dari pendapat ini diketahui bahwa perenialisme
merupakan hasil pemikiran yang memberikan kemungkinan bagi seorang untuk
bersikap tegas dan lurus. Karena itulah, perenialisme berpendapat bahwa mencari
dan menemukan arah tujuan yang jelas merupakan tugas yang utama dari filsafat,
khususnya filsafat pendidikan.
Menurut
perenialisme, ilmu pengetahuan merupakan filsafat yang tertinggi, karena dengan
ilmu pengetahuanlah seseorang dapat berpikir secara induktif. Jadi, dengan
berpikir maka kebenaran itu akan dapat dihasilkan. Penguasaan pengetahuan
mengenai prinsip-prinsip pertama adalah modal bagi seseorang untuk
mengembangkan pikiran dan kecerdasan. Dengan pengetahuan, bahan penerangan yang
cukup, orang akan mampu mengenal dan memahami factor-faktor dan problema yang
perlu diselesaikan dan berusaha mengadakan penyelesaian masalahnya.
Diharapkan
anak didik mampu mengenal dan mengembangkan karya-karya yang menjadi landasan
pengembangan disiplin mental. Karya-karya ini merupakan buah pikiran besar pada
masa lampau. Berbagai buah pikiran mereka yang oleh zaman telah dicatat
menonjol seperti bahasa, sastra, sejarah, filsafat, politik, ekonomi,
matematika, ilmu pengetahuan alam, dan lain-lainnya, yang telah banyak
memberikan sumbangan kepada perkembangan zaman dulu.
Tugas
utama pendidiakn adalah mempersiapkan anak didik ke arah kematangan. Matang
dalam arti hidup akalnya. Jadi, akal inilah yang perlu mendapat tuntunan ke
arah kematangan tersebut. Sekolah rendah memberikan pendidikan dan pengetahuan
serba dasar. Dengan pengetahuan yang tradisional seperti membaca, menulis, dan
berhitung, anak didik memperoleh dasar penting bagi pengetahuan-pengetahuan
yang lain.
Sekolah,
sebagai tempat utama dalam pendidikan, mempesiapkan anak didik ke arah
kematangan akal dengan memberikan pengetahuan. Sedangkan tugas utama guru
adalah memberikan pendidikan dan pengajaran (pengetahuan) kepada anak didik.
Dengan kata lain, keberhasilan anak dalam bidang akalnya sangat tergantung
kepada guru, dalam arti orang yang telah mendidik dan mengajarkan.
Prinsip-prinsip
pendidikan Perennialisme
Di
bidang pendidikan, Perennialisme saangat dipengaruhi oleh: Plato, Aristoteles,
dan Thomas Aquinas. Dalam hal ini pokok pikiran Plato tentang ilmu pengetahuan
dan nilai-nilai adalah manifestasi daripada hukum universal. Maka tujuan utama
pendidikan adalah “ membina pemimpin yang sadar dan mempraktekan asas-asas
normatif itu dalam semua aspek kehidupan.
Menurut
Plato, manusia secara kodrati memiliki tiga potensi, yaitu : nafsu, kemauan,
dan pikiran. Bagi Aristoteles, tujuan pendidikan adalah ‘kebahagiaan”. Untuk
mencapai tujuan pendidikan itu, maka aspek jasmani, emosi, dan intelek harus
dikembangkan secara seimbang.
Seperti
halnya Plato dan Aristoteles, tujuan pendidikan yang diinginkan oleh Thomas
Aquinas adalah sebagai “Usaha mewujudkan kapasitas yang ada dalam individu agar
menjadi aktualitas” aktif dan nyata. Dalam hal ini peranan guru adalah mengajar
– memberi bantuan pada anak didik untuk mengembangkan potensi-potensi yang ada
pada dirinya.
D. Aliran
Rekontruksionalisme
Kata
Rekonstruksionisme bersal dari bahasa Inggris reconstruct, yang
berarti menyusun kembali. Dalam konteks filsafat pendidikan, rekonstruksionisme
merupakan suatu aliran yang berusaha merombak tata susunan hidup kebudayaan
yang bercorak modern. Aliran rekonstruksionisme pada prinsipnya sepaham dengan
aliran perenialisme, yaitu berawal dari krisis kebudayaan modern. Menurut
Muhammad Noor Syam (1985: 340), kedua aliran tersebut memandang bahwa keadaan
sekarang merupakan zaman yang mempumyai kebudayaan yang terganggu oleh
kehancuran, kebingungan, dan kesimpangsiuran.
Aliran
rekonstruksionisme berkeyakinan bahwa tugas penyelamatan dunia merupakan tugas
semua umat manusia. Karenanya, pembinaan kembali daya intelektual dan spiritual
yang sehat melalui pendidikan yang tepat akan membina kembali manusia dengan
nilai dan norma yang benar pula demi generasi yang akan datang, sehingga
terbentuk dunia baru dalam pengawasan umat manusia.
Di
samping itu, aliran ini memiliki persepsi bahwa masa depan suatu bangsa
merupakan suatu dunia yang diatur dan diperintah oleh rakyat secara demokratis,
bukan dunia yang dikuasai oleh golongan tertentu. Cita-cita demokrasi yang
sesungguhnya tidak hanya teori, tetapi mesti diwujudkan menjadi kenyataan,
sehingga mampu meningkatkan kualitas kesehatan, kesejahteraan dan kemakmuran
serta keamanan masyarakat tanpa membedakan warna kulit,, keturunan,
nasionalisme, agama (kepercayaan) dan masyarakat bersangkutan.
E. Aliran
Eksistensialisme
Eksistensialisme
bisa dialamatkan sebagai saanlah satu reaksi dari sebagian terbesar reaksi
terhadap peradaban manusia yang hampir punah akibat perang dunia kedua. Dengan
demikian Eksistensialisme pada hakikatnya adalah merupakan aliran
filsafat yang bertujuan mengembalikan keberadaan umat manusia sesuai dengan
keadaan hidup asasi yang dimiliki dan dihadapinya.
Secara
singkat Kierkegaard memberikan pengertian Eksistensialisme adalah suatu
penolakan terhadap suatu pemikiran abstrak, tidak logis atau tidak ilmiah.
Eksistensialisme menolak segala bentuk kemutlakan rasional. Dengan demikian
aliran ini hendak memadukan hidup yang dimiliki dengan pengalaman, dan siuasi
sejarah yang dialami, dan tidak mau terikat oleh hal-hal yang sifatnya abstrak
serta spekulatif. Baginya, segala sesuatu dimulai dari pengalaman pribadi,
keyakinan yang tumbuh dari dirinya dan kemampuan serta keluasan jalan untuk
mencapai keyakinan hidupnya.
Atas
dasar pandangan itu, sikap dikalangan kaum Eksistensialisme atau penganut
aliran ini seringkali nampak aneh atau lepas dari norma-norma umum. Kebebasan
untuk freedom to, adalah lebih banyak menjadi ukuran dalam sikap dan
perbuatannya.
Pandangannya
tentang pendidikan, disimpulkan oleh Van Cleve Morries dalamExistentialism dan Education, bahwa
”Eksistensialisme tidak menghendaki adanya aturan-aturan pendidikan dalam
segala bentuk” oleh sebab itu Eksistensialisme dalam hal ini menolak
bentuk –bentuk pendidikan sebagaimana yang ada sekarang.
F. Aliran Idealisme
Tokoh aliran idealisme adalah Plato (427-374
SM), murid Sokrates. Aliran idealisme merupakan suatu aliran ilmu filsafat yang
mengagungkan jiwa. Menurutnya, cita adalah gambaran asli yang semata-mata
bersifat rohani dan jiwa terletak di antara gambaran asli (cita) dengan
bayangan dunia yang ditangkap oleh panca indera. Pertemuan antara jiwa dan cita
melahirkan suatu angan-angan yaitu dunia idea. Aliran ini memandang serta
menganggap bahwa yang nyata hanyalah idea. Idea sendiri selalu tetap atau tidak
mengalami perubahan serta penggeseran, yang mengalami gerak tidak dikategorikan
idea.
Keberadaan idea tidak tampak dalam wujud
lahiriah, tetapi gambaran yang asli hanya dapat dipotret oleh jiwa murni. Alam
dalam pandangan idealisme adalah gambaran dari dunia idea, sebab posisinya
tidak menetap. Sedangkan yang dimaksud dengan idea adalah hakikat murni dan
asli. Keberadaannya sangat absolut dan kesempurnaannya sangat mutlak, tidak
bisa dijangkau oleh material. Pada kenyataannya, idea digambarkan dengan dunia
yang tidak berbentuk demikian jiwa bertempat di dalam dunia yang tidak bertubuh
yang dikatakan dunia idea.
Plato yang memiliki filsafat beraliran
idealisme yang realistis mengemukakan bahwa jalan untuk membentuk masyarakat
menjadi stabil adalah menentukan kedudukan yang pasti bagi setiap orang dan
setiap kelas menurut kapasitas masin-masing dalam masyarakat sebagai
keseluruhan. Mereka yang memiliki kebajikan dan kebijaksanaan yang cukup dapat
menduduki posisi yang tinggi, selanjutnya berurutan ke bawah. Misalnya, dari
atas ke bawah, dimulai dari raja, filosof, perwira, prajurit sampai kepada
pekerja dan budak. Yang menduduki urutan paling atas adalah mereka yang telah
bertahun-tahun mengalami pendidikan dan latihan serta telah memperlihatkan
sifat superioritasnya dalam melawan berbagai godaan, serta dapat menunjukkan
cara hidup menurut kebenaran tertinggi.
Mengenai kebenaran tertinggi, dengan doktrin
yang terkenal dengan istilah ide, Plato mengemukakan bahwa dunia ini tetap dan
jenisnya satu, sedangkan ide tertinggi adalah kebaikan. Tugas ide adalah
memimpin budi manusia dalam menjadi contoh bagi pengalaman. Siapa saja yang
telah menguasai ide, ia akan mengetahui jalan yang pasti, sehingga dapat
menggunakan sebagai alat untuk mengukur, mengklasifikasikan dan menilai segala
sesuatu yang dialami sehari-hari.
Kadangkala dunia idea adalah pekerjaan norahi
yang berupa angan-angan untuk mewujudkan cita-cita yang arealnya merupakan
lapangan metafisis di luar alam yang nyata. Menurut Berguseon, rohani merupakan
sasaran untuk mewujudkan suatu visi yang lebih jauh jangkauannya, yaitu intuisi
dengan melihat kenyataan bukan sebagai materi yang beku maupun dunia luar yang
tak dapat dikenal, melainkan dunia daya hidup yang kreatif (Peursen, 1978:36).
Aliran idealisme kenyataannya sangat identik dengan alam dan lingkungan
sehingga melahirkan dua macam realita. Pertama, yang tampak yaitu apa yang
dialami oleh kita selaku makhluk hidup dalam lingkungan ini seperti ada yang
datang dan pergi, ada yang hidup dan ada yang demikian seterusnya. Kedua,
adalah realitas sejati, yang merupakan sifat yang kekal dan sempurna (idea),
gagasan dan pikiran yang utuh di dalamnya terdapat nilai-nilai yang murni dan
asli, kemudian kemutlakan dan kesejatian kedudukannya lebih tinggi dari yang
tampak, karena idea merupakan wujud yang hakiki.
Prinsipnya, aliran idealisme mendasari semua
yang ada. Yang nyata di alam ini hanya idea, dunia idea merupakan lapangan
rohani dan bentuknya tidak sama dengan alam nyata seperti yang tampak dan
tergambar. Sedangkan ruangannya tidak mempunyai batas dan tumpuan yang paling
akhir dari idea adalah arche yang
merupakan tempat kembali kesempurnaan yang disebut dunia idea dengan
Tuhan, arche, sifatnya kekal dan sedikit pun tidak
mengalami perubahan.
Inti yang terpenting dari ajaran ini adalah
manusia menganggap roh atau sukma lebih berharga dan lebih tinggi dibandingkan
dengan materi bagi kehidupan manusia. Roh itu pada dasarnya dianggap suatu
hakikat yang sebenarnya, sehingga benda atau materi disebut sebagai penjelmaan
dari roh atau sukma. Aliran idealisme berusaha menerangkan secara alami pikiran
yang keadaannya secara metafisis yang baru berupa gerakan-gerakan rohaniah dan
dimensi gerakan tersebut untuk menemukan hakikat yang mutlak dan murni pada
kehidupan manusia. Demikian juga hasil adaptasi individu dengan individu
lainnya. Oleh karena itu, adanya hubungan rohani yang akhirnya membentuk
kebudayaan dan peradaban baru (Bakry, 1992:56). Maka apabila kita menganalisa
pelbagai macam pendapat tentang isi aliran idealisme, yang pada dasarnya
membicarakan tentang alam pikiran rohani yang berupa angan-angan untuk
mewujudkan cita-cita, di mana manusia berpikir bahwa sumber pengetahuan
terletak pada kenyataan rohani sehingga kepuasaan hanya bisa dicapai dan
dirasakan dengan memiliki nilai-nilai kerohanian yang dalam idealisme disebut
dengan idea.
Memang para filosof ideal memulai sistematika
berpikir mereka dengan pandangan yang fundamental bahwa realitas yang tertinggi
adalah alam pikiran (Ali, 1991:63). Sehingga, rohani dan sukma merupakan
tumpuan bagi pelaksanaan dari paham ini. Karena itu alam nyata tidak mutlak
bagi aliran idealisme. Namun pada porsinya, para filosof idealisme
mengetengahkan berbagai macam pandangan tentang hakikat alam yang sebenarnya
adalah idea. Idea ini digali dari bentuk-bentuk di luar benda yang nyata
sehingga yang kelihatan apa di balik nyata dan usaha-usaha yang dilakukan pada
dasarnya adalah untuk mengenal alam raya. Walaupun katakanlah idealisme
dipandang lebih luas dari aliran yang lain karena pada prinsipnya aliran ini
dapat menjangkau hal-ihwal yang sangat pelik yang kadang-kadang tidak mungkin
dapat atau diubah oleh materi, Sebagaimana Phidom mengetengahkan, dua prinsip
pengenalan dengan memungkinkan alat-alat inderawi yang difungsikan di sini
adalah jiwa atau sukma. Dengan demikian, dunia pun terbagi dua yaitu dunia
nyata dengan dunia tidak nyata, dunia kelihatan (boraton
genos) dan dunia yang tidak kelihatan (cosmos neotos). Bagian ini menjadi sasaran studi
bagi aliran filsafat idealisme (Van der Viej, 2988:19).
Plato dalam mencari jalan melalui teori
aplikasi di mana pengenalan terhadap idea bisa diterapkan pada alam nyata
seperti yang ada di hadapan manusia. Sedangkan pengenalan alam nyata belum
tentu bisa mengetahui apa di balik alam nyata. Memang kenyataannya sukar
membatasi unsur-unsur yang ada dalam ajaran idealisme khususnya dengan Plato.
Ini disebabkan aliran Platonisme ini bersifat lebih banyak membahas tentang
hakikat sesuatu daripada menampilkannya dan mencari dalil dan keterangan
hakikat itu sendiri. Oleh karena itu dapat kita katakan bahwa pikiran Plato itu
bersifat dinamis dan tetap berlanjut tanpa akhir. Tetapi betapa pun adanya buah
pikiran Plato itu maka ahli sejarah filsafat tetap memberikan tempat terhormat
bagi sebagian pendapat dan buah pikirannya yang pokok dan utama.
Antara lain Betran Russel berkata: Adapun
buah pikiran penting yang dibicarakan oleh filsafat Plato adalah: kota utama
yang merupakan idea yang belum pernah dikenal dan dikemukakan orang sebelumnya.
Yang kedua, pendapatnya tentang idea yang merupakan buah pikiran utama yang
mencoba memecahkan persoalan-persoalan menyeluruh persoalan itu yang sampai
sekarang belum terpecahkan. Yang ketiga, pembahasan dan dalil yang
dikemukakannya tentang keabadian. Yang keempat, buah pikiran tentang alam/cosmos, yang kelima, pandangannya tentang ilmu
pengetahuan (Ali, 1990:28).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar