Senin, 12 Oktober 2015

FILSAFAT HIDUP

FILSAFAT HIDUP
oleh: Yeni Nuroktafiani 
jurusan: Pendidikan Matematika UNTIRTA


FILSAFAT, sejauh yang saya pahami makna filsafat sesungguhnya adalah berpikir. Artinya apabila anda sedang berpikir itu artinya anda sedang berfilsafat. Jadi, apapun yang orang keluarkan dan itu melalui proses berpikir… itulah filsafat. Kesimpulannya subtansi filsafat adalah “Berpikir”.
Kemudian yang kedua Hidup. Kalau menurut saya hidup itu adalah waktu dimana manusia bernyawa, tumbuh, dan berkembang. Dan setiap orang yang hidup pasti mempunyai kehidupan dan setiap kehidupan pasti ada masalah, dan setiap manusia melewati masalah pasti ada pengalaman, setiap pengalaman maka ada hikmah yang diambil, dan setiap hikmah yang diambil pasti ada pendewasaan.
Jadi, subtansi dari kehidupan adalah “Kedewasaan”. Dan apabila anda menanyakan tentang Filsafat kehidupan maka jawaban adalah “Berpikir Dewasa” atau dibalik “Kedewasaan Berpikir”. Dari dua kalimat itu walaupun sama hanya dibalik, tetapi memiliki makna yang berbeda “Berpikir dewasa” dan “Kedewasaan berpikir”
Pertama, Berpikir Dewasa. Berpikir dewasa adalah subtansi dari filsafat kehidupan, tetapi ini terfokus pada kehidupannya (Kedewasaan). Sebab orang yang dewasa dalam hidupnya, yaitu orang yang dapat mengambil hikmah dari setiap masalah yang ia hadapi dalam hidupnya.
Berpikir dewasa, yaitu rasionalitas. Pengertian rasionalitas sendiri adalah singkronisasi antara akal dan realitas. Artinya orang yang dewasa itu, ia akan menerima sesuatu atau mengeluarkan sesuatu. Bukan hanya karena sesuatu itu masuk akal, tetapi juga sesuai dengan kenyataan. Artinya pemikiran dan kenyataan hidup sesuai, bukan malah bertolak belakang antara teori dengan realitas, ucapan dan tindakan selaras, sehingga tidak membingungkan dan dapat diterima sebagai suatu kebenaran, bukan suatu bentuk kesalahan yang menyesatkan, sehingga ucapan-ucapannya tidak menipu dan selalu membawa kebaikan bagi orang banyak. Orang pun akan mudah mengerti setiap ucapan dan nasihatnya, karena itu seseorang yang menggunakan rasionalitas dia bukan hanya bicara saja tetapi dia juga memperaktekkan dan dalam kehidupannya.
Berpikir rasionalitas sangat berguna bagi seorang manusia yang sedang mencari solusi dari sebuah masalah, sehingga orang tersebut akan menemukan lebih banyak lagi pelajaran dan hikmah dari masalah-masalah yang ia hadapi. Dan mereka dijamin tidak akan seperti Keladai yang jatuh lebih dari satu kali di dalam lubang yang sama. Berpikir dewasa selalu menempatkan diri pada solusi permasalahan, bukan selalu mempermasalahkan masalah.
Orang yang dewasa dalam hidupnya ketika sebuah masalah menghantam dirinya, dia akan berpikir sekuat tenaga untuk mencari solusi permasalahan tersebut. Bukan malah emosi sehingga yang dilakukan adalah mempermasalahkan masalah. Akibatnya masalah tidak selesai, tetapi malah memunculkan masalah baru, dan masalah baru tersebut pun tidak selesai, tetapi malah memunculkan masalah baru lagi, dan masalah yang baru itu, yang ia hadapi pun tidak selesai, tetapi malah memunculkan masalah yang lebih baru lagi, dan itu terus-menerus berlangsung hingga masalah menjadi besar dan kompleks.
Ketika masalah tersebut besar dan membingungkan, dan dirinya pun telah lelah karena masalahnya tidak selesai-selesai. Barulah ia berpikir untuk mencari solusi dari masalah tersebut, tetapi itu sudah terlambat dan tidak banyak berpengaruh karena dia bingung harus mulai dari mana untuk menyelesaikan masalah-masalah yang banyak dan kompleks tersebut. Itulah kondisi yang terjadi kalau kita selalu mempermasalahkan masalah, masalah yang kecil awalnya dan dapat diselesaikan dengan mudah menjadi masalah yang kompleks dan besar. Ketika masalah kecil tersebut dipermasalahkan (diperbesar) maka untuk menyelesaikannya pun sangat sulit dan memusingkan, malah kadang-kadang hanya waktu yang bisa menjadi solusi.
Contoh kecil yang dapat menggambarkan orang yang mempermasalahkan masalah, misalnya dalam sebuah rapat kantor atau organisasi. Kebetulan rapat itu berlangsung pada malam hari, ketika rapat sedang berlangsung tiba-tiba lampu di ruang rapat mati. Ada perbedaan tindakan antara orang yang selalu mempermasalahkan masalah dengan orang yang selalu mencari solusi permasalahan, tindakan yang akan dilakukan orang yang selalu mempermasalahkan masalah adalah, ia akan menggebrak meja sambil berkata. “Gimana sih panitia masa rapat sepenting ini lampunya mati apakah panitia tidak punya persiapan yang matang untuk menghindari hal-hal sepele seperti ini. Dasar panitia gak becus nggak profesional tidak berpengalaman, goblok. Gara-gara kalian pembicaraan penting malam ini bisa tertunda dan tidak bisa selesai malam ini, sedangkan kita tidak punya waktu lagi. Kalau rencana kita gagal kalian lah yang harus bertanggung jawab!.
Sedang akan orang yang selalu menempatkan dirinya pada solusi permasalahan akan melakukan tindak yang berbeda. Tindakan yang akan dilakukan, yaitu ia akan menanyakan kepada panitia apa yang hal yang menjadi penyebab lampunya mati? Kalau lampunya putus maka ia akan menganjurkan pada panitia untuk membeli lampu baru, kalau penyebabnya dari aliran listrik maka ia akan menganjurkan untuk memperbaiki sikringnya atau menyalakan generator sehingga lampunya dapat cepat menyala kembali. Atau ia akan berinisiatif menggunakan lilin, lampu minyak atau senter, yang penting di ruangan tersebut dapat dipergunakan cahaya untuk membaca berkas-berkas yang akan dibacakan sehingga dalam waktu singkat masalah dapat diselesaikan tanpa harus memunculkan masalah baru yang lebih kompleks dan rumit seperti yang dilakukan orang yang mempermasalahkan masalah.
Kedua, Kedewasaan Berpikir. Kedewasaan berpikir ini terfokus pada pembentukan pola pikir yang dewasa, dan kedewasaan berpikir ini terdiri dari beberapa point penting. Point yang pertama adalah subjektivitas. Subjektivitas adalah suatu bentuk kesalahan dalam kendewasaan berpikir. Pengertian subjektivitas sendiri adalah menyimpulkan suatu kebenaran nyata hanya dari satu sisi saja. Kesalahan subjektivitas bukan pada subtansi masalahnya, tapi pada sudut pandang melihat masalah tersebut, sehingga informasi yang di dapatkan dan dikeluarkan hanya terbatas pada satu sisi tertentu.
Kesalahan yang sering terjadi akibat subjektivitas adalah, ketika informasi yang terbatas itu diyakini sebagai sebuah kebenaran, dan apabila ada kebenaran yang lain dari sudut pandang yang berbeda sering ditentang bahkan disalahkan oleh orang yang menggunakan informasi yang subjektive tersebut, sehingga terjadilah benturan-benturan atau konflik-konflik antara dua belah pihak yang sama-sama meyakini bahwa informasi merekalah yang paling benar. Padahal konflik-konflik tersebut tidaklah perlu terjadi kalau mereka melihat sesuatu tersebut secara objektive.
Karena yang sebenarnya terjadi adalah dua-duanya sama benar hanya sudut pandangnya berbeda. Karena itu dua sudut pandang inilah yang harus kita pahami dan kita jelaskan sesuatu tersebut secara objektive. Ada contoh kecil yang sering digunakan untuk memahami objektivitas, yaitu ketika kita melihat angka 6 dari sudut pandang yang berbeda. Coba menggambar angka 6 di atas tanah, dan posisi angka ini berhadap-hadapan antara A dan B. Kalau A melihat angka ini dari sudut kanan, maka A akan menjawab ini angka 6. Akan tetapi, berbeda angka ini kalau dilihat dari sudut  B, angka yang muncul adalah 9. Sekarang saya bertanya antara A dan B penjelasannya mana yang benar???
Jawabannya, kedua-duanya adalah bener dan tidak ada yang salah. Coba perhatikan baik-baik kalau kita melihat di luar sana, banyak orang yang menyibukkan dirinya hanya untuk mempermasalahkan hal yang sebenarnya tidak perlu dipermasalahkan. Menurut A angka ini adalah 6 dan itu suatu kebenaran yang nyata di mata A. Dan menurut B angka ini adalah 9 dan itu merupakan suatu kebenaran yang nyata di mata B. Walaupun A mengeluarkan berbagai alasan untuk menyalahkan B angka yang B lihat tetaplah 9, tidak mungkin menjadi 6 begitu pun sebaliknya. Tetapi kebenaran mereka adalah kebenaran subjektive yang hanya dilihat dari satu sisi saja, sedangkan kebenaran objektive seperti apa?
Kebenaran objektive adalah kebenaran yang dilihat dari samping (antara A dan B) atau dari dua sisi tersebut?! Oh… kalau dari kanan ini angka 6 dan kalau di lihat dari kiri ini menjadi angka 9, itulah sebenarnya kebenaran objektive yang harus menjadi landasan berpikir seorang manusia yang memiliki kedewasaan berpikir.
Filsafat yang objektive sangatlah berguna bagi proses pendewasaan berfilsafat. Baik dalam memahami sesuatu yang mikro ataupun memahami sesuatu yang makro. Karena kehidupan ini harus di pahami dari banyak sisi, tidak bisa kita menyimpulkan suatu kebenaran hanya dari satu sisi saja. Tetapi perlu banyak pemahaman hingga kita dapat mengetahui peta permasalahan yang terjadi dari hal yang sifatnya pribadi hingga hal-hal yang sifatnya umum dan universal. 

Filosofi hidup hampir berkaitan dengan prinsip hidup. Semua orang yang masih eksis mempunyai pegangan hidup, tujuan hidup, prinsip hidup maupun filosofi hidup. Tentunya hal ini cukup berbeda di antara satu dengan lainnya dalam menyikapinya. Karena, setiap orang itu tidak sama, setiap orang itu unik, setiap orang merupakan mahluk individualisme yang membedakan satu dengan lainnya.
Ada yang mempunyai tujuan hidup yang begitu kuat, namun prinsip hidupnya lemah, atau sebaliknya ada orang yang mempunyai tujuan hidup yang lemah, namun memiliki prinsip hidup yang kuat. Ini tidaklah menjadi suatu permasalahan, yang penting seberapa baiknya seseorang menyambung hidupnya dengan berbagai persoalan dunia yang ada, atau dengan kata laiinya bagaimana kondisi psikologis/jiwa seseorang dalam menjalani hidupnya.
Prinsip hidup masih jauh kaitannya dengan psikologi, namun psikologi mau tau mau berhubungan langsung dengan prinsip hidup. Karena, dengan menijau prinsip hidup seseorang dapat diketahui kondisi jiwa seseorang. Prinsip hidup dan filosofi hidup sangat luas cakupannya, tidak hanya ditinjau dari segi psikologi, tapi seluruh cabang ilmu pengetahuan yang ada. Prinsip hidup seseorang dapat diambil dari perspektif psikologi, agama, seni, literatural, metafisika, filsafat dsb.
Bagi sebagian orang, filosofi hidup dapat dijadikan sebagai panutan hidup, agar seseorang dapat hidup dengan baik dan benar. Adapula sebagaian orang yang tidak menghiraukan apa itu tujuan hidup
dan filosofi hidup, ia hanya hidup mengikuti arus yang mengalir dan sebagian orang lagi, terlalu kuat memegang tujuan hidup dan filosofi hidupnya sehingga membuat ia menjadi keras dan keras, Jadi,
kesimpulannya ada 3 sifat manusia yang bisa ditinjau dari filosofi hidupnya, yaitu orang yang lemah, orang yang netral dan orang yang keras.
Orang yang lemah adalah orang yang tidak mempunyai tujuan hidup atau prinsip hidup. Ia tidak tahu untuk apa ia hidup, ia tidak berusaha mengetahui kebenaran di balik fenomena alam ini, sehingga terkadang
baik dan buruk dapat dijalaninya. Orang yang netral adalah orang yang mempunyai tujuan dan prinsip hidup, tetapi tidak mengukuhinya dengan terlalu kuat. Ia berusaha mencari kebenaran hidup dan hidup
dalam kebijakan dan kebenaran, ia bebas dan netral, tidak kurang dan tidak melampaui, ia berada di tengah-tengah. Orang yang kuat adalah orang yang memegang kuat tujuan dan prinsip hidupnya. Sehingga ia mampu melakukan apa saja demi tercapai tujuannya. Ia terikat oleh filosofinya, ia kuat dan kaku berada di atas pandangannya, ia merasa lebih unggul dari orang lain dan melebihi semua orang. Jika ditinjau dari sisi psikologi. Orang-orang yang di atas juga dapat dikategorikan, seperti orang yang mempunyai jiwa yang lemah, jiwa yang sedang dan jiwa yang kuat. Namun, untuk yang berjiwa sehat, seseorang tidak hanya dilihat dari jiwa lemah, sedang ataupun kuatnya. Penerapan tingkah lakunya dalam kehidupan sehari-hari
itulah yang penting.
Pada dasarnya, tujuan dan prinsip hidup seseorang itu baik dan bersih. Pada saat seseorang dalam keadaan tenang, ia membuat berbagai tujuan dan prinsip dalam hidupnya, namun ketika diterapkan timbul beberapa hambatan dari luar dirinya atau adanya pengaruh dari lingkungan eksternalnya. Salah satu pengaruh terbesar dari luar dirinya adalah panca indera. Panca indera yang tidak terjaga dengan baik akan membuat seseorang terpeleset dari tujuan dan prinsip hidupnya. Telinga bisa mendengar, mata bisa melihat, mulut bisa
berbicara. Semua itu harus dikendalikan dengan baik. Sebagai contoh konkret, saya mempunyai tujuan hidup menjadi seseorang yang berguna untuk menolong semua mahluk hidup sampai ajal menemui dan filosofi hidupnya adalah bila ada orang baik kepada saya, maka saya akan baik kepadanya, dan bila ada orang jahat kepada saya, maka saya akan baik juga kepadanya. Dari filosofi hidup ini, jika dilihat dari sisi psikologinya, orang tersebut mempunyai jiwa yang sehat, tidak mendendam dan bahagia menerima hidup. Namun, itu hanyalah sebuah filosofi hidup, yang terpenting adalah bagaimana ia menerapkan dalam perilakunya, apakah bisa sesempurna dengan filosofi hidupnya atau hanya sekedar membuat filosofi hidup tetapi tidak dijalankannya ataupun ia membuat suatu filosofi hidup, namun ia susah menjalannya karena tidak bisa menahan godaan atau hambatan dari luar dirinya.
Sebuah filosofi hidup bisa didapatkan dari seorang pemikir-pemikir jenius yang bijaksana, bebas dan terpelajar. Biasanya orang tersebut dianggap sebagai seorang filsuf, pelopor kebijakan. Masing-masing negara memiliki tokoh filosofinya. Orang pertama yang memperkenalkan filsafat hidup ke dalam ilmu pengetahuan adalah orang Yunani yang kebetulan pada saat itu negaranya merupakan negara yang bebas dalam berkarya. Terbukti begitu banyak para filsuf terkenal kebanyakan dari bangsa Yunani, seperti Aristoteles, Plato dan Socrates. Socrateslah yang paling banyak memberi pengaruh kepada dunia ilmu
pengetahuan, maka dia disebut Bapak Filsafat. Sedangkan, dari ilmu psikologi, Bapak Sigmud Frued disebut-sebut sebagai Bapak Psikologi yang paling banyak memberikan sumbangsih terhadap ilmu pengetahuan. Kedua tokoh dunia ini sama-sama memiliki pemikiran yang luar biasa untuk menciptakan pengetahuan-pengetahuan mengenai asal usul dari segala sesuatu, meskipun cakupannya berbeda, namun, psikologi dan filsafat tidak bisa dipisahkan dan sebaliknya. Banyak tokoh psikologi yang semula mempelajari filsafat kemudian melanjutkan pengetahuannya ke bidang psikologi.
Beberapa kata kutipan yang diambil da ri kedua tokoh ini, yakni :
” Makanan enak, baju indah, dan segala kemewahan, itulah yang kau sebut kebahagiaan, namun aku percaya bahwa suatu keadaan di mana orang tidak mengharapkan apa pun adalah kebahagiaan yang tertinggi (Socrates)”. Dan,
” Mereka yang percaya, tidak berpikir. Mereka yang berfikir, tidak percaya (Sigmud Frued)”.
Disini dapat dilihat, bahwa terjadi suatu studi banding antara kedua ilmu tersebut, Masing-masing membicarakan asal asul segala sesuatu menurut perspektif ilmunya. Namun, dari kedua ilmu tersebut mempunyai suatu kesamaan, bahkan banyak kesamaan yang membahas mengenai asal mulanya sesuatu yang pasti ada hubungannya dengan manusia dan alam sekitarnya. Seorang Socrates membicarakan kebahagiaan dan seorang Sigmund Frued membicarakan pikiran, tentunya kedua hal ini mempunyai kaitan yang
cukup besar. Filosofi hidup yang diberikan oleh Socrates mengenai kebahagiaan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dan Ilmu psikologi yang diberikan oleh Sigmund Frued mengenai pikiran (alam
sadar atau alam bawah sadar) dapat dijadikan landasan seseorang untuk mencapai kebahagiaan.
Oleh sebab itu, seseorang yang mempelajari psikologi maupun tidak, harus memiliki satu tujuan hidup atau filosofi hidup agar bisa berkembang, dan seseorang yang mempelajari filsafat maupun
tidak, harus memperhatikan apakah dan bagaimanakah agar filosofinya dapat diterapkan dengan baik dan benar sehingga mempunyai psikologis/jiwa yang sehat untuk maju dan berhasil. “Jika seseorang tahu kebenaran yang mendasar tentang segala sesuatu,
maka itulah inti pengetahuan’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar